Mohon tunggu...
Raden Pucuk Pinus
Raden Pucuk Pinus Mohon Tunggu... -

Hadir dimuka bumi 25 tahun yang lalu. Saat ini giat belajar tentang CSR serta menjalankan program CSR di sebuah perusahaan pertambangan di Indonesia. Berusaha mendorong Corporate untuk menerapkan konsep Triple Bottom Line pada bisnisnya untuk menjaga keseimbangan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Hobby menulis yang dituangkan dalam Kompasiana serta www.csrbusinessindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Money

CSR, Meningkatan Sri Kehati Index?

26 Maret 2010   04:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:11 550
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

[caption id="attachment_80426" align="alignleft" width="300" caption="Triple Bottom Line"][/caption] Harapan yang perusahaan menjalankan CSR, apabila perusahaan-perusahaan menjalankan bisnisnya dengan bertanggung jawab, maka insentif akan datang dari berbagai pemangku kepentingannya. Dari pemerintah, perusahaan diharapkan mendapat berbagai keringanan regulatori. Dari pekerja, perusahaan diharapkan mendapatkan kapasitas terbaik, produktivitas yang tinggi dan turnover yang rendah. Dari masyarakat, perusahaan diharapkan mendapatkan social license to operate. Dari konsumen, perusahaan diharapkan mendapatkan preferensi pembelian. Dan, salah satu yang paling popular, dari pasar modal perusahaan diharapkan mendapatkan kinerja yang "kinclong", berupa keuntungan di atas rata-rata. Penelitian yang membuktikan bahwa harapan-harapan di atas bukanlah harapan omong kosong. Pemerintah di berbagai negara menunjukkan dukungan hingga bentuk pemotongan pajak, di samping berbagai insentif lain. Para mahasiswa terbaik di seluruh dunia kini memilih perusahaan yang hendak dimasukinya dengan memertimbangkan kinerja CSR perusahaan-perusahan itu. Masyarakat juga banyak yang telah sampai pada pemahaman mengenai pentingnya keharmonisan mutual antara mereka dengan perusahaan. Ceruk konsumen tertentu telah terbentuk, konsumen yang sadar akan dampak lingkungan benar-benar hanya memilih produk-produk yang mencerminkan kepedulian mereka. Tentu saja, penelitian-penelitian juga membuktikan kaitan erat antara kinerja CSR dengan kinerja saham; semakin tinggi kinerja CSR suatu perusahaan, semakin menguntungkan pula memegang saham perusahaan tersebut dalam jangka panjang. Masalahnya, bagaimana kita memisahkan perusahaan yang memiliki kinerja CSR tinggi dengan sebagian besar perusahaan yang hingga sekarang masih tidak peduli atau bahkan gemar mengibuli masyarakat dengan upaya-upaya pengelabuan citra atau greenwashing dengan menunggangi istilah CSR? Sudah cukup lama para pakar bergelut dengan pertanyaan ini, dan jawabannya adalah pengukuran kinerja CSR dengan berbagai indikator, lalu mengumumkan hasilnya melalui pembuatan indeks tertentu, yang memisahkan perusahaan-perusahaan berkinerja CSR baik dengan yang lain. Namun, sebagaimana yang diungkapkan oleh Djouni Korhonen (2003), sebetulnya tak mudah bagi kita untuk melakukan pengukuran kinerja CSR, karena banyak aspek rumit harus ditimbang. Bagaimanapun, banyak pihak yang telah berupaya untuk melakukannya, dan hasilnya bisa kita saksikan. Kini pasar-pasar modal besar di dunia telah memiliki indeks keberlanjutan, yang juga didasarkan pada kinerja sosial dan lingkungan. Kita mengenal FTSE4Good dan Dow Jones Sustainability Index, selain indeks-indeks yang dibuat oleh perusahaan pengelola aset seperti Generation Investment Management, KLD Research and Analytics, atau Innovest Strategic Value Advisors. Indeks-indeks itu tidaklah sempurna, namun telah dengan gemilang menunjukkan bahwa ternyata berkinerja sosial dan lingkungan bagus memang mendatangkan insentif ekonomi. Tantangan bagi SRI-KEHATI Index. Pertama, apakah 25 perusahaan yang telah masuk ke dalam indeks tersebut adalah benar perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang baik? Indeks tersebut menyatakan bahwa pemilihannya didasarkan pada kinerja lingkungan, hubungan dengan masyarakat, tata kelola perusahaan, penghormatan atas hak asasi manusia, perilaku bisnis dan praktik ketenagakerjaan yang segera mengingatkan siapapun pada pada Committe Draft ISO 26000 minus isu konsumen. Mereka yang mendalami masalah ini tahu persis bahwa tak mudah membangkitkan dan mengumpulkan data yang terkait dengan keenam aspek tersebut. Kita di Indonesia belum memiliki kebiasaan untuk menelusuri dengan saksama aspek-aspek nonfinansial perusahaan. Dengan demikian, ada beban bagi indeks tersebut untuk membuka dengan transparen bagaimana sesungguhnya kinerja itu dilacak. Ini penting untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap indeks itu, sekaligus sebagai bahan pembelajaran kepada kita semua. Tantangan berikutnya adalah untuk membuktikan bahwa di Indonesia kita sudah mulai bisa menghargai kinerja sosial dan kinerja lingkungan yang baik. Selama ini, perusahaan-perusahaan yang sedang memperbaiki kinerjanya mengeluhkan bahwa mereka kerap menjadi bulan-bulanan pemangku kepentingan. Kesediaan untuk berhubungan dengan pemangku kepentingan, baik itu pemerintah, masyarakat setempat, maupun organisasi masyarakat sipil dianggap pertanda bahwa perusahaan melemah dan bisa diinjak kakinya. Ketakutan mereka, menjadi lebih baik malahan akan mengundang risiko. Sementara, kita tahu, bahwa kinerja saham yang dianggap hebat kerap datang dari upaya menggorengnya, bukan disandarkan pada kinerja aspek-aspek yang digunakan oleh SRI-KEHATI Index.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun