Mohon tunggu...
Raden Pucuk Pinus
Raden Pucuk Pinus Mohon Tunggu... -

Hadir dimuka bumi 25 tahun yang lalu. Saat ini giat belajar tentang CSR serta menjalankan program CSR di sebuah perusahaan pertambangan di Indonesia. Berusaha mendorong Corporate untuk menerapkan konsep Triple Bottom Line pada bisnisnya untuk menjaga keseimbangan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Hobby menulis yang dituangkan dalam Kompasiana serta www.csrbusinessindonesia.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

CSR Bukan Sekedar Bagi-bagi Sembako

15 Februari 2010   09:54 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_74897" align="alignleft" width="300" caption="trio bagi sembako (www.triomotor.co.id)"][/caption]

Pada acara pemberian penghargaan kepada wirausahawan muda yang difasilitasi oleh Bank Mandiri, Wapres Boediono menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh Bank Mandiri adalah “CSR yang substansial,” dan beliau mengingatkan bahwa banyak perusahaan yang masih melakukan “CSR” dengan jalan membagi-bagi sembako. Bagi-bagi sembako, menurut Wapres, adalah hal yang baik, namun dipandang tidak memadai sebagai CSR.

Wapres benar. CSR memang jauh lebih kompleks daripada bagi-bagi sembako. CSR, sebagaimana disepakati oleh banyak pakar, dalam definisi arus utama berarti internalisasi atau manajemen dampak. Itu artinya, perusahaan musti tahu persis apa saja dampak operasionalnya, baik yang positif maupun negatif, lalu mengelolanya. Yang positif tentunya dimaksimumkan, sementara yang negatif diminimumkan. Dan, bagi-bagi sembako jelas tidaklah cukup sebagai maksimisasi dampak positif maupun minimisasi dampak negatif, bukan?

Tetapi, apakah juga memfasilitasi usahawan muda adalah bentuk CSR yang memadai bagi Bank Mandiri? Berbagai pakar telah menuliskan bahwa CSR yang sesuai dengan industri perbankan pada dasarnya ada tiga: penapisan investasi dengan memperhitungkan aspek sosial dan lingkungan, promosi financial literacy dan perlakuan khusus untuk UMKM. Nah, dengan program wirausahawan muda tersebut, tampaknya dua yang terakhir telah masuk. Bagaimanapun, Bank Mandiri harus memberikan pengetahuan mengenai berbagai aspek finansial kepada para wirausahawan tersebut. Sebagai pemula, wirausahawan itu juga tentunya adalah bagian dari UMKM karena mereka mustahil langsung menjadi pengusaha besar.

Pertanyaan yang tersisa adalah apakah Bank Mandiri telah melakukan penapisan investasinya dengan mengadopsi atau mengadaptasi kerangka Equator Principles dan IFC Performance Standards? Hingga sekarang tampaknya belum. Adopsi jelas belum, karena Bank Mandiri hingga sekarang belum lagi tercatat sebagai penanda tangan Equator Principles. Adaptasi? Tak bisa diketahui dengan pasti hingga di mana, karena Bank Mandiri tak pernah mengungkapkan hal tersebut di muka publik.

Bank Mandiri memang pernah beberapa kali menyatakan bahwa dalam menapis investasi mereka melihat apakah sebuah projek memiliki AMDAL. Namun, apakah ini memadai? Jelas tidak. Boleh jadi sebagian besar projek yang didanai oleh Bank Mandiri adalah projek yang wajib AMDAL. Namun demikian, mempersyaratkan adanya dokumen AMDAL tentu saja tidak memadai. Banyak orang tahu bahwa dokumen AMDAL di Indonesia sebagian sangat besarnya bermutu jelek. Padahal apabila AMDAL kita dibuat dengan sangat baikpun, itu tak memadai kalau dibandingkan dengan mutu dokumen Environmental and Social Impact Assessment yang diminta oleh IFC. Pemerintah agaknya menyadari itu sepenuhnya, sehingga UU 32/2009 mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup-pun kemudian memperbaiki persyaratan AMDAL dengan tambahan analisis risiko lingkungan, juga persyaratan yang ketat bagi pembuat dan penilaianya.

Apakah mengikuti Equator Principles dan IFC Performance Standards itu sudah memadai? Norma di dunia bisnis tampaknya begitu. Namun, perlu diingat bahwa dunia bisnis tidaklah vakum, melainkan diisi oleh norma-norma pemangku kepentingan. Equator Principles banyak dikritik LSM karena membatasi jumlah investasi yang ditapis, yaitu bagi investasi di atas USD 10 juta. Padahal, investasi di bawah itupun banyak yang membawa dampak sosial dan lingkungan yang luar biasa. IFC Performance Standards yang menyatakan bahwa PIFC adalah prior and informed consultation dipandang tak memadai oleh LSM karena seharusnya PIFC bermakna prior and informed consent.

Jadi, memang bagi-bagi sembako itu tak memadai sebagai CSR. Tapi, melakukan banyak hal di luar bagi-bagi sembako itu juga belum tentu sudah memadai. Bahkan ketika norma di dunia bisnis sudah menganggapnya memadai, pemangku kepentingan belum tentu sependapat.

* Dimuat juga di blog http://csr-bisnis.blogspot.com dengan judul CSR Bukan Hanya Sekedar Bagi-bagi Sembako

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun