Ki Hajar Dewantara adalah seorang tokoh pendidikan Indonesia yang diakui secara internasional. Dia memiliki pandangan filosofis yang kuat tentang pendidikan, termasuk konsep pendidikan yang berpusat pada anak (child-centered education) dan pemikiran bahwa pendidikan harus menciptakan manusia yang merdeka dan berakal. Hal ini tercermin dalam prinsip-prinsip pendidikan yang ia ajarkan, seperti "Ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karso, tut wuri handayani" yang berarti "dari yang paling depan memberikan contoh, di tengah memberikan semangat, di belakang memberikan dukungan."
Dalam konteks budaya positif, Ki Hajar Dewantara berpandangan bahwa pendidikan harus mengembangkan sifat positif dan nilai-nilai baik pada diri anak didik. Pendidikan harus memberikan contoh yang baik dan mempromosikan nilai-nilai kebajikan seperti kesopanan, kejujuran, kerja keras, kedisiplinan, dan semangat gotong royong. Hal ini penting agar anak-anak tumbuh menjadi individu yang beretika baik dan berperilaku positif dalam masyarakat.
Keberlanjutan budaya positif di sekolah dipengaruhi oleh kemampuan kepala sekolah dalam pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai seorang pemimpin, penting untuk memahami nilai-nilai kebajikan tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin harus menjadi contoh yang baik bagi bawahan dan mampu memimpin dengan bijaksana dan bertanggung jawab. Dalam hal ini, Ki Hajar Dewantara memandang bahwa pemimpin harus memiliki integritas yang tinggi dan mampu memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam kesimpulannya, pemikiran filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara dan budaya positif berkaitan erat dengan peran pemimpin dalam pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan. Pendidikan harus menciptakan manusia yang berakhlak baik dan pemimpin harus menjadi contoh yang baik bagi bawahan. Dalam hal ini, pemimpin harus memiliki integritas yang tinggi dan mampu memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama.
Konsep pengambilan dan pengujian keputusan dapat membantu dalam mengambil keputusan dan menguji keputusan yang akan diambil dalam situasi dilema etika atau bujukan moral yang membingungkan. Ada 9 langkah yang dapat dilakukan, termasuk mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan, menentukan siapa yang terlibat dalam situasi, dan mengumpulkan fakta-fakta relevan. Data yang detail dan lengkap sangat penting karena dapat menjelaskan alasan seseorang melakukan sesuatu dan mencerminkan kepribadian seseorang dalam situasi tersebut. Hal ini juga membantu dalam menganalisis potensi hal-hal yang bisa terjadi di masa depan.
Dalam menghadapi dilema etika, ada beberapa uji keputusan yang dapat dilakukan, antara lain uji legal, uji regulasi/standar profesional, uji intuisi, uji publikasi, dan uji panutan/idola. Ada tiga uji yang sejalan dengan prinsip pengambilan keputusan, yaitu uji intuisi, uji publikasi, dan uji panutan/idola. Bila situasi dilema etika gagal di salah satu uji keputusan, sebaiknya jangan mengambil resiko membuat keputusan yang membahayakan atau merugikan diri sendiri karena situasi yang dihadapi bukanlah situasi moral dilema, namun bujukan moral yaitu antara benar atau salah.
Pengujian paradigma benar vs benar dilakukan untuk mengidentifikasi paradigma yang terjadi dalam situasi yang sedang dihadapi, antara lain individu vs kelompok, keadilan vs kasihan, kebenaran vs kesetiaan, dan jangka pendek vs jangka panjang. Penting untuk mengidentifikasi paradigma ini agar bisa mempertimbangkan kedua nilai inti kebajikan yang sama-sama penting dalam menyelesaikan permasalahan.
Prinsip penyelesaian dilema yang dipilih tergantung pada situasi dan nilai yang diutamakan. Seorang pemimpin dapat menggunakan prinsip Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thinking) akan memilih tindakan yang menghasilkan konsekuensi yang paling positif dan menguntungkan bagi kebanyakan orang. Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thinking) akan memilih tindakan yang sesuai dengan aturan atau prinsip yang sudah ditetapkan, bahkan jika itu tidak menghasilkan hasil yang optimal. Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thinking) akan memilih tindakan yang mempertimbangkan kepentingan dan kesejahteraan individu atau kelompok tertentu, dan akan memperhatikan hubungan emosional atau moral yang terlibat dalam situasi tersebut.
Seringkali kita dihadapkan pada situasi di mana hanya ada dua pilihan yang tersedia untuk memilih, namun terkadang pilihan tersebut tidak memadai untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam situasi seperti itu, kita bisa menggunakan teknik investigasi opsi trilema, yaitu mencari opsi ketiga yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Dengan mengajukan pertanyaan "Apakah ada cara untuk berkompromi dalam situasi ini?", kita bisa memicu pemikiran kreatif dalam mencari opsi ketiga yang memungkinkan untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang lebih baik. Opsi ketiga tersebut bisa jadi sebuah kompromi, atau bahkan solusi yang lebih baik daripada pilihan sebelumnya.
Teknik investigasi opsi trilema ini membantu kita untuk berpikir lebih kreatif dan terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan baru dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan mencari opsi ketiga, kita bisa menghindari situasi di mana hanya ada dua pilihan yang saling bertentangan, sehingga bisa menemukan solusi yang lebih optimal dan efektif.