Untuk anakku.
Nak, saat ini heboh tentang seorang oknum mahasiswa perguruan tinggi negeri di Jogja yang menghina kota Jogja dan penduduknya, terus diulang-ulang oleh stasiun teve. Sang mahasiswa sudah meminta maaf kepada sultan dan warga Jogja atas kesalahannya, dan kampus yang bersangkutan sudah menyatakan yang bersangkutan bersalah dalam sidang etik. Namun televisi terus menerus mengulang beritanya. Ayah bukan orang Jogja, jadi tidak tahu perasaan orang Jogja atas penghinaan tersebut, tapi dengan menonton berulang-ulang tayangan teve, ayah pun lama-lama menjadi tidak suka dengan orang tersebut, dan tema tentang dirinya, menjadi pembicaraan di keluarga. Mungkin saja hal yang sama terjadi pada keluarga lain. Saya berpikir, jika sudah begini kondisinya, maka siapa yang lebih tercela? Oknum mahasiswa yang tidak tahu sopan santun, atau orang yang menggunjingkannya terus menerus, meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf?
Secara hukum agama, orang yang bersalah harus meminta maaf kepada pihak yang terkait. Dalam hal ini, sang mahasiswa sudah melakukannya dengan cara meminta maaf di televisi yang disiarkan secara luas. Masalah apakah warga sudah memaafkan atau belum, maka itu bukan kewajiban sang mahasiswa, karena ia tidak bisa memaksa orang lain untuk memafkannya. Namun kewajibannya telah selesai. Sementara bagi orang yang menggunjing, dosanya diibaratkan seperti memakan bangkai saudaranya sendiri. Kalau bergunjingnya tiap hari setiap ada berita? Terbolak-balik jadinya, dulu mungkin ada yang lebih mulia dari oknum mahasiswa tersebut, namun karena menggunjingkan oknum mahasiswa tersebut terus menerus meski yang bersangkutan telah meminta maaf, maka jangan-jangan jadinya lebih tercela dari diri sang mahasiswa.
Nak, zaman ini banyak kejadian yang terbolak-balik. Ada mantan ustadz jadi penjahat, ada mantan pejabat tinggi negara yang jadi pesakitan, sementara ada mantan penjahat menjadi ustadz, dan mantan bintang majalah dewasa jadi bintang busana muslimah. Ah nasib orang bisa berubah drastis ternyata.
Lalu bagaimana dengan kita? Jika kita merasa jadi orang yang mulia saat ini, jangan sombong. Tidak tahu nanti bagaimana akhir hidup kita. Iblis yang dulunya dekat dengan Allah pun menjadi makhuk terkutuk karena sombong. Makanya imam Ghazali mengajarkan agar kita selalu menghargai orang lain. Jika melihat anak kecil, maka timbulkan kesadaran dalam diri bahwa anak kecil masih sedikit dosanya daripada kita. Jika kita melihat orang tua, maka berprasangka baiklah bahwa orang tua tersebut sudah lebih banyak ibadahnya daripada kita. Jika melihat orang yang belum beriman, maka jangan menghinanya, karena bisa jadi di akhir hayatnya ia lebih kuat imannya daripada kita yang tidak tahu akan meninggal dunia dalam kondisi seperti apa. Demikian pula imam Ibnul Qayyim mengajarkan agar orang yang bangun malam, jangan menganggap rendah orang yang tidak bangun malam.
Oleh karena itu, setiap melihat tayangan televisi, siaran radio, atau tulisan di media massa atau apapun yang memberitakan keburukan orang lain, kita jangan berburuk sangka. Pasti ada sisi kebaikan dari dirinya. Doakan saja dia meninggal dalam keadaan khusnul khatimah. Bukankah kita punya keburukan juga?
Untuk itu, maka dalam setiap doa, selipkan doa agar Allah meneguhkan hati kita, dan kita meninggal dalam keadaan khusnul khatimah, berakhir dalam kondisi yang baik, bukan saat bermaksiat. Jangan lupa doakan orang tuamu, kerabat, tetangga, sahabat, guru, murid, pemimpin, dan semua orang agar khusnul khatimah. Ga enak lho masuk surga sendirian. Nabi Adam saja butuh teman saat kesepian di surga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H