Mohon tunggu...
Fahrul Rozi Siregar
Fahrul Rozi Siregar Mohon Tunggu... -

Mahasiswa teknik Industri Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Angkotku Sayang, Angkotku Malang

6 April 2013   12:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:38 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu sarana transportasi yang sangat populer di kota Medan selain becak adalah angkot (Angkutan Kota). Mungkin ini juga ada di kota-kota besar lainnya di Indonesia. Selain karena biaya yang murah untuk menikmati sarana ini, tetapi juga karena masih kurangnya pilihan sarana transportasi lain di kota ini yang menyebabkan sarana ini sangat digemari oleh masyarakat. Tetapi apakah dengan banyaknya peminat menandakan bahwa masyarakat puas dengan pelayanan yang diberikan? Jawaban atas pertanyaan ini, mungkin akan berbeda-beda untuk semua orang. Tapi saya bisa menjamin bahwa lebih dari 80% konsumen (masyarakat kota Medan khususnya) TIDAK PUAS dengan pelayanan angkot ini. Kenapa saya dapat menyimpulkan hal seperti ini?

Saya awali dengan Alasan pertama, ketidak disiplinan supir angkot.

Selama pengalaman saya kuliah di Kota Medan (4 tahun) dan telah menggunakan sarana transportasi ini lebih dari 500 kali, saya dapat menghitung dengan jari berapa pengemudi angkot ini yang mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Mungkin beberapa contoh sederhana yang akan saya sampaikan adalah tentang menerobos lampu merah, berhenti sesuka hati, ngebut-ngebutan, memaksakan untuk mendahului kenderaan lain dan banyak lagi. Bahkan ada joke yang sering saya dengar bahwa dimana angkot akan berhenti hanya supirnya dan Tuhan yang tahu (lucu atau tidak, hal ini memeang benar terjadi). Jika perilaku seperti ini dilakukan oleh supir, apakah konsumen akan senang dan puas? Tentu jawabannya tidak. Bahkan tidak jarang seorang konsumen minta untuk diturunkan jika supir ngebut-ngebutan di jalan (terutama orang-orang tua). Tapi yang kadang membuat saya merasa aneh, walaupun ada konsumen yang minta turun dan marah-marah, supir ini tetap ngebut-ngebutan seperti merasa tidak terjadi apa-apa.

Alasan kedua, Ketidak profesionalan supir.

Saya sering naik angkot dan meminta berhenti di satu tempat, tapi di turunkan 20 meter dari tempat yang saya maksud. Bahkan saya pernah naik angkot dan diturunkan di tempat yang bukan tujuan saya dengan alasan orang yang ada di angkotnya tidak mencukupi untuk dibawa. Apakah ini mencerminkan seorang supir yang profesional dengan pekerjaannya?

Alasan ketiga, Tidak ramahnya supir terhadap konsumen.

Untuk hal ini, mungkin saya akan mengambil contoh tetang supir yang selalu marah kepada konsumen jika membayar dengan duit yang kurang. Bukan karena dia tidak punya duit, tapi memang terkadang kita merasa bahwa jarak yang kita lalui hanya pantas dibayar dengan biaya sebesar itu. Tapi jika ini terjadi, si supir pasti selalu menegur denga suara keras (marah) kepada konsumen.

Alasan keempat, Ketidak nyamanan armada.

Jika kita naik angkot ada istilah yang sering disampaikan supir pada saat menyusun tempat duduk konsumennya, 67. Hal ini berarti konsumen yang duduk di kursi sebelah kanan harus 7 orang dan sebelah kiri 6 orang. Aturan ini berlaku untuk setiap keadaan. Apakah ada konsumen yang memiliki ukuran badan yang besar, membawa barang yang banyak atau apapun yang menyempitkan, hal ini harus ditepati.

Selain alasan di atas, masih banyak alasan lain yang membuat konsumen merasa tidak nyaman jika naik angkot. Seperti armada yang sering rusak, musik yang diputar terlalu keras dan lain-lain-lain-lain-lainya.

Walaupun alasan untuk memakai sarana ini sering mengalahkan alasan untuk tidak memakainya, tetapi masyarakat pasti akan beralih ke sarana lain jika telah mampu untuk beralih, seperti sepeda motor sebagai sarana transportasinya. Hal ini pasti akan menyebabkan penggunaan sepeda motor akan meningkat yang menjadi penyebab sering terjadinya macet. Jika seperti ini apakah pemerintah berhak menyalahkan masyarakat yang menggunakan kenderaan pribadi dan kadang menyebabkan macet?

Satu hal lagi yang membuat saya bingung dengan keadaan ini adalah tidak adanya peran dari pemerintah (khususnya pemkot Medan) untuk mencegah makin parahnya kemacetan yang selalu terjadi di Medan. Mungkin harus terjadi kemacetan parah seperti di Jakarta dulu ya baru pemerintah kota Medan sadar? Tapi bukannya mencegah lebih baik daripada mengobati? Bukankah dengan melakukan peningkatan kualitas layanan sarana trasportasi massal (baca: angkot) yang lebih baik adalah salah satu cara untuk mencegah masyarakat menggunakan kenderaan pribadi penyebab kemacetan? Hal ini membuat saya jadi semakin bingung ?@!$?!#%^

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun