Aku selalu penasaran. Bagaimana rupaku saat melakukan ini dan itu. Saat menangis, senang atau bahkan menyeringai. Aku tidak bisa melihat diriku lewat mataku sendiri. Tapi orang lain bisa. Dan mereka kadang melontarkan kejujuran, kadang juga kebohongan. Meski begitu, mereka tahu yang sebenarnya terjadi.
Aku terlahir sebagai anak perempuan pertama. Yang belum ada setahun setelahnya, adik perempuanku lahir. Ia cantik sekali. Rambut gelombang dan mata bulat. Putih kemerahan dengan bibir menggemaskan. Berbeda denganku yang menjadi duplikat Ayah, ia adalah mini Ibu. Ia juga mewarisi semua kebaikan fisik milik Ayah dan Ibu.
Sejak kecil, setiap ada tamu yang datang ke rumah, pujian selalu datang untuknya. Bagaimana cantiknya ia, bagaimana miripnya ia dengan Ibu. Dan setiap mereka melihatku, hanya ada satu kalimat yang sering terucap:Â
"Mirip ya sama Ayahnya"
Selalu begitu, tak pernah berubah.
Sampai sebesar ini pun, orang-orang membicarakan kecantikannya di depanku. Membandingkan kami berdua yang sangat jauh berbeda. Kemudian aku penasaran. Bagaimana ya ekspresiku saat mereka memujinya di hadapanku? Sekaku apakah aku? Sedatar apakah mukaku?
Hingga suatu hari, salah satu kenalanku -yang cantik rupawan- bercerita tentang omongan orang-orang perihal kakaknya yang lebih cantik darinya. Aku sempat tak percaya. Soalnya, dia sudah sangat cantik. Lalu bagaimana dengan sang kakak?
Herannya lagi, aku tidak penasaran sama sekali dengan muka kakaknya. Tapi lama setelah itu -setelah melihatnya selalu telponan dengan kakaknya yang ada di Malaysia, kenalanku ini menunjukkan foto sang kakak.Â
"Ehh?? Dia lebih cantik dari kamu!" celetukku tanpa sadar.
Dan ketika aku melihat ekspresi wajahnya, aku langsung berpikir:Â
Ekspresi seperti itukah yang terpampang jelas di mukaku setiap orang-orang memuji adikku?