Rabu (4 April 2018) naik berita di berbagai media mengenai kejadian "tumpahan" minyak di Teluk Balikpapan. Dikutip dari rilisan kompas.com, keberadaan minyak di perairan Teluk Balikpapan berasal dari kebocoran pipa Pertamina Refinery Unit V Balikpapan di sekitar perairan Lawe-Lawe, Penajam Paser Utara.
Dari sudut pandang Hukum Lingkungan, sesuai dengan Pasal 1 Angka 14, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kejadian tumpahan minyak di Teluk Balikpapan menjadi tanggung jawab pihak Pertamina. Tanggung jawab yang dibebankan terbagi menjadi dua poin utama, yakni (1) penanggulangan pencemaran dan (2) pemulihan lingkungan hidup.
Secara teknis respon langsung berupa penanggulangan pencemaran yang ideal dilakukan adalah sebagai berikut.
Penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dilakukan dengan:
1. Menyampaikan informasi mengenai terjadinya pencemaran kepada masyarakat;
2. Mengisolasi sebaran polutan;
3. Menghentikan produksi pulutan atau sumber pencemaran.
Selang1 hari, Pihak Pertamina menurut rilisan terkini dari tribunnews.com diketahui pada hari Kamis (5 April 2018) telah melakukan rangkaian upaya guna menanggulangi tumpahan minyak yang terjadi. Secara sistematik penanggulangan yang dilakukan dimulai dengan zonasi area tumpahan minyak, untuk kebutuhan pembagian kerja dari tim yang terlibat serta memetakan tingkat pencemaran tiap-tiap zona.Â
Langkah kedua yang dilakukan adalah penyiapan tim yang dilengkapi oleh peralatan yang dianggap sesuai, serta arahan kerja sesuai zonasi yang telah ditentukan sebelumnya. Tahap ketiga adalah pengoperasian vacuum dan oil bomb untuk tubuh utama dari tumpahan minyak, kemudian didukung juga dengan penggunaan oil spill dispersandan oil skimmer untuk sisa ceceran tumpahan minyak.
Poin menarik yang bisa disarikan dari rangkaian upaya penanggulangan adalah pentingnya memberikan respon cepat terhadap kejadian-kejadian terkait pencemaran atau pengrusakan lingkungan. Timing yang baik sangat diperlukan mengingat kondisi alam atau lingkungan sekitar yang terbilang sensitif dan tidak mudah diprediksi, ditambah juga dengan respon masyarakat umum yang sekarang ini semakin reaktif dengan adanya penyebaran infromasi melalui internet, terkait citra dari Pertamina sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia.
Nasi sudah menjadi bubur. Pro-kontra keberadaan Pertamina di Teluk Balikpapan dan sorotan terhadap besaran dampak ekologis serta implikasi berupa tumbuhnya kekhawatiran dari masyarakat luas akan tetap ada dan bahkan dapat semakin naik ke permukaan kajian-kajian lingkungan di Indonesia. Respon cepat yang dilakukan -meski efektifitasnya belum mampu diukur, perlu diapresiasi dan dijadikan tolak ukur dalam konteks penanggulangan pencemaran lingkungan.