Mohon tunggu...
Qaidi Rozan C.
Qaidi Rozan C. Mohon Tunggu... Lainnya - PNS di Kementerian Keuangan

Ahli dalam melakukan yang terbaik

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Orang Indonesia Taat Aturan Kok, Tapi di Luar Negeri: Salah Masyarakat atau Hukumnya?

7 November 2024   00:14 Diperbarui: 7 November 2024   00:16 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pernahkah Anda melihat orang Indonesia membuang puntung rokok sembarangan di Singapura? Atau menyaksikan orang Indonesia menerobos lampu merah di Australia? Hampir mustahil, bukan? Sebaliknya, kita sering melihat fenomena lain seperti: turis asing yang merokok sembarangan di jalanan Indonesia; atau bule Australia berkendara tanpa helm di Bali. 

Contoh-contoh ini memunculkan pertanyaan mendalam, mengapa perilaku masyarakat bisa begitu berbeda di dalam dan di luar negeri? Fenomena kontradiksi ini menunjukkan bahwa ketidakpatuhan aturan di Indonesia bukanlah semata-mata kesalahan masyarakat, tetapi juga merupakan cerminan dari budaya permisif, tidak tegasnya penegakan hukum, serta kurangnya edukasi masyarakat tentang penting nya menaati aturan.

Budaya permisif memberikan ruang bagi ketidakpatuhan terhadap aturan menjadi hal yang seringkali dianggap biasa di Indonesia. Di banyak lingkungan, aturan sering kali dianggap fleksibel dan bisa dinegosiasikan, terutama jika melibatkan hubungan sosial. Sikap seperti "asal tidak ketahuan" atau "ah, hanya masalah kecil" sering muncul dalam kehidupan sehari-hari dan membuat masyarakat cenderung abai terhadap aturan yang ada. 

Dalam budaya permisif ini, norma sosial lebih menekankan pada harmoni dan kesopanan antar individu daripada kepatuhan yang ketat terhadap aturan. Berbeda dengan negara-negara lain yang memiliki budaya ketat dalam menegakkan aturan, mereka cenderung lebih disiplin dan sadar terhadap batasan-batasan yang diberlakukan demi kebaikan bersama. Dengan pola pikir budaya permisif ini, tindakan-tindakan ketidakpatuhan seperti melanggar lalu lintas atau membuang sampah sembarangan sering dibiarkan tanpa sanksi sosial yang kuat.

Ketidakpatuhan terhadap aturan juga diperburuk oleh sangat lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Gery S. Becker dalam jurnal Crime and Punishment: An Economic Approach menyatakan bahwa rendahnya hukuman membuat pelanggaran lebih mungkin terjadi karena tidak ada efek jera. Situasi ini tercermin dalam banyak kasus pelanggaran yang terjadi di Indonesia, di mana hukuman yang ringan dan kurangnya konsistensi penegakan hukum menyebabkan masyarakat tidak takut akan konsekuensinya. 

Sebagai perbandingan, di Singapura, merokok ditempat umum dapat dikenakan denda hingga SGD 1.000 (sekitar 11 juta rupiah) untuk pelanggaran pertama, aturan ini terlaksana dengan baik dan sangat ditindak tegas oleh aparat penegak hukumnya. Sementara di Jakarta, merokok di tempat umum hanya dikenakan sanksi sebesar Rp250.000 saja, yang mana pelaksanaan aturan ini sangat tidak pernah terlihat oleh masyarakat. Ketimpangan tingkat hukuman ini perlu menjadi perhatian bagi para pembuat kebijakan dan penegak hukum di Indonesia demi menciptkakan ketegasan yang konsisten dalam upaya meningkatkan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.

Selain faktor budaya dan penegakan hukum, kurangnya edukasi mengenai pentingnya kepatuhan terhadap peraturan menjadi salah satu alasan mengapa banyak masyarakat Indonesia yang kurang disiplin. Banyak individu yang belum sepenuhnya memahami tentang manfaat dari menaati peraturan. Pendidikan sejak dini, baik di keluarga maupun sekolah, sering hanya sebatas menanamkan "apa yang boleh" dan "apa yang tidak boleh", tanpa mengajarkan alasan yang jelas di balik aturan tersebut. 

Tanpa pemahaman yang mendalam, aturan dianggap sebagai batasan, bukan sebagai alat untuk menjaga keteraturan sosial. Edukasi yang kurang efektif ini membuat masyarakat merasa aturan hanya relevan jika terdapat sanksi yang berat. Di negara-negara yang menekankan edukasi aturan seperti Jepang, kesadaran individu untuk menjaga keteraturan sudah tertanam sejak kecil. Contohnya, budaya antre yang tertib di Jepang, yang telah diajarkan sejak dini, membuat mereka lebih patuh, baik di dalam maupun luar negeri.

Secara keseluruhan, fenomena ketidakpatuhan aturan di Indonesia bukanlah masalah yang sederhana. Ini merupakan kombinasi dari budaya permisif yang mengabaikan kepatuhan, lemahnya penegakan hukum yang gagal memberikan efek jera, serta kurangnya edukasi yang mendalam tentang pentingnya aturan bagi kesejahteraan bersama. Ketiganya menciptakan lingkungan di mana aturan dianggap kurang relevan atau bisa dinegosiasikan, yang pada akhirnya membentuk pola perilaku di masyarakat. 

Untuk menciptakan perubahan, diperlukan upaya yang menyeluruh, mulai dari penanaman nilai kepatuhan dalam pendidikan hingga ketegasan dalam penegakan hukum. Pada akhirnya, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita ingin menjadi masyarakat yang patuh hanya ketika berada di luar negeri, atau berkomitmen untuk menciptakan disiplin di tanah air sendiri? Refleksi ini bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga panggilan bagi pemerintah dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang menghargai keteraturan dan ketaatan sebagai nilai yang di yakini bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun