Entah akan seberapa jauh diri melangkah, entah seberapa dekat diri dengan pribadi yang lain, semesta terus menuntut untuk kaki berdiri sendiri. Hati mulai gundah, hati mulai resah, seakan marah yang seharusnya tak datang ia terus mendobrak pintu-pintu kesabaran. Lisan bekerja sama untuk terus mengucapkan kata 'baik' pada segala sesuatu yang mulai berantakan.Â
Entah menurutku ini bukan saatnya lagi diri membungkam atas segala 'baik-baiknya' diri, sedangkan diri ini sendiri sudah tak menau bagaimana rupa hati saat ini.Â
Dunia memang sedang menuntut untuk sabar yang tidak ada habisnya, merelakan yang seharusnya tak terelakan, memperjuangkan sesuatu yang hati tidak ingin, entah siapa yang kejam, semesta? Atau manusia? permasalahan yang timbul tak mengenal umur, dan umur pula tak mengenal seberapa sanggup ia menyelesaikan masalah.Â
Perkenalkan, saya bagian kehidupan yang menganggap saya bagian kehidupannya. Diri menurut beberapa keluarga memiliki pribadi yang buruk sedari kecil, setelah beberapa permasalahan yang begitu besar  menimpa untuk seusia diri.Â
Tertuntut untuk bertahan sendiri, tak terarah, tak memiliki panutan, tak mengerti harus seperti apa kedepannya, mereka memandang diri anak hasil permasalahan tersebut akan rusak dirinya, memiliki sifat dan perilaku yang buruk.Â
Sehingga terombang ambing kehidupannya, dipindah tangankan dirinya, tanpa mengetahui apa maunya, apa yang ia rasakan, apa yang sebenarnya ia butuhkan.Â
Hingga diri perlahan mengetahui apa yang mereka inginkan, apa yang mereka butuhkan, harus seperti apa bersikap di hadapan mereka, itu semua agar mereka mendapatkan ketenangan hati, bahwa diri bukan orang yang berbahaya lagi.
Cukup panjang kisah tangis diri, hingga sempat lupa bagian mana yang harus tertangisi. Cukup tragis bagi lingkungan diri yang mengetahui diri tak lagi menangis untuk perihal yang seharusnya kau dapat menangis.Â
Hati mulai mengeras, diri hanya dapat mengumpat, jika hati mulai begitu lemah. Diri akan berlari, entah lari seberapa jauh untuk melupakannya agar hati tak begitu lemah. Menangis bukan lagi yang harus diri hadapi, ketika diri memberikan izin untuk menangis akan sulit untuk membungkam tangis.Â
Terkadang diri terus menyalahkan semesta, akan kinerjanya. Diri tidak pernah belajar bermain benda tajam, pisau misalnya. Seumur diri lepas dari sekolah dasar hingga usia yang dikatakan mandiri, pisau terus menghujam diri. Hingga luka yang tak pernah sembuh terus terhujam.Â
Berbagai benda tajam yang tertusuk, merobek, tembus hingga jantung, membuat paru-paru tak lagi dapat bekerja, dan itu semua terbiarkan. Lagi dan lagi semesta memaksa untuk sembuh sendiri.Â