Istilah tentang “kematian novel” sebetulnya sudah lama dibicarakan oleh kalangan futuris, surealis, dan sebagian kalangan avant-gardis. Wacana tentang posisi novel yang tersingkirkan dari jalan modernitas dan menyerah pada masa depan baru yang radikal dan tidak dikenal secara antisipatif sebelumnya. Misalnya, novel seperti mobil-mobil tua yang telah dilupakan.
Millan Kundera, seorang sastrawan yang menulis semua bentuk karya sastra (novel, puisi, cerpen, dan naskah drama). Sekitar tahun 1979, Kundera pindah ke Perancis, dan menerbitkan karya provokatifnya yang berjudul The Book of Laughter and Forgetting. Sebelum itu, ia juga menulis kumpulan puisi yang berjudul Man in The Broad Garden. Di samping terbitan karya-karya kritisnya antara lain Life is Elsewhere, The Farewell Party, hingga Identity.
Selain sintesa sastra polifonik, muatan substansial karya Kundera banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh besar filsafat. Terutama pemikiran-pemikiran fenomenologis abad ke-20 yang dikembangkan Husserl dan prinsip eksistensialisme dari Heidegger. Martin Heidegger sendiri adalah seorang eksistensialis yang banyak terpengaruh oleh Husserl dan Hegel. Salah satu karya Heidegger adalah Being and Time dan Hegel Concept of Experience yang mengutarakan pemikiran Hegel dalam Phenomenology of Spirit. Kundera banyak mengambil perspektif Husserl tentang dunia yang tereduksi dan mengambil perspektif Heidegger yang mengungkapkan tentang spirit kesadaran dalam sastra, yang mana oleh Heidegger dianggap lebih mampu mengungkapkan rahasia daripada filsafat.
Menurut Kundera, novel akan mati secara sempurna pada sistem totalitarian atau pada dunia modern dengan latar belakang relativitas dan ambiguitas yang kuat. Sesuatu yang relativistik, ambigu, dan ragu-ragu bagi Kundera tidak akan mampu mengakomodasi “spirit novel”. Lagi, menurut Kundera, novel yang mati adalah novel yang jauh dari sejarahnya (sejarah karakter novel yang dituliskan oleh sastrawan besar seperti Diderot, Carventes, Tolstoy, Kafka, hingga Sterne).
Kundera mengajukan empat daya tarik sejarah novel yang menjadi parameter kematian sebuah novel.
Pertama, “daya tarik permainan”. Kundera menjelaskan novel-novel abad ke-18 sudah membentuk sebuah sejarah novel dengan daya tarik permainan. Daya eksplanasi tersebut begitu kuat pada novel adikarya Eropa The Life and Opinion of Tristram Shandy, dalam karya tersebut tampaknya terdapat eksperimentasi fiksi dalam bentuk “permainan” cerita yang tak tentu arah dan menghubungkan berbagai peristiwa secara satire dan humor yang pada konteksnya “mempermain-mainkan” moralitas yang dianggap sakral.
Sedang novel yang mencuat di Indonesia, ada beberapa novel yang menarik dihubungkan dengan konsep “daya tarik permainan” yang diutarakan oleh Kundera. Misalnya novel Rafilus, karya Budi Dharma. Novel Rafilus merupakan sebuah model permainan yang memadukan permainan jiwa-jiwa yang sakit, permainan logika yang dijungkirbalikkan, permainan tentang penyatuan derita dan keindahan, sebagai sebuah kesatuan realitas moral masyarakat Indonesia modern melalui tokoh Pawestri dan Munandir. Kemudian ada novel karya Djenar Maesa Ayu, misalnya Mereka Bilang, Saya Monyet, secara tegas “mempermain-mainkan” moralitas. Karya-karya Djenar mempermain-mainkan kesakralan moral vagina, keperawanan seksualitas, pernikahan, dan relasi-relasi normatif antara perempuan dan laki-laki. Dan permainan seksualitas juga muncul dalam Supernova karya Dee Lestari.
Kedua, “daya tarik mimpi”. Kundera memandang karya-karya Kafka pada abad ke-19 sudah sempurna membentuk novel simulakrum, sebuah novel yang melebur mimpi dengan dunia nyata. Novel-novel Kafka memberikan konstruksi imajinasi yang terlena. Kafka terbukti mampu menjawab obsesi estetika besar abad sebelumnya mengenai posisi novel yang menjadi tempat imajinasi yang meledak bagi para pembaca. Bagi Kundera sendiri, karya-karya Kafka dapat menghancurkan apapun yang tampak sebagai kebenaran imperatif yang sifatnya mutlak dan tidak terelakkan.
Sementara dalam sejarah novel di Indonesia, model daya tarik mimpi muncul dalam bentuk yang berbeda. Misalnya karya-karya Hudan Hidayat, seperti analogi cerpen Keluarga Gila dan Manusia Ikan, dan novel yang berjudul Tuan dan Nona Kosong, karya Hudan Hidayat bersama Mariana Amiruddin yang mensintesakan fiksi dengan diri pengarang sendiri untuk membangun fiksi dalam pola realitas dan menanamkan realitas dalam fiksi. Dan hal tersebut mengkritik pasar novel kontemporer di Indonesia bahwa akhir-akhir ini jarang muncul di permukaan novel yang mampu meleburkan antara hal-hal yang bersifat fiksional dengan realitas. Melainkan berupaya membuat hal-hal fiksi layaknya realitas. Karya-karya Hudan Hidayat juga tetap tak lepas dari permainan-permainan kekerasan, horror, sampai seksualitas yang ganjil, selain persoalan kesadaran dan ketidaksadaran.
Barangkali, beberapa pembaca masih asing dengan karya Hudan Hidayat. Terdapat sosok Andrea Hirata yang karyanya juga memberikan nuansa daya tarik mimpi yang kuat. Misalnya dalam tetralogi Laskar Pelangi, yang mencampur impian dengan realitas dengan impian dalam fiksi secara kimiawi dan menimbulkan efek mimpi kolektif pada diri pembaca.