Mohon tunggu...
Roy Thaniago
Roy Thaniago Mohon Tunggu... -

Penulis dan peneliti yang meminati isu media dan kebudayaan. Pernah bekerja sebagai redaktur di majalah Bung! dan karbonjournal.org. Mendirikan Remotivi pada 2010 dan menjadi direktur lembaga tersebut hingga 2015. Saat ini ia tengah menempuh studi Kajian Media dan Komunikasi di Lund University, Swedia.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Paniknya Industri TV Menerima Rapor

3 Februari 2016   17:46 Diperbarui: 3 Februari 2016   18:19 1318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

TAHUN 2016 INI adalah tahun di mana izin siaran 10 stasiun televisi bersiaran nasional akan dievaluasi: diperpanjang atau tidak. Periode ini tidak saja penting bagi Indonesia untuk membenahi sektor penyiaran, tapi juga sebagai momentum kebudayaan. Sebagai institusi yang turut membentuk kebudayaan, media yang dibiarkan bergerak liar melayani libido ekonominya telah menunjukkan peran utamanya dalam memperkeruh keadaban. Karena itu upaya membenahi media setara dengan upaya menyusun strategi kebudayaan ke depan.

Dalam konteks itu, langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengajak publik terlibat dalam mengevaluasi kinerja industri televisi adalah sebuah langkah yang progresif. Ini harus dibaca sebagai ikhtiar negara demokratis yang menempatkan warga negaranya sebagai subjek yang berpartisipasi dalam menentukan perjalanan suatu bangsa.

Anehnya, sebagai wakil publik beberapa “oknum” Komisi I DPR seperti Mahfudz Siddiq dan Tantowi Yahya malah menanggap langkah KPI tersebut ilegal dan menyatakan adanya “oknum komisioner KPI” yang bermain. Padahal, UU Penyiaran telah memberikan mandat kepada KPI “sebagai wujud peran serta masyarakat” (Pasal 7) yang berwenang “melakukan koordinasi dan/atau kerja sama dengan[…]masyarakat” (Pasal 8).

Selain memperlihatkan tafsirnya yang keliru terhadap regulasi penyiaran, suara oknum DPR tersebut terdengar sumbang di tengah cuaca demokrasi hari ini yang semakin mengupayakan partisipasi publik. Apa yang ilegal dari mendengar aspirasi publik? Apa yang ditakutkan dari “publik” yang selama ini melalui rating diklaim menyukai program-program televisi? Mengapa para oknum ini protes dengan begitu ngotot ketika KPI bekerja baik dan tak bersuara ketika KPI justru selama ini berkinerja buruk?

Menariknya, argumen oknum DPR tersebut senada dengan pendapat Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI). Melalui surat yang dilayangkan ke KPI, ATVSI menyampaikan protesnya dalam lima poin. Beberapa poin di antaranya adalah soal tindakan KPI yang tidak sejalan dengan UU, bahwa KPI tidak punya wewenang, menginginkan proses yang lebih tertutup dan tidak melibatkan masyarakat luas, dan keinginan untuk lebih diatur pemerintah ketimbang KPI. Memang, sejak rancangan UU Penyiaran Tahun 2002, ATVSI adalah kelompok yang paling getol menolak keberadaan badan publik semacam KPI dan lebih ingin diatur pemerintah (Ade Armando, 2011).

Sejalan dengan itu, beberapa media yang terafiliasi dengan ATVSI menaikkan berita yang membingkai tindakan KPI sebagai sesuatu yang keliru. Bahkan RCTI (26 Januari 2016) dengan sekenanya menaikkan berita cacat jurnalistik yang membingkai bahwa KPI tengah membuat “polemik” dengan “langkah sepihak” dan mempertanyakan “motif KPI yang tidak sesuai aturan”, diiringi ilustrasi yang mengesankan ketegangan dan kegawatan. Dua hari setelahnya, berita yang mirip juga tayang di Global TV.

Bahkan mungkin saking paniknya, sebuah stasiun televisi mengirim reporternya ke kantor Remotivi dan mewawancarai direkturnya Muhamad Heychael. Pertanyaan-pertanyaan menjebak dilemparkan kedua reporter tersebut, yang kata Heychael, demi mendapatkan satu pernyataan negatif tentang KPI. Kedua reporter tersebut memaksakan keluarnya konfirmasi dari Heychael bahwa apa yang dilakukan KPI adalah bentuk campur tangan KPI soal perijinan.

Reaksi ATVSI dan oknum DPR ini tentu saja berlebihan. Apa yang ditakuti dari upaya melibatkan publik? Ketika media kerap menuntut demokrasi dan transparansi terhadap lembaga pemerintahan, misalnya, mengapa kini upaya demokratis dan transparan yang dilakukan KPI ini dinilai sebaliknya? Reaksi “panik menerima rapor” tersebut bisa dibaca sebagai ketidaksiapan industri televisi dengan proses demokrasi dan ketidakpercayaandiri terhadap kinerja mereka sendiri.

Sementara itu, proses ini harus dikawal dengan baik oleh publik. Publik jangan berhenti pada euforia merayakan formalitas demokrasi tapi abai pada tujuan utama membenahi industri penyiaran. Artinya, publik mesti menagih kerja konkret seusai KPI menerima masukan publik, berikut penjelasan mekanisme evaluasi yang akan ditempuh.

Kini bola sudah digulirkan dengan tepat oleh KPI. Sampai pada saatnya, bola ini akan dioper ke pemerintah melalui Kominfo. Keinginan ATVSI agar diatur pemerintah harus dijawab rezim Jokowi dengan serius. Sangat serius.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun