Rasa frustrasi orang Maluku itu akhirnya meledak,mencapai puncaknya tanggal 2 Desember 1975. Tujuh pemuda Maluku membajak kereta api di Wijster, propinsi Drenthe. Peristiwa ini banyak disebut-sebut sebagai peristiwa pembajakan kereta pertama di dunia. Pembajakan yang berlangsung selama 12 hari ini, mengakibatkan jatuhnya tiga korban jiwa. Di antaranya, masinis kereta ditembak mati.
Pembajakan kereta kembali terulang tanggal 23 Mei 1977 di Punt, propinsi Drenthe. Pelakunya adalah sembilan pemuda Maluku. Pembajakan kali ini lebih berdarah dari pembajakan dua tahun sebelumnya. Dua sandera dan enam pembajak tewas dalam operasi penyelamatan.
Peristiwa pembajakan ini menimbulkan efek psikis berkelanjutan, khususnya bagi orang Belanda. Timbul prasangka diskriminatif. Jika orang Belanda naik kereta dan melihat di antara penumpang ada “kulit berwarna”, timbul perasaan tidak suka dan merasa tidak nyaman. Orang tua Belanda kuatir dan melarang anak-anak mereka bergaul dengan orang Maluku. Mereka masih dibayangi trauma pembajakan kereta yang baru saja terjadi.
Pembajakan itu juga berdampak pada berkurangnya simpati pemerintah Belanda terhadap perjuangan RMS. Apalagi sebelum pembajakan kereta itu, terkuak berita ada usaha menculik Ratu Juliana, yang berhasil digagalkan.
Separatis saat ini tak lagi realistis
Insiden itu sudah lama berlalu, namun masih membekas. Kendati dengan ‘sedikit terpaksa’ aspirasi orang Maluku di Belanda mulai diakomodir, kecuali mendirikan negera merdeka. Mereka kini sudah punya museum Maluku, juga mengelola yayasan untuk mengembangkan kebersamaan. Aktivitas apa saja yang mereka lakukan, Belanda pasti mendukung.
Mereka kini punya perkumpulan sendiri. Perkumpulan ini mengorganisir berbagai kegiatan. Di jalan Gooierserf di Huizen, kota kecil dekat Hilversum di Belanda, ada sebuah yayasan yang dikelola sejumlah orang Maluku. Di temboknya, terpampang bendera RMSdalam ukuran besar.Apakah bendera tadi menunjukkan gedung ini adalah markas pertemuan RMS?
Tahun demi tahun telah bergulir. Generasi pertama telah melahirkan generasi kedua. Generasi kedua juga sudah melahirkan generasi baru. Kondisi hidup generasi baru Maluku saat ini sudah jauh lebih sejahtera ketimbang generasi pertama. Mereka hidup dalam alam integrasi dengan berbagai kultur. Sistem pembauran (integrasi)yang digalakkan pemerintah Belanda selama beberapa dekade ini, sedikit banyak telah mengubah pola pikir mereka. Sistem ini juga ikut mengubah ideologi generasi muda tentang cita-cita RMS. Memperjuangkan RMS sudah dilihat dengan kaca mata lain. Mereka umumnya menyadari, separatisme tidaklah realistis.
http://kolomkita.detik.com/baca/artikel/2/1935/sby_belanda_dan_rms
Pemahaman ini pulalah yang membawatokoh Papua bernama Nicholas Jouwe (pendiri OPM / Organisasi Papua Merdeka) yang sudah puluhan tahun tinggal di Negeri Belanda memutuskan untuk meninggalkan perjuangan Papua merdeka.
“Belanda menyuruh saya untuk membuat bendera, lambang negara, lagu kebangsaan dan menyiapkan dokumen-dokumen untuk persiapan berdirinya sebuah negara. Setelah semua itu saya siapkan ternyata tidak ada satu negarapun yang mendukung perjuangan saya, justru semua negara tetap menyatakan bahwa Irian Barat bagian dari wilayah Indonesia”. Kata Nicholas Jouwe kepada pers usai bertemua Taufik Kiemas/15 Januari 2010.