Gema gempita menyambut HUT RI Ke-77  merebak seantero negeri, maklum 2 tahun terakhir kita "disandera" oleh pandemi Covid19 yang mengharuskan  kita dibatasi dalam hal berkumpul. Hasrat yang terakumulasi selama 2 tahun itu seketika tersalurkan dalam sebuah euforia  perayaan kemerdekaan yang semarak dan meriah. Gejala ini sangat jelas terasa di mana-mana bahkan hingga ke gang-gang sempit sekalipun.
Sebagai negara kita sudah berdaulat selama 77 tahun, waktu yg sudah cukup lama dibanding dengan beberapa negara tetangga. Akan tetapi apakah kita sebagai bangsa sudah merasakan sepenuhnya hakekat  kemerdekaan itu? Sudahkah kebebasan dan kemerdekaan  berekspresi termasuk berpendapat diberi ruang dalam kita bermasyarakat dan berbangsa bahkan di ruang lingkup kerja sekalipun? Kemerdekaan tertinggi bukan hanya sekedar proklamasi yang kita peringati tiap tahunnya namun kesempatan memerdekaan diri lewat berekspresi dalam bentuk pikiran dan pendapat.
Kemerdekaan berekspresi menjadi salah satu hak dasar yang diamanatkan dalam konstitusi dan kritik merupakan manifestasi atau perwujudan tertinggi dari sebuah kebebasan berekspresi. Â Munculnya perbedaan pendapat di era demokrasi adalah sesuatu yang wajar terjadi, yang semestinya harus disikapi dengan arif dan bijaksana.
Seorang pemimpin atau pejabat tak boleh alergi dengan kritik. Kritik terbentuk dari proses kerja nalar sebagai bentuk respon  atas kebijakan dan keputusan yang lahir. Tak ada kritik maka sesungguhnya nalar kita tidak bekerja atau mungkin nalar kita "dikondisikan" agar jangan bekerja.
Mengutip ucapan Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar yang pernah dimiliki bangsa ini bahwa "masa terbaik dari hidup seseorang adalah masa ia mendapat kebebasan yang telah direbutnya sendiri".
Perjuangan Pramoedya dalam menggagas kebebasan berekspresi harus dibayar mahal dengan menjadi tahanan di Pulau Buru selama bertahun-tahun. Dibalik menjadi tahanan dia tetap mengekspresikan kegelisahan berpikirnya lewat gerakan-gerakan intelektual yang dituangkan dalam buku.
Pramoedya ingin mengajari bangsa ini bahwa kebebasan berekspresi dan berpendapat termasuk kritik adalah hakekat dari sebuah kehidupan manusia, hak dasar yang sudah melekat sejak dia lahir, tak bisa dirampas apalagi dibelenggu.
Merdeka adalah ketika tirani kekuasan tidak membelenggu cara berpikir rakyatnya
Merdeka adalah ketika tidak lagi kata sterotipe "provokator" terucap terlebih di ruang publik hanya karena sekedar merasa terganggu dengan ekspresi dari bawahan, seakan ingin menghidupkan kembali gaya orde baru yang sudah usang, kolot dan tidak populis.
Merdeka adalah ketika kebebasan berekspresi dan berpendapat mendapat ruang dan tempat yang semestinya.