Tak termungkiri, posisi pelatih amat krusial bagi setiap tim sepak bola. Pasalnya, dialah pusat “otak” permainan, dari penentuan line-up, formasi, strategi, gaya bermain, hingga instruksi di waktu-waktu genting. Apalagi untuk level turnamen seketat Piala Dunia. Kesalahan taktik sedikit saja bakal berakibat fatal.
Lantaran bergelut dengan taktik, kerja utama pelatih berkaitan dengan kecerdasan pikiran. Oleh sebab itu, bobot inteligensi yang tinggi mutlak dibutuhkan. Selama laga berlangsung, ia wajib mendayagunakan akalnya untuk menyingkap kelemahan lawan dan memaksimalkan keunggulan besutannya. Tak heran jika para pelatih sering disebut “cendekiawan” sepak bola karena kejeniusan keputusannya menentukan keberhasilan tim.
Umumnya parameter kejeniusan pelatih adalah torehan prestasi, seperti rekor kemenangan, lama timnya bertahan, hingga raihan trofi. Baru Vittorio Pozzo yang mengoleksi dua titel jawara (Italia, 1934 dan 1938).
Kejeniusan juga terukur oleh kemampuan mencetuskan filosofi bermain yang unik, tetapi mematikan. Misalnya, Rinus Michels, mentor timnas Belanda di Piala Dunia 1974. Ia sukses menerapkan total football, meski kandas oleh Jerman Barat di final. Gaya main tim oranye kala itu tergolong revolusioner karena mengandalkan fleksibilitas posisi pemain.
Namun, prestasi saja belum cukup. Jika skuadnya memang dihuni pemain-pemain kelas wahid, wajar saja timnya bersinar. Intervensi pelatih tak perlu banyak. Justru bukti tervalid kejeniusan pelatih adalah kesanggupan membalikkan prediksi. Bermodal komposisi pas-pasan alias underdog, sang arsitek mengejutkan publik dengan menjungkalkan tim elite.
Boleh dikata kejutan paling jenius ditampilkan Guus Hiddink bersama Korea Selatan pada 2002. Pasukan Taeguk mencapai semifinal dengan mendepak tiga raksasa Eropa, yaitu Portugal, Italia, dan Spanyol. Bruno Metsu (Senegal, 2002) dan Valeri Nepomnyaschi (Kamerun, 1990) juga membuat kejutan yang mirip dengan menggapai perempat final. Untuk Indonesia, mungkin cukup meloloskan timnas ke Piala Dunia, sang pelatih layak dianggap jenius.
Menariknya, kejeniusan seseorang sebagai pemain tak selamanya setara kala berkiprah sebagai pelatih. Tercatat hanya Mario Zagallo dan Franz Beckenbauer yang mencicipi gelar sebagai pemain maupun pelatih. Selebihnya legenda macam Diego Maradona, Juergen Klinsmann, Dunga, dan Marco van Basten, harus gigit jari saat mengasuh tim.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI