[caption id="attachment_41961" align="alignleft" width="270" caption="Pemandangan indah di malam kelam : kelap-kelip lampu di gardu distribusi"][/caption]
Kompasianers, saya sebenarnya pingin kita lanjut cerita tentang Al-Zaytun. Obrolan ini sebagai kelanjutan tiga postingan yakni di sini, ngobol di sana, dan dikit diskusi di situ. Saya ngebet bercerita betapa kayanya EBT (diplesetkan :Energi Belum Terwujud) di Alzay.
Namun saya terpancing dengan pernyataan Direktur Utama PLN di harian Kompas, tanggal 21 Desember 2009, halaman 18, versi web di sini.Sehingga tentang Alzay, saya mohon “hutang” dulu ah. Nyuwun pangapunten, ya Kompasianer. Postingan Alzay, saya tunda dulu karena saya “kagum” membaca PLN di berita Kompas tersebut, yang dengan “gagah” menjamin “penyalaan” listrik bergilir di tahun 2010 akan ditiadakan. Demikian juga, PLN mampu menghemat Rp 6,2 T karena tidak menggunakan BBM tapi beralih ke gas. Pertanyaan saya, apakah wartawan Kompas yang oon atau Pak Fahmi Mochtar, Dirut PLN “bingung” karena akan segera lengser? Reportase tersebut berjudul “Pasokan Listrik Dijamin, PLN Akan Diversifikasi Pembangkit ke Bahan Bakar Gas”. Benarkah PLN akan beralih ke gas?
[caption id="attachment_45617" align="alignright" width="240" caption="Jaringan distribusi (utamanya trafo) salah satu permasalahan PLN"][/caption]
Mengapa gas ? Saya terpancing karena teringat artikel rekan Lutfi Heyder , | 3 Desember 2009 dan Samdy Saragih, 5 Desember 2009. Kedua kompasianer ini, mengungkapkan listrik di Republik ini masih byar pet ,padahal Indonesia memiliki EBT –Energi Baru Terbarukan yang amat melimpah. Bila demikian, mengapa PLN menggunakan gas yang tidak termasuk EBT?Bukankah gas juga akan menjadi kendala di Republik ini meski negara kita kaya akan gas bumi (namun telah “diijon” ke manca negara).
Kita melihat bahwa program busway di Jakarta pada tahap selanjutnya tidak lagi merencanakan memakai gas. Kita mendengar bahwa program BBG (Bahan Bakar Gas diplesetkan menjadi ”Bolak Balik Gagal”) yang diperjuangkan sejak 1985 belum juga mulus. Tengok program taxi berbahan bakar gas yang ”tersendat”. Lihatlah SPBG yang mangkrak di sejumlah kota, antara lain di Surabaya dan Jakarta (salah satu ”korban” BBG adalah Eko Suryo, kompasianer yang kini beralih menjadi bioetanolist....semoga Mas ES tidak jadi korban ”demam bioetanol”). Cermatilah, PT Pusri, pabrik pupuk di Palembang yang khawatir pasokan gasnya tersendat...klik di sini. Tidak hanya PT Pusri, peningkatan kapasitas PT Kujang, pabrik pupuk di Jabar juga tidak ”kebagian gas”.Bahkan sebuah pabrik pupuk yang modalnya patungansesama negara Asean di Aceh telah ditutup karena tidak mendapat ”jatah gas”.Lihatlah pula, pemerintah merencanakan ”mencampur” LPGdengan DME (dimetyl ether dari pengolahan batu bara) . Hal ini dilaksanakan sebagai tindakan penghematan gas bumikarena di tahun 2011, Republik ini harus impor 3-4 metrik ton LPGsebagai dampak konversi minyak tanah.
[caption id="attachment_45619" align="alignleft" width="240" caption="Aktivitas di PLTP Wayang Windu, Pangalengan, Kab. Bandung, Jawa Barat"][/caption]
Geothermal Bung Lutfi (kompasianer yang bermukim di manca negara) mempertanyakan mengapa kita tidak memanfaatkan energi panas bumi (geothermal)- pasbum ?Bukankah kita hidup di atas “ringof fire”. Sesuatu energiyang mampumenimbulkan bencana,antara lain gempa bumi dan ”Lumpur Lapindo” Tetapi bila kita bijak,“ring of fire” adalah green energy atau EBT yang amat potensial. Saya yakin, kompasianer udah tahu, bahwa pasbum Republik ini adalah yang TERBESAR di dunia atau bila dijabarkan 40 % geothermal dunia ada di Indonesia. Kita memiliki 27.000 MW energi pasbum, tapi baru 1.179 MW atau 4% saja yang dimanfaatkan untuk membangkitkan tenaga listrik.
Namun permasalahan PLTP (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) adalah biaya explorasi dan resiko yang besar, padahal harga jual listrik ”murah” sehingga swastakurang berminat (termasuk grup Bung Lutfi). TDL (tarif dasar listrik) seperti ditulis oleh Mas Samdy adalah berkisar Rp 640 per KwH. Wajarkah”harga jual” ini, karena petinggi PLN menyatakanmembutuhkan biayaoperasi sebesar Rp 1. 200 tiap KwHnya ? Saya tidak ”berani”berkomentar karena orang awam menilai ketidak efisien terjadi di PLN. Tapi lihatlahdi Thailand. Tepatnya ditiga wilayah Selatan Thailand, harga jual listrik sebesarBaht 3,5 ( setara Rp 1.043 per KwH).Tengok pula diPhilipina, yakni senilaiPhp 5,49 (sama dengan : Rp 1.140/KwH).
Saya yakin kompasianers udah tahu beda antara TDL dan biaya operasi tersebut menyebabkan subsidi pemerintah membengkak. Nih yang belum tahu, silahkan diplototi angka subsidi Republik ini terinci, tahun 2005 : Rp. 8,9 Trilyun; 2006 : Rp. 30.4 T; 2007 : Rp. 33.1 T; 2008 : Rp. 83,9 T; 2009 : Rp.48,2 T;dan APBN 2010 : Rp. 40,4 T. Bagaimana komen kompasianer ? Jujur dan harus diakui, subsidi itu ”sebagian besar” tidak tepat sasaran. Bukankah yang menikmati adalah ”kita-kita” yang hidup di Jawa, utamanya di kota-kota besar. Bagaimana nasib para rekan kita di Papua, NTT, di perbatasan Malaysia, dll.
Pusing dan miris ya, kita balik aja bicara tentang harga PLTP...., .kini Bung Lutfi janganlah khawatir. Bulan lalu pemerintah melalui Kepmen ESDM No. 032/2009 telah menetapkan harga TDL untuk PLTP. Harganya 9,70 sen USD atau Rp 921,5 per KwH. Harga ini cukup menarik, karenaseperti diketahui PLTP Wayang Windu unit 1 dan 2 di Jabar dengan kapasitas 227 megawatt, semula hanya dikontrak PLN dengan harga 4,94 sen dollar AS atau Rp 469,3 per KwH. Bravo, atas change pola pikir Republik ini.
Salah data atau salah tafsir ?
[caption id="attachment_45625" align="alignleft" width="189" caption="Persen penggunaan sumber energi listrik di tahun 2009"][/caption]
Tanggal 13 Desember 2009 lalu, saya menghadiri ”Pertemuan Tahunan Pengelolaan Energi Nasional” yang diselenggarakan oleh Departemen ESDM. Seorang Deputi Direktur PLN menyajikan grafik di samping kiri dan kanan, sebagai berikut :
[caption id="attachment_45627" align="alignright" width="157" caption="Persen penggunaan sumber energi listrik di tahun 2019"][/caption]
Tampak grafik pie menunjukkan bahwa PLN merencanakan sepuluh tahun yang akan datang (2009 Vs 2019), penggunaan energi kotor si batu bara meningkat dari 46 % ke 59 % (warna coklat) yang diimbangi dengan penurunan penggunaan energi kotor minyak fosil dari 19 % (HSD + MFO) ke 2 % (warna merah).Penggunaan energi hijau si geothermal meningkat dari 6 % ke 14 %, namun sayang penggunaan hydro (warna hijau tua) menurun 7 % ke 4 %. Grafik di atas, menunjukkan pula pemakaian gas MENURUN dari 22 % ke 16 %.
Nih dikit memperjelas pernyataan obrolan kita di intro, apakah Kompas yang OON, salah kutip, salah dengar,salah tafsir ATAU Pak Dirut PLN ”beda pendapat” dengan Deputi Perencanaannya ? Semoga sebutan Oon ini, tidak menyebabkan saya terkena UUITEtentang pencemaran nama baik, dan atau fitnah dan atau penghinaan dan atau perbuatan tidak menyenangkan. Bagaimana pendapat kompasianer ?
[caption id="attachment_45630" align="alignleft" width="216" caption="PLTM/H Sipai, Sumbar. Dibangun tahun 2005. Konsumen 68 KK, Kapasitas : 12 Kw, Watt/konsumen : 450 W. Listrik hidup jam 15.00 - 07.00 dengan iuran Rp 7.500 sampai Rp 10.000 per bulan"][/caption]
Micro atau mini atau piko hydro Penggunaan listrik berbasis hydro memang direncanakan menurun, seperti tampak di grafik pie di atas. Sayang ya, padahal PLTA adalah energi bersih yang biaya operasinya amat murah. Tetapi sebenarnya ada berita gembira sesuai Permen ESDM No.031/2009 yang diundangkan 13 November 2009 lalu tentang pembelian listrik oleh PLN dari pembangkit lebih rendah10 Mw.Permen itu menetapkan harga Rp 656/ KwH x F untuk tegangan menengah, dan Rp 1.004/KwH x F untuk tegangan rendah (Faktor F ditetapkan berbeda antar lokasi yakni terendah sebesar 1 di Jawa dan Bali, serta tertinggi sebesar 1,5 di Maluku danPapua). [caption id="attachment_45631" align="alignright" width="189" caption="PLTM/H Bacu-bacu. Sulsel. Tampak roda penggerak yang tradisional. Melayani 300 KK, jam operasi : 17.00 - 07.00. Iuran Rp 5.000,- s/d Rp 10.000,- per bulan"][/caption]
Harga di atas cukup menarik untuk pengusaha yang sedang/ akan “bermain air” alias bergerak di PLTA atau lebih tepatnya PLTM/H (Sekadar informasi bahwa ESDM merencanakan PLTM/H sebanyak 570 unit di tahun 2010 dengan daya sebesar 45,6 MW).
Tengok ungkapan Pak JSS dikolom komentar di postingan saya berjudul “Oh Listrik (yang tercecer dari Intelijen Bertawaaf)”sebagai berikut :
...... saya lihat struktur harganya, saya merinding … It’s too sweeeet to be true … Unbelieveable USD 0.10/KWh di jaringan TR . Walau di Eropa energi mikrohidro dibayar hingga USD 0.15/KWh saya tetap terharu .. Thanks God, finally we are moving to the right direction .. Di Eropa saya temukan banyak pembangkit kelas 20..30 KVA di sungai dan kanal-kanal kecil yang beroperasi sejak seratus tahun lalu. Pembangkit tersebut bisa tetap beroperasi karena adanya subsidi dari pemerintah atas pembangkit energi terbarukan mirip dengan Permen ESDM 31/2009 yang baru diundangkan 13 Nov 2009 lalu. (Oooh .. bangsaku tertinggal 100 tahun).
Pak JSS adalah seorang kompasianer yang bermukim di Bandung, namun memiliki sejumlah proyek EBTdi Uni Eropa.Tangkiu untuk Pak JSS, Bung Omri(pakar pertambangan Kompasiana yang “beralih” ke pakar kesehatan), Mas Pokijan (kompasianer yang segera balik ke Indonesia, karena kuliahnya di Aussie tentang setrum telah usai), dansi “kiwi blonde” (kompasianer yang kuliah di NZ, demi pengembangan “energi berbasis gambang”) yang telah berdiskusi dengan produktif di artikel saya yang sebenarnya ditulis untuk menyambut lauching buku Pakde Pray yang berjudul “Intelijen Bertawaaf”.
Energi surya dan bayu
[caption id="attachment_45633" align="alignleft" width="210" caption="Rumah beratap panel surya di Univ Missouri, USA"][/caption]
Bagaimana tanggapan Republik ini terhadap EBT yang lain, misal energi surya, energi bayu, dan EAL alias energi arus laut ? Warta Ekonomi tanggal 31 Oktober 2009 (klik di sini) memberitakan bahwa di tahun 2010,Departemen ESDM merencanakan budget PLTS, atau lebih tepatnya SHS (solar home system) sebesar Rp 800 milyar bagi 150.000 sampai dengan 200.000 KK di daerah terpencil. Budget ini naik Rp 200 milyar dibandingkan tahun 2009. Khusus PLTS terpusat direncanakan pada tahun 2010-2014 sebesar 250 unit. Sedangkan PLTB (semoga tidak ”angin-anginan”) direncanakan lebih banyak, yakni 270 unit.
[caption id="attachment_45634" align="alignright" width="210" caption="PLTB di manca negara"][/caption]
Namun jujur harga beli PLN terhadap energi surya dan bayu belumlah memadai. Permen 031/2009 yang kita puji di atas, ”manis” pada PLTM/H khususnya pada tegangan rendah, ternyata masih ”pahit” pada sumber listrik hijau yang lain. Inilah PR Departemen ESDM,karenaharga listrik dari sumber EBT tidak bisa di "generalized" . EBT sangat technologyspecificdan terpengaruh skala.
Mengapa tenaga surya berkembang di manca negara, Pak JSS di komentarnyapada postingan saya menulis sebagai berikut (saya copas). Di Eropa yang terkenal punya ’soft spot’ dalam issue lingkungan - listrik photovoltaic (PLTS) dibeli dari masyarakat dengan harga EUR 0.65/KWh, padahal kalau energi yang sama dijual ke masyarakat dia akan mendapat EUR 0.12/KWh. EUR 0.53/KWh merupakan subsidi dari pemerintah federal untuk menggiatkan masyarakat berinvestasi pada sektor energi terbarukan
[caption id="attachment_45636" align="alignleft" width="240" caption="PLT Nuklir masih kontroversial meski terkatagori EBT dan direkomendasi oleh Ketua Umum Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Harga listrik konon hanya Rp 100 per KwH, namun menyebabkan Indonesia "tergantung" pada manca negara"][/caption]
Agar kompasianer lebih penasaran terhadap PLTS dan PLTB, saya menambah cerita di“Sustainable Energy Conference”Singapura, tanggal 2 - 3 Desember 2009 lalu.Di seminar ini, sebuah perusahaan Jerman dengan nama Schoott memaparkan pengusulan pembangunan solar dan wind power di Gurun Sahara. Proyek ini membutuhkan investasi lebih kurang 400 milyar US$ dan bertujuan kira-kira 15 % listrik dari EU di tahun 2050 akan disuply dari projek ini. Suatu hal yang menarik diungkapkan dalam presentasi Schoott adalah KEBUTUHAN LISTRIK SELURUH DUNIA akan bisa dipenuhi dengan hanya menutupi area 330 x 330 km2 di (alias 4 % dari) Gurun Sahara.Suatu “mimpi” yang hebat.
[caption id="attachment_45638" align="alignright" width="147" caption="EAL di Universitas Florida. Diperkirakan mampu memasok listrik kepada 3 juta sampai 7 juta rumah"][/caption]
EBT- Listrik hijau yang lain Sumber lain di Indonesia untuk menghasilkan listrik hijau, adalah di biomassa, alias sampah termasuk “T”. Sayang, Permen ESDM 031/2009 belum pula mengakomodasi harga listrik berbasis biomassa, padahal potensinya besar dan berdampak positif bagi lingkungan dan “global warming”. Denganharga beli listrik sebesar Rp 646 per kwh, tentu tidak menarik bagi pengusaha. Bisnis pembangkit biomasa merupakan investasi jangka panjang, dengan pay back period + 8 tahun dan IRR (9% - 18%) dengan rentang harga Rp 635 - 900/kWh. Wajarkah harga ini ? Sebagai pembanding harga listrik biomass di Thailand sebesar Baht 2,5 (setara Rp 745/kWh).
Energi lain yang menantang kita adalah lautan (EAL-Energi Arus laut). Seperti kita ketahui laut adalah porsi terbesar dari Republik ini. Teknologi OTEC (Ocean Thermal Energy) dapat dipilah menjadi energi kinetik dari gelombang, energi pasang surut dan arus, dan konversi perbedaan salinitas (tingkat kadar garam).Mas Widarto udah dengan apik menceritakan PLTG ...nih istilah "baru“ dari Mas Wid, yakni Pembangkit Listrik Tenaga „Garam“. Rekan Widarto telah memberikan pencerahan di sini.