Met jumpa Kompasianers. Pengunjung ”baru” di serial BBN ini, mungkin belum paham akronim BBN ? Kita telah diskusi sejak Mei 2009 lalu di Kompasiana tentang BBN sebanyak 14 postingan. Sepuluh tentang bioetanol (plus dikit senggol mi singkong dan mi sagu), dua cerita tentang biodiesel kelapa sawit, dan dua obrolan tentang Jarak Pagar (Kompasiana menempatkannya di "lapak" saya di sini ).
Kepanjangan akronim BBN yang baku adalah Bahan Bakar Nabati, terjemahan dari biofuel. Namun sebenarnya translate ini kurang tepat. Pytofuel adalah terjemahan yang benar dari BBN, karena ia adalah bahan bakar yang HANYA bersumber dari pyto alias tanaman. Biofuel, adalah bahan bakar yang berbahan baku dari tanaman alias tumbuhan (minyak tumbuhan) DAN hewan (minyak hewan alias lemak). Sehingga seharusnya biofuel diterjemahkan Bahan Bakar Hayati. Tapi kok saru alias porno bila diakronim menjadi bBH. Bener enggak, ntar kena UU Pornografi ? Tapi ya, apakah arti sebuah nama? Fakta menunjukkan, trend dunia saat ini memilih minyak tumbuhan karena memiliki puluhan dampak positif dibanding minyak bumi ( fossil oil) sebagai BBM yang selama ini kita gunakan. Lho kenapa Roy memplesetkan jadi Bener Bener Nekat ? Di bawah ntar kita obrolkan.
Menunggu Godot Jelang Idul Fitri 1429 H lalu, para BBN mania menerima angpao berupa Permen ESDM No. 032/2008 tentang mandatori yakni kewajiban mencampur (blending) bahan bakar minyak di Indonesia dengan BBN. Suatu perjuangan panjang alot nan ”berdarah-darah”, sejak Pak Beye mendeklarasi Inpres No. 1 tentang penyediaan dan pemanfaatan BBN, di Januari 2006. Apakah BBN mania akan menerima kado lagi, di jelang Idul Fitri 1430 H yang akan datang ….setelah setahun menunggu ? Tampaknya hanya menunggu godot !
Saat ini kita tidak lagi menikmati ”langit biru” sebagai dampak BBN. Suplai BBN ke Pertamina ”terpaksa” dihentikan sejak Agustus lalu. Terus terang, kita ”ditipu” membeli bio premium, bio pertamax, atau biodiesel karena BBM ini TANPA penambahan bio alias BBN. Ya, sama saja dengan premium dan solar biasa yang penuh dengan ”racun” (Saya tidak tega melihat Bu Polwan yang cantik berdiri di pinggir jalan mengatur lalu lintas tapi ”diracuni” oleh asap solar dan besin. Saya kasihan dan prihatin kepada bayi yang yang akan dilahirkan Bu Polwan atau Ibu Kompasianers yang ”terpaksa” sehari-hari menghirup polusi kendaraan, khususnya di kota-kota besar. Coba tengok, Ibu Polwan yang ”menutup” hidung dan mulutnya dengan masker yang sebenarnya TIDAK MAMPU menghalangi polusi masuk ke tubuhnya. Pria kompasianers juga harus waspada lho, ntar Anda jadi VIP alias very ”impotent” person karena paparan asap bus kota di Jakarta).
Makasih kepada rekan LSM ”Swisscontact” yang meminjamkan foto-foto di atas
By the way, kemanakah kita dapat mengadu ”penipuan” BBM ini ? Ke Lembaga Konsumen ? Yang jelas, bukanlah kesalahan Pertamina atau produsen BBN !. (saya dikit memaparkan permasalahan biodiesel, klik di sini. Nyuwun pangapunten, postingan perdana yang amburadul).
Minyak Bumi ke Titik Nadir Kompasianers udah baca harian Kompas tanggal 12 September 2009 di halaman 17 tentang ”Harga Minyak Mengancam, Beban Subsidi Meningkat”. Di berita itu dikemukakan Pemerintah meminta tambahan dana cadangan resiko fiskal dalam Rancangan APBN 2010 ditambah Rp 3 triliun – Rp 5 triliun, sehingga menjadi Rp 8,6 triliun – Rp 10,6 triliun. Alasannya, risiko fluktuasi harga minyak mentah. Kenapa dana cadangan harus ditambah,….yaaa karena Pemerintah dan panitia anggaran DPR telah sepakat MEMPERTAHANKAN harga jual BBM tahun 2010 SAMA dengan tahun 2009 (Kompas 12 Juni 2008). Hebaaat kan kesepakatan ini, demi politik ! Saya dikit menguraikan hal ini di Bioetanol 3, bila kompasianers ingin refresh klik di sini.
Kita udah tahu persediaan minyak bumi (fossil oil) sedang menuju titik nadir. Saat ini, setiap kita membakar 10 liter minyak mentah, hanya diketemukan 4 liter cadangan baru. Jika di awal pemanfaatan minyak bumi di tahun 1859, manusia hanya perlu mengebor 69 kaki di Pennsylvania. Kini orang perlu mengebor sedalam 9 kilometer di Oklahoma untuk mendulang ”emas hitam”. Data Kementrian ESDM menyatakan minyak bumi Indonesia akan habis dalam lk 20 tahun mendatang. James Canton, seorang futurolog dalam bukunya “The Extreme Future” (2006) mengemukakan 10 tren eksterm di bidang energi, diantaranya : dunia tengah berada di era kehabisan energi (baca: fosil) karena cadangan energi dunia akan habis 25 tahun ke depan. Di Kompas 23 Juni 2009, beliau mengatakan keamanan energi akan menjadi medan perang yang dahsyat di abad ke-21. Ini adalah data dan fakta, apakah Indonesia telah siap dengan keamanan energi (energy security) ? Ingat perang besar, antara lain Amrik menyerbu Iran pada hakekatnya hanya demi energy security USA.
Dry Hole Vs Energi Hijau. Pak Kurtubi, Direktur Center for Petroleum and Energy Economics Study (CPEES), pengamat beken tentang perminyakan menyarankan di Kompas, 12 September 2009 agar produksi minyak domestik dinaikkan sehingga penerimaan negara meningkat. Pakar fossil oil, sih wajar itu yang disarankan. Namun apakah tidak seyogianya minyak bumi itu ”ditabung” aja di dalam tanah, agar anak cucu kita dapat menikmatinya. Apakah Indonesia tidak sebaiknya memanfaatkan dengan optimal atau bahkan maksimal Energi Hijau alias BBN ? Atau adakah saran lain kompasianers ?