Indonesia memiliki potensi besar tentang Energi Hijau, bahkan digelari ”Arab Saudinya BBN di dunia”. Negara mana yang memiliki sinar matahari berkecukupan sepanjang tahun, curah hujan terdistribusi dengan baik, lahan cukup luas, bahan baku beragam, dan petani yang tangguh ? Saya dikit menguraikannya di buku ” Energi Hijau, Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi, Penebar Swadaya, Jakarta, 2007, klik di sini
Bicara tentang biodiesel berbasis kelapa sawit maka Indonesia adalah penghasil kelapa sawit (Crude Palm Oil – CPO) No. 1 di dunia. Indonesia juga memiliki pabrik biodiesel berbasis CPO terbesar di dunia (berkapasitas 1,2 juta Kl/tahun di Dumai). Saat ini Indonesia, hanya memanfaatkan 30 % CPO untuk industri dalam negeri, utamanya sebagai bahan baku minyak goreng. Mengapa 70 % CPO tidak kita ubah sebagai biodiesel ? Saya dikit memaparkan tentang ketertinggalan industri hilir CPO Indonesia, bila berkenan klik di sini. Lihat lah pula ganjalan lain, bila kita hanya bertumpu ekspor bahan mentah di Kompas, 14 September 2009, halaman 18 : ”Ekspor CPO Indonesia Terganjal Aturan Uni Eropa”.
Bila penyediaan biodiesel it’s OK di Indonesia, namun bioetanol menemui sejumlah kendala. Kapasitas terpasang bioetanol fuel grade (hydrous ethanol) hanya sebesar 303.230 kl/tahun (?) Sedang sisanya sebesar 281.750 kl/tahun hanya mampu memproduksi etanol basah, hydrous ethanol. Bagaimana mengatasi permasalahan ini? Saya dikit menguraikannya di bioetanol 2, klik di sini.
Pertimbangan lain untuk memilih Energi Hijau, tengok halaman 18 di Kompas, 12 September 2009 tentang ”Blok Migas Sepi Peminat”. Dari 16 blok migas yang ditawarkan di tanggal 11 September 2009, hanya lima blok yang diminati investor. Kata Bu Dirjen Migas, minat rendah ini diduga akibat peraturan baru cost recovery….. DAN kekhawatiran yang ditemukan hanyalah ”sumur kering”. Blok migas yang ditawarkan bertetangga dengan dry hole alias tidak ada cadangan migas.
Subsidi ke OPEC atau ke RI ? Apakah sih yang ”ditunggu” oleh BBN mania, utamanya produsen biodiesel dan bioetanol ? BBN mania menunggu realisasi janji pemerintah di UU Energi No. 30, tahun 2007 di pasal 20, khususnya pasal 21 yang isinya antara lain badan usaha BBN dapat memperoleh kemudahan dan atau insentif hingga tercapai nilai keekonomiannya.
Di manca negara, pengembangan BBN selalu “disubsidi” (sesuai pasal 21 di atas). Lihat dan contohlah Brasil, sesama negara berkembang yang telah amat maju pada bioetanol ! Mengapa diperlukan subsidi BBN ? Ya, karena BBN adalah “bayi” dan bahan bakar alternatif yang bersih (clean alternatif fuel). Bila BBM yang mengandung “racun” aja disubsidi, mengapa BBN tidak ? Subsidi BBM pada hakekatnya “diterima” oleh negara pemasok minyak. Pantaskah Arab Saudi “menerima subsidi”, sedang petani singkong, sawit, serta pabrikan BBN di Republik ini hanya melonggo doang ? Listrik (PLN) juga disubsidi, padahal BBN bersifat lebih strategik dibanding listrik (bisa disimpan [untuk sediaan masa darurat], bisa diperdagangkan antar pulau [di Indonesia], antar propinsi, antar negara, antar benua, dan merupakan sumber energi yang amat sangat sulit digantikan dalam suatu sektor penting ekonomi [yaitu : transportasi].
Subsidi BBN saat ini, tanpa kepastian. Siapa yang tarik ulur ? Siapa yang tidak mampu melaksanakan ”lebih cepat lebih baik” ? Pemerintah sebenarnya bijak, di tahun 2009 direncanakan subsidi BBN sebesar Rp 831 M atau Rp 1. 000,- per liter. Pada RABN 2010 diusulkan subsidi BBN sebesar Rp 1,534 triliun, terinci bioetanol sebesar Rp 429 M dan biodiesel sebanyak Rp 1,125 T, atau Rp 2.000,- per liter. Usul sih bagus, udah lumayan meski dengan besaran subsidi tersebut, para pabrikan BBN mengemukakan belum tercapai harga keekonomian. Tetapi kapan realisasinya ? Nih udah September 2009. Sebentar lagi, 2009 udah tutup buku !
Berita Duka 1 atau Berita Gembira ? Debat berat di tanggal 2 Juni 2009 –ahamdulilah dengar pendapat DPR dilaksanakan Juni, padahal diperjuangkan sejak Pebruari 2009- dengan Komisi VII DPR-RI menyimpulkan pemberian subsidi BBN harus memiliki payung hukum. Perpres No. 55 tahun 2005 harus direvisi, karena hanya mencantumkan subsidi ke premium, solar, dan minyak tanah, TANPA BBN. Ya bisa dimaklumi, kan BBN dikumandangkan di Januari 2006.
Nih, udah tiga bulan… revisi Perpres No. 55 belum juga selesai ? Malah PP No. 15 tahun 2005 tentang jalan tol direvisi dengan mulus menjadi PP No. 44 tahun 2009 yakni memperbolehkan sepeda motor masuk dan berjalan di jalan tol. Mungkin sepeda motor lebih penting daripada BBN ? Bagaimana pendapat kompasianers ?
Jumat sore lalu, tanggal 11 September saya menerima email tentang ”Berita Migas” 10 September 2009. Di berita itu, Bu Dirjen Migas mengemukakan revisi Perpres No. 55 tahun 2005 masih membutuhkan rapat penyempurnaan dengan mengundang instansi terkait seperti Departemen Perindustrian, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Perhubungan, Departemen Pertanian, Departemen Sosial serta Kementerian Usaha Kecil dan Menengah. Akan dibahas lebih lanjut usulan tambahan pengguna BBM subsidi antara lain para pembatik, omprongan tembakau, dan daerah cagar budaya. Demikian juga akan ditinjau kembali penetapan bukan hanya Pertamina yang dapat menyalurkan PSO (Public Service Obligation – alias BBM subsidi) tetapi mungkin Shell (perusahaan Belanda), dan/atau Petronas (Malaysia), atau Total (Perancis). Aduh bakal Indonesia ”kalah” lagi, Malaysia mampu jualan BBM di Indonesia ! Padahal kita cuman ekspor TKW ?
Aduh, Bu Dirjen kenapa rapaaaat terus? Senior saya dg inisial ES di LSM, ketua Asosiasi……, seorang direktur pabrik biodiesel, pemasok ”awal nan setia” di Pertamina mengirim email tanggapan ke saya yang isinya kami berharap bisa lebih cepat lebih baik. Kita harus menanggapi kelambatan keluarnya kebijakan ini karena selalu tidak ada kepastian. Situasi ini akan membuat para produsen dan investor akan meninjau ulang apakah bisnis BBN masih feasible di Indonesia.