Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Listrik Berbasis "T"

28 November 2009   16:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:09 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_30860" align="alignleft" width="240" caption="Musim dingin di Peternakan Ayam DOY, China (sumber : harian Kompas)"][/caption]

Lima menit lalu, Mbak Mariska menulis tanggapan ”pilu” di halaman profilku, tentang rencana pembangunan PLTU di Pelabuhan Ratu. Sebuah PLTU berbahan baku batu bara, ”si energi kotor” yang bergegas dibangun untuk mengatasi byar pet PLN. Kata beliau: ” apa nggak bisa disarankan pakai engergi yang lebih aman buat lingkungan pak?! saya takut penyu-penyu di sana hilang… hiks! ... kan ada gas dan air pak… penyu… oh penyu… mereka sahabat saya pak!!! saya pernah ke sana dan melihat hamparan ratusan penyu… pemandangan indah dan luar biasa yang tidak mungkin saya lupakan….

PLTA atau PLTG Kasihan ya, melihat Mbak Riska mewek...saya khawatir berpengaruh negatif bagi bayi.....juga ke-sexy-an beliau (coba lihat, beliau sampai salah ngetik kata energi karena keburu sembab). Tapi memang Republik ini keterlaluan....mengapa energi kotor jadi favorit, padahal di manca negara mulai disisihkan ?

Mbak Riska say. PLTA berbasis air, tampaknya kita kesulitan membuat bendungan raksasa seperti zaman Pak Karno. ”Bedol” desa bukanlah tindakan populer, bakal demo besar-besaran. Tentang gas sebagai PLTG, memang Republik ini amat kaya...tapi gas alam kita udah ”tergadaikan”. Bayangkan pabrik pupuk Kujang, pabrik pupuk Aceh, dll kekurangan gas untuk membuat pupuk Urea atau ZA. Busway dan Bajay berbahan gas aja mengeluh antri panjang. Bahkan Trans Jakarta tahap berikut udah diprogram non BBG. Memang progam BBG .....Bahan Bakar Gas, lebih tepat diplesetkan ke Bolak Balik Gagal. Juga gas alam -meski ramah lingkungan- bukanlah Energi Terbarukan.

Belajarlah sampai ke China Namun ada energi gas yang terbarukan. Kompasianers udah baca Kompas Cetak, tanggal 20 November 2009 lalu, di halaman 21 (versi webnya di sini) tentang ”Energi Terbarukan China : Biogas Menopang Industri Unggas”. Sebenarnya Kompas ketinggalan zaman, berita ini udah muncul di web kaskus, tanggal 7 Mei 2009 lalu (klik di sini, yang menyitir China Daily, 4 Mei 2009). Bahkan setahun lalu udah diberitakan oleh web bioenergysite, di tanggal6 Agustus 2008 (klik di sini).

Coba lihat foto di atas, tampak salju menyelimuti Beijing Degingyuan Agricultural Technology Co Ltd (DQY). Kebutuhan energi mutlak bagi peternakan di distrik Yanging, Provinsi Beijing ini, khususnya mengatasi musim dingin. Sejak tahun 2000, DOY mengandalkan batu bara sebagai sumber panas dan listrik bagi pengelolaan 3 juta ayam petelor. Menyadari batu bara adalah sumber polusi, maka DOY sejak tahun 2007 menerapkan teknologi ramah lingkungan dengan mengalihkan sumber energi ke biogas.

Biogas dihasilkan dengan memanfaatkan 80.000 ton ”T” ayam dan 120.000 ton limbah cair tiap tahun. Dengan memanfaatkan biogas, DOY mampu memproduksi listrik 14.600 megawatt per tahun. Tak hanya intern, peternakan itu mampu memenuhi kebutuhan ekstern yakni memasok listrik bagi 10.000 keluarga di Beijing, Tianjin, dan wilayah otonomi pedalaman Mongolia, di China Utara.

Jangan segan belajar ke mantan penjajah Tak hanya China, Belanda telah berhasil melakukan hal yang sama sejak tahun 2008 lalu. Bahkan lebih gede, pembangkit listrik bersumber biomassa khususnya ”T” ayam (konon terbesar di dunia) diresmikan pengoperasiannya oleh Menteri Pertanian dan Lingkungan Belanda, Ny. Gerda Verburg pada 2 September 2008 di Moerdijk, dekat Rotterdam (klik di sini)

Suatu keberhasilan gemilang, karena tenaga listrik yang dibangkitkan oleh ”T” ayam itu mampu menerangi 90.000 rumah. Bayangkan luas cakupannya dalam suatu pemukiman di Republik ini, misalnya Tanah Abang sebagai kecamatan terluas di Jakarta Pusat, di mana terdapat 31.000 rumah. Maka tiga kali Tanah Abang diteranginya. Atau mencakup hampir keseluruhan kota Semarang yang memiliki 94.723 rumah dan bangunan yang terdaftar.

Gaptek alias oon Kapan ya kita mampu meniru seperti di atas. ? .....”T” kita kan melimpah, juga suhu udara tropik amat mendukung dekomposisi di digester biogas . Jujur, saya nggak atau belum mengerti bagaimana DOY juga di Moerdijk ”memacu” pertumbuhan si renik untuk menghancurkan biomassa di musim dingin ? Memang, saya harus belajar lebih rajin agar tidak oon.

Kuningan 21 Residence,28 November 2009 SALAM ENERGI HIJAU, Berkah Dalem Gusti Roy Hendroko

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun