Mohon tunggu...
Roy Hendroko
Roy Hendroko Mohon Tunggu... -

Roy adalah mania di bBH (jangan diartikan Bra Mania), atau dalam Bahasa Indonesia yang salah kaprah : BBN Mania, atau di-Inggris-kan : Biofuel Mania. Saat ini mencangkul di perusahaan swasta yang berbasis perkebunan dan industri kelapa sawit, sebagai Researcher Biofuel Plant Production. Roy pensiun dengan masa kerja 35 tahun dari sebuah BUMN yang mengelola 10 Pabrik Gula, 2 Pabrik Bioetanol, dan 2 Pabrik Kelapa Sawit. Aktif di Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), Asosiasi Pengusaha Bioetanol Indonesia (APBI) skala UKM, Asosiasi Bioenergi Indonesia (ABI), Asosiasi Petani Jarak Pagar Indonesia (APJPI), Forum Biodiesel Indonesia (FBI), dan Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI). Tujuanku menulis adalah memberitakan bahwa minyak bumi sedang menuju titik nadir dan suatu hari BBM adalah akronim dari Bener Benar Malu. Masa depan Republik ini adalah pertanian energi karena pro poor, pro job, pro growth, dan pro planet. Postinganku berupaya menjadikan BBN (bahan bakar nabati) menjadi back bone di negara ini. Bukan seperti saat ini yang hanya Bener Bener Nekat atau hanya sekadar Bener Bener Narcist dan akhirnya pabrik Benar Bener Nyaris jadi rosokan besi tua karena hanyalah merugi. Apakah "mimpi", "utopia", atau "misi"-ku akan tercapai ? INSYA ALLAH dan semoga rekan Kompasianer mendukungku.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Biofuel Second Generation

15 November 2009   13:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19 1529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Met jumpa Rekan Kompasianers. Beberapa minggu lalu, saya menerima email dari bos FBI. Ah...jangan sirik, katakan Roy narsis. Mosok Roy dikirimi email oleh FBI, pangkat apa sih Roy itu?Eh, weleh weleh, jangan salah sangka, FBI yang kumaksud bukan yang ”ditakuti” di Amrik...tapi Forum Biodiesel Indonesia. Sebuah LSM yangsejaktahun 2002 mempelopori dan mendorong penggunaan biodiesel di Indonesia. BosFBIsaat itu di kota Tsukuba, Jepang. Beliau berpartisipasi dalam workshop gabungan Pokja BBN ERIA (Economic Research Institute for ASEAN & East Asia) - IEA (International Energy Agency) Bioenergy Task 40 (Eropa) tentang 'International Trade Activities and Opportunities for Solid and Liquid Biofuels".

Email Bos FBI Email itu sebagai berikut : Nuansa sangat kuatmunculdi workshop ini,bahwa negara-negara maju pada ngebet mau impor biomassa (pelet kayu, cip kayu, tempurung sawit, bal jerami dan tandan kosong sawit, dsb) untuk digunakan sebagai bahan bakar bebas gas rumah kaca danbahan mentah BBN generasi 2 . Perdagangan internasional biomassa ini akan segera booming; ASEAN (terutama Indonesia) adalah sumber besar komoditas ini. Kami dan rekan-rekan ASEAN sepakat bahwa kita harus sangat berhati-hati, mengingat bahwa di dalam biomassa terkandung mineral-mineral tanahdan, karena perniagaan energi bersifat "raksasa" atau masif, maka ekspor besar-besaran biomassa untuk keperluan energi bisa berakibatterdegradasinya (atau tandusnya) lahan-lahan pertanian, perkebunan, dan hutan ASEAN dalam 2-3dekade mendatang. Ini saya kemukakan juga di dalam workshop, tetapi tak ada satu-pun pengusaha dan pihak Eropa yang mau merespons. Akhirnya, kami meminta Dr Sagisaka (Ketua Kelompok Riset Bioenergy Sustainability ERIA) untuk segera memasukkan kajian tsb dalam studi kelompoknya.

Kompas Cetak Seusai membaca email bos di atas, saya teringat berita di Kompas Cetak, tanggal 23 Oktober 2009, di halaman 50...”Limbah Kayu Jadi Bahan Bakar”. Mungkin ada kompasianers yang berkata....berita apa yang akan diceritakan Roy karena so pasti limbah kayu jadi bahan bakar. Itu sih bukan berita baru, Roy menghabiskan waktuku aja. Lihatlah di dapur-dapur pedesaan Republik ini....kan pakai kayu bakar. Bukan gitu,maksud saya. Ada ”anak judul” disamping ”judul utama” tersebut yakni”pengurangan emisi : Limbah Kayu Jadi Bahan Bakar”. Menyimak anak judul tersebut jelaslah bukan sekadar batang, ranting, atau limbah kayu dibakar. Bila ini yang dikerjakan.. itulah ”teknologi nenek moyang” yang malah menambah emisi.

Kompas menceritakan tentang Bioetanol Japan Kansai Co Ltd., sebuah pabrik etanol di Osaka yang berbahan baku biomassa. Memang hingga saat ini produksinya masih sangat sedikit, namun menunjukkan progres peningkatan. Sejak di mulai tahun 2000, produksi hanya 4,7 juta ton, tahun 2005 meningkat menjadi 7,3 juta ton, pada tahun 2010 diprediksi 7,5 juta ton.Hal ini sejalan dengan strategi ”Biomass Nippon” yang dideklarasi Maret 2006 yang merencanakan penggunaan 50% penggunaan biofuel pada tahun 2030. Mereka menerapkan taktik yang disebut strategi pertumbuhan ekonomi dengan revolusi karbon rendah

Hebat ya, idih tapi masihmenang Republik ini dibanding Nippon, Intruksi Presiden -Inpres 1/2006 tentang deklarasi BBN, di Indonesiakan dikumandangkan di Januari 2006. Artinya kita berpikir lebih maju dari Japan.Iya betul...tapi Jepang, saat ini telah mampu menurunkan ketergantungan minyak bumi sebagai energi primer dari 80 persen dankini hanya 44 persen. Kita.......,saya .malu menulisnya....karena kita omdo aja (klik di sini). Begitu semangatnya ”saudara tua” ini sampai merambah kemana-mana menanam tumbuhan penghasil BBN khususnya Jatropha, antara lain di Indonesia (klik di sini)

Komoditas Dagang Kompasianers....email dari bos FBI,saya posting dengan sejumlah tujuan. Pertama, sharing bahwa segera akan booming perdagangan limbah biomassa.Roy kan baik hati, beritatersebut tidak saya keep...tapi disebarkan. Kali, aja kompasianers ada yang akan segera membentuk PT Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit....silahkan hubungi saya....yuk, kita join. Saya tidak pingin jadi Dirut...kasi jabatan lain pokoke yang enak.

Bayangkan Republik ini memiliki areal kelapa sawit terluas di dunia. Dengan produksi CPO (minyak sawit kasar) lebih kurang 18 juta ton, Indonesia mempunyai tidak kurang dari 100 juta ton Tandan Buah Segar(TBS) Kelapa Sawit. Dari sejumlah TBS itu, dipastikan ada sekitar 20 juta ton Tandan Kosong Sawit (TKS)...yang saat ini terkatagori ”limbah”. Berupa duit 20 juta ton itu ? Itu belum dihitung cangkang atau tempurung sawit. Tapi kalau kita masih ”merasa melarat” dengan dagang TKS....masih ada ampas tebu dari pabrik gula. Kita dapat kongsi membentuk PT Ampas. Bila masih kemaruk alias serakah masih ada jerami padi....yang menunggu kompasianers membuat PT Seresah Jerami....untuk collecting, memproses, dan mengekspornya. Kita juga punya limbah pulp, dari pabrik kertas (sekadar informasi, Indonesia adalah salah satu penghasil pulp terbesar di dunia).

Karunia Allah Kedua, saya kagum....kok hebat ya dunia, termasuk Jepang. Mereka sadar bahwa suatu saat tidak mungkin bertumpu pada minyak fosil....yang cenderung menuju titik nadir. Menanam tanaman BBN-si Energi Hijau, mereka tidak mampu...tak ada lahan, tenaga kerja mahal, dan mereka terkendala matahari. Bukankah mereka tidak dikarunia Allah dengan sinarmatahari ”secerah” di Indonesia? Karena pada hakekatnya, Energi Hijau hanyalah ”menyimpan” energi sang surya.

Mereka juga sadar penerapan Energi Hijau pada hakekatnya saling kanibal antara food, feed, dan energy...seperti saya tulis di klik di sini(di sub bab permasalahan bahan baku, dan seterusnya) dan di situ (di sub bab kanibalis). Mereka melakukan riset terarah, terkordinasi, dan didanai cukup untuk menuju second generation biofuel. Mereka melakukan upaya mencegah agar omelan Pak Paribu (kompasianer di Aurora, Colorado, Amrik) tidak meluas, mendalam, dan melebar...klik di sini.Maka mereka memanfaatkan limbah dengan tujuan ganda yakni memperoleh BBN yang ramah lingkungan dan meniadakan limbah dengan segala dampak negatifnya.

[caption id="attachment_25707" align="alignright" width="216" caption="Bus Airport Soekarno-Hatta yang berbahan bakar BBN"][/caption]

BBN Generasi II Seperti kita ketahui BBN generasi I, pada hakekatnya menggunakan tanaman pangan. Bioetanol diperoleh dari fermentasi tanaman yang mengandung gula dan pati (antara lain : jagung, tebu –nira atau molases-, dan singkong). Sedang biodiesel diperoleh dari transesterifikasi minyak-lemak (antara lain : sawit, kedelai, rapeseed, kanola, bunga matahari). Meski sebenarnya ada tanaman potensiyang ”belum mutlak” sebagai pangan di Indonesia, misal pada bioetanol adalah sorgum, nipah, aren, sagu, dll. Sedang pada bahan baku biodiesel adalah Jatropha curcas alias Jarak pagar, Kemiri Sunan, Nyamplung, Pongamia, dll. Bila akan membaca lengkap, please klik di sini.

[caption id="attachment_25712" align="alignleft" width="160" caption="Bio-Oil  Bahan Bakar Nabati dari Biomassa"][/caption]

Namun dunia mengarah ke bahan-bahan lignoselulosa....antara lain tanaman yang dibudidaya, misal switch grass, giant king grass (saya cerita dikit di klik di sini) dan limbah pertanian seperti kita bahas di atas. Pada bioetanol akan dibuat dari delignifikasi lignoselulosa + fermentasi gula selulosa. Pada biodiesel, melalui proses yang disebut BTL (Biomass-To-Liquids) yakni minyak diesel hidrokarbon yang diproduksi dari bahan lignoselulosa melalui kombinasi teknologi gasifikasi + sintesis Fischer-Tropsch. Disamping itu, ada lagi kemungkinan di buat BBN lain yakni, bio-oil melalui teknik pirolisa cepat (fast pryrolisis).

So pasti, saya nggak tepat menulisteknologi second generation biofuel itu di ”rumah sehat” ini. Undang aja Roy dkk, sebagai pemakalah.......pasti datang asal cocok honornya...ha,ha,he,he,hi,hi.

Utopia, Mimpi atau Fakta Tahun 2007, Presiden Bush mendeklarasikan program “20 in 10” (twenty in ten) yaknisubstitusi 20% BBM oleh BBN dalam jangka waktu 10 tahun (yakni tahun 2017) di USA. Menunjang hal ini sejumlah penelitian besar telah/sedang dilakukan, khususnya bioetanol generasi dua. Namun dengan pesatnya kemajuan saat ini, sejumlah pakar yakin teknologi bioetanol generasi ke-2 pastikomersial sebelum 2017. Para pakar teknologi bioenergi memperkirakan target komersialisasinya akan terjadi di tahun 2012.

[caption id="attachment_25708" align="alignleft" width="240" caption="US-NREL (National Renewable Energy Laboratory) Biomass to ethanol pilot plant"][/caption]

Pabrik-pabrik demonstrasi sedang didirikan di berbagai lokasi di Amerika Utara. Tak mau kalah, seperti tadi di atas kita obrolkan Jepang dan China juga melaksanakan studi intensif. Mascona adalah salah satu perusahaan teknologi di Boston, Amerika Serikat, yang aktif dalam pengembangan biofuel selulosa. Teknologi mereka dikenal dengan sebutan consolidated bio processing (CBP) dan diklaim mampu menghasilkan etanol lebih murah jika dibandingkan dengan proses pembuatan etanol generasi pertama. Celunol Corp sedang membangun pabrik 200 ribu m3/tahun di Louisiana. Sejak tahun 2005, Swedia mampu menghasilkan bioetanol dari selulosik seharga 5 krone atau Rp 6.000 per liter. Bioetanol ini dihasilkan dari pilot plant skala kecil, yakni 200 liter/hari berbahan baku limbah pulp kertas. Iogen Corp mengoperasikan pabrik demonstrasi (3800 m3/tahun) sejak 2004 di Ottawa, Canada. Bayangkan kompasianers ”pabrik demonstrasi” aja berkapasitas sebesar itu ? Saya benar iri !!!

[caption id="attachment_25710" align="alignright" width="240" caption="Pabrik BTL pertama di dunia, mulai beroperasi 18 April 2008"][/caption]

Nih semua data dan cerita di atas, saya copy paste dari calon buku Roy dkk yang akan terbit di AgroMedia Pustaka, Jakarta. Sekian aja ya, ntar bila copas banyak...si penerbit bakal komplin. Lanjut ya, tentang biodiesel generasi ke-2.Pabrik demonstrasi komersial pertama teknologi BTL (di Freiburg, Jerman), mulai beroperasi tanggal 18 April 2008, saat diresmikan oleh Perdana Menteri Jerman. Lanjut tentang bio-oil, alhamdulillah ...puji Allah karena seorang Indonesia terlibat di penelitian ”besar” ini. Sobatku, Justinus AB Satrio PhD sedang berkutat di Center for Sustainable Enviromental Technologies (CSET) di Iowa State University.

Porsi Konglomerat Bagaimana di Indonesia ? Puji syukur, sejumlah penelitian sellulotik meski hanya skala laboratorium telah di laksanakan oleh ITB, Unpar, Deptan pada sejumlah komoditas yakni TKS, batang sagu, dan onggok industri tapioka. Tapi analisa saya, pabrik-pabrik BBN generasi kedua ini, tidak mungkin diterapkan skala kerakyatan seperti BBN generasi pertama. ....khususnya dalam industri ”Desa Mandiri Energi”. Second generation menuntut peralatan lebih mahal karena bekerja dengan tekanan tinggi, suhu tinggi, dan penggunaan bahan kimia yang menuntut peralatan tahan korosi. Apakah hanya konglomerat yang mampu berkarya di BBN... dan UMKM hanya jadi penonton serta buruh....seperti dikeluhkan rekan Eko Suryo, si bioetanolist dari Medhioen ...klik di sini (kehebatan beliau saya ceritakan di Bioetanol 9, klik di sini). Mengatasimasalah ini membutuhkan empatibapak-bapak yang ”memakai kupiah” di Republik ini, dan juga sumbang saran kompasianers.

Prihatin dan Tak Rela Di atas, saya mengajak kongsi rekan kompasianers untuk ekspor biomassa Indonesia guna buat BBN di manca negara. Tetapi di akhir postingan ini...saya ”cabut”, Roy ”pecah kongsi” aja. Saya mendukung pak bos FBI, sayatidak rela biomassa Indonesia diekspor.

Kenapa, kunaon, why, warrom Roy pindah pendirian ? ( Alasan Pertama), pertanyaan saya…ngapain biomassa di ekspor, kenapa tidak Republik ini membuatnya jadi BBN....dan BBN itu yang kita ekspor ? Bagaimana pendapat kompasianers ?

Tak itu saja, meski Republik ini masih ”bingung” tentang BBN generasi pertama...apalagi pasti pusing dengan generasi kedua, biomassa tidak seharusnya di ekspor. Mengapa ? karena ( Argumen Kedua), saya jadi ingat obrolan Mbak Mariska,yang menceritakan tentang ”casting” Saya malu sebagai orang pertanian.....Mbak Mariska yang ”nggak paham” kesuburan kimia tanah, kesuburan fisika tanah, dan kesuburan biologi tanah (tapi beliau amat paham kesuburan biologis manusia juga singa) bisa cerita ”cacing casting” ...kok saya mau jual biomassa ?

Biomassa adalah bahan organik. Bahan ini adalah kunci utama kesuburan tanah. Tanpa bahan organik tidak ada kehidupan di dalam tanah, dan tanpa kehidupan mikro dan makro fauna (misal cacing) dan flora di dalam tanah maka tanaman tidak mungkin tumbuh dan berproduksi.Apakah yang akan kita makan, bila tanaman tidak mampu berproduksi ?

Pengawasan Apakah mungkin, Republik ini menahan dorongan ekspor biomassa ? Pasir aja dikeruk dan dijual ke Singapurauntuk reklamasi agar kompasianer si Boy punya ”flat”....dengan dampak sejumlah pulau ”tenggelam”. Tetes tebu, bahan baku utama bioetanol di Indonesia diekspor tanpa batas ke manca negara, padahal Pakistan menyatakan No Export, dan Thailand menerapkan Pajak Ekspor 50 %.

SemogaPak Beye bijak.

Kuningan 21 Residence, 15 Nopember 2009. SALAM ENERGI HIJAU, Berkah Dalem Gusti Roy Hendroko

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun