Mohon tunggu...
Roy Erickson Mamengko
Roy Erickson Mamengko Mohon Tunggu... dosen tetap fisip universitas sam ratulangi -

Lahir di Tondano, Minahasa 5 November. Tahun 1985 menyelesaikan pendidikan strata satu (Doctorandus) di FISIP Universitas Sam Ratulangi. Antara tahun 1993-2000 menyelesaikan program strata dua dalam dua bidang ilmu yang berbeda (MA dan M.Theol) di Apollos Theological Seminary Jakarta, dan Asbury Theological Seminary USA. Antara tahun 2000-2004, menyelesaikan program strata tiga (Doctor by Research) di Northern State University USA.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berkaca dari Revolusi Perancis

12 Oktober 2010   14:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:29 1607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Roy Erickson Mamengko

Di abad ke-14 terjadi apa yang dinamakan Renaisance di Eropa yang dimulaikan dari Itali. Renaisance atau terlahir kembali; seorang sejarahwan Belanda Johan Huizinga, menamakan sebagai suatu zaman impian pada masa lampau dimana kaum intelek Eropa memimpikan suatu masa kebesaran dan kejayaan. "The Intelect Beauty" seperti apa yang dilihat oleh pelukis Botticelli dalam karya lukisannya "Lahirnya Venus" lukisan "David" dari Michelangelo, Monalisanya Leonardo da Vinci, Loirenya Erasmus dan banyak lagi ahli-ahli pahat dan bangunan. Pendek kata Huruf "R" berarti "Individualisme" dan "Modernisasi" bagi Eropa yang telah dimulaikan dari Itali. Lebih rinci adalah suatu kesempatan dimana seseorang lebih melihat ke dalam individunya dan karya kesanggupan mencipta.

Tetapi "R" bisa juga berkembang menjadi sebuah mitos, karena kesempurnaan yang ingin dimiliki manusia adalah tanpa batas, dan tak mudah terpuaskan bahkan bisa berkembang kearah yang salah karena tak terkontrol dan ini telah dibuktikan oleh sejarah yang terjadi di Perancis.

Sejak zaman Louis XII, yang beristrikan Maria de Midici seorang putri Italia, kerajaan Perancis telah bercita-cita bahwa Perancis akan menjadi pusat kebudayaan di Eropa, mengambil alih kebesaran Itali. Cita-cita ini menurun ke Louis ke-XIV atau si Raja Matahari. Untuk itulah Versailles telah dibangun, dan tatakrama kaum bangsawan dilatih, demikian pula budi bahasanya. Versailles adalah simbol kecemerlangan Renaissance ("R").

Bentuk Pemerintahan Perancis sebelum Revolusi.

Raja mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas, memuncak pada Louis ke-XIV, yang selalu mengulangi perkataan: "Lietat c'est moi" (I am the state). Namun demikian negara berbentuk Collonne dibawah pengawasan umum, setiap daerah memperhatikan kesejahteraannya sendiri-sendiri. Penduduk terdiri dari kaum bangsawan, kaum agama dan rakyat.

Kaum bangsawan dan agama punya hak-hak istimewa namun rakyat tidak punya hak apapun. Mereka hanya berkewajiban membayar pajak, dan jumlah dari rakyat inilah yang paling banyak. Pajak-pajak yang harus ditanggung rakyat adalah : pajak diri (capitation), pajak penghasilan, pajak rumah dan harta tetap, pajak tanah, pajak garam, pajak untuk gereja, pajak untuk kaum bangsawan, pajak untuk barang-barang kerajinan yang dihasilkan rakyat, pajak berdagang dan banyak lagi. Rakyat tidak punya hak untuk duduk dalam pemerintahannya. Hanya kaum bangsawan dan kaum agama yang bisa memegang pemerintahan, tidak dari golongan rakyat yang dianggap bodoh dan tidak terdidik. Oleh karena itu golongan rakyatpun berusaha untuk bersungguh-sungguh dalam bidang kerajinan, menenun, belajar sendiri, dan berdagang secara kecil-kecilan. Yang paling penting dari golongan rakyat ini muncul ahli-ahli pikir yang kemudian membela hak-hak mereka sebagai rakyat.

Lahirnya para pemikir penganjur perubahan.

J.J. Rousseau (1712 - 1775)

Pemujaan dan pujiannya kepada rakyat dapat dikatakan terlalu berlebihan. Sebagai seorang penulis dia tergolong pemuja alam, sama seperti dua orang kawannya dari Inggris yaitu William Words Worth dan Charles Dickens. Manusia adalah bagian dari alam, dan dia lebih memuja rakyat, karena dalam tingkah laku rakyat yang polos terdapat ketulusan, tidak pada orang yang telah dihaluskan atau telah dipoles oleh tatakrama. Rakyat adalah segala-galanya bagi dia. J.J. Rousseau menyiarkan faham kemerdekaan bagi manusia dan persamaan. Rousseau menulis buku yang berjudul "Contract Sosial". Dijelaskannya bagaimana seharusnya undang-undang dan peraturan-peraturan untuk manusia yang beradab. Tulisan Rousseau ini amat mendapat perhatian rakyat Perancis, dipandang sebagai buku suci ke arah perubahan sehingga semua rakyat merasa berkewajiban untuk membacanya. Inti dari Sociale Contract bahwa kekuasaan adalah ditangan rakyat.

Voltaire (1694 1778)

Sebenarnya pada zamannya, Voltaire lebih dikenal sebagai seorang pujangga daripada seorang ahli hukum. Dengan tegas dan jitu dikritiknya pemerintahan Louis ke-XIV yang aristokrat. Dia membandingkan pemerintahan di Inggris yang berparlemen dengan di Perancis yang hanya namanya punya parlemen, sedangkan, parlemen sejak Louis ke-XIII tidak lagi berfungsi. Kemudian dia membandingkan pemerintahan Frederick II di Jerman yang bertindak demi masyarakat banyak. Voltaire menyokong pendapat J.J. Rousseau dengan mengatakan bahwa semua peraturan yang telah tidak sesuai harus ditiadakan.

Montesqueu (1659-1755)

Bukunya adalah "L'Esprit des Lois" (Jiwanya Undang-Undang). Diterangkan sejarah dari Undang-Undang dan peraturan-peraturan pemerintah, dirincinya segala keburukan dan kebaikannya. Kekuasaan membuat undang-undang, menjalankan undang-undang dan kehakiman harus dipisahkan.

Ketiga penulis ini, banyak mempengaruhi meletusnya revolusi Perancis. Ajaran Rousseau adalah yang paling menonjol, dia punya banyak pengikut dari kaum bangsawan maupun dari kaum agama. Idea Rousseau kecintaan pada rakyat, dan kembali ke alam, disambut di seluruh Eropa bahkan di Amerika Utara (New World atau Amerika Serikat sekarang ini). Ketiga penulis ini semasa hidupnya di zaman Louis ke-XIV tidak pernah hidup di Perancis. Rousseau memilih Swiss (Zurich) sebagai tempat tinggalnya hingga ajal, sedangkan Voltaire pernah tinggal di Inggris kemudian mendapat perlindungan raja Frederick II dari Jerman (temannya Voltaire) namun pernah pula dipenjarakan di Bastille, demikian pula Montesque.

Para sejarahwan kemudian mencatat bahwa J.J. Rousseau yang dengan seluruh jiwanya untuk rakyat, tidak sempat lagi melihat kemarahan dan pengadilan rakyat dimasa Revolusi Perancis itu.

Meletusnya Revolusi Perancis.

Ketika, kesulitan sedang memuncak raja Louis XV mangkat. Raja ini terkenal, tidak pernah berbuat apapun untuk rakyatnya, dia hanya terkenal di meja judi, dan menjalankan garis-garis kebijkasanaannya yang telah ditetapkan oleh Louis XIV. Louis ke-XV diganti oleh anaknya Louis Ke-XVI. Rakyat mempunyai sedikit harapan akan ada perbaikan, karena diketahui bahwa Louis ke-XVI orangnya baik hati walaupun tersiar desas-desus bahwa permaisurinya Maria Antoinette, (anak Maharani Austria) adalah ratu yang manja dan boros. Semasa Louis Ke-XVI, Necker dijadikan menteri keuangan, rakyat banyak berharap kepada kebijaksanaan Necker, karena dia meniadakan segala tunjangan istimewa untuk para bangsawan.

Tetapi karena bermacam intrik istana, Necker kemudian diasingkan raja, dan hal ini menimbulkan kemarahan rakyat. Rakyat berbondong-bondong ke Versailles (Istana tempat raja berdiam) hendak menanyakan akan hal itu, tetapi mereka dihadang oleh pasukan keamanan dan banyak dari rakyat yang menjadi korban. Maka rakyat berseru, kita harus pula cari senjata, dimana ada senjata? Senjata disimpan dipenjara Bastille, maka seluruh rakyat kota Paris berbondong ke Bastille pada tanggal 14 Juli 1789 itu, dan memporak-porandakan penjara yang angker itu serta melepaskan seluruh tahanan politik. Bastille adalah lambang kekejaman dari aristokrasi Perancis, dan keruntuhan Bastille hingga saat ini dirayakan sebagai hari kemerdekaan Perancis. Rakyat yang telah punya senjata meminta Jendral Lafayette ( yang dikenal sebagai Jendral yang pro rakyat) untuk memimpin mereka, dan Lafayette menyanggupinya.

Brunswick adalah Jendral yang dipercayakan untuk menjaga keamanan raja, yang pada waktu itu meminta bantuan tentara Jerman untuk menjaga keamanan kota Paris.

Pada tanggal 14 Juli itu pula, di Versailles L'Assemblee Nationale/ Majelis kebangsaan bersidang lagi, sesudah badan itu dilumpuhkan untuk waktu yang cukup lama. Persidangan terakhir adalah pada tahun 1614. Para bangsawan tercengang melihat kefasihan berbicara dari pemimpin-pemimpin rakyat. Terdapat banyak orator yang sejak itu berbicara di pojok-pojok jalan, maupun taman-taman terbuka, yang isinya hanyalah membakar semangat rakyat.

Sementara itu, ekonomi Perancis makin parah harga roti terus menanjak. Tiba-tiba saja di tanggal 6 Oktober itu (1789) seorang anak perempuan kecil memukul-mukul mangkok susunya yang terbuat dari kaleng. Sambil mengatakan lapar-lapar, mana roti, mana roti. Ucapan yang memelas dari anak itu telah menggerakkan hati semua kaum ibu disekitar tempat itu. Semua mereka mengatakan, apa yang akan kita lakukan bila anak-anak kita lapar? Suara itu dengan cepat didengar di seluruh kota Paris. Muncul wanita-wanita sebagai pemimpin, ayo kita ke Versailles. Setiap rombongan itu lewat, banyak yang bergabung sehingga kelompok membesar memenuhi jalan ke arah Versailles. Golongan ini adalah golongan ibu-ibu yang compang-camping, badan mereka tidak bermandikan parfum sebagai wanita-wanita bangsawan yang hidup di Versailles. Setiba di istana Versailles hari telah malam, maka mereka berkemah disekitar Istana.

Pagi-pagi kaum agitator telah datang dan berpidato pada mereka. Mireabau, angkat bicara, siapa bilang wanita-wanita Perancis tidak cantik? Semua mereka cantik melebihi kecantikan Maria Antoinette, kekurangannya karena mereka tidak mandi dengan susu setiap hari dan bersiramkan parfum. Maka ramailah tempat itu. Kalian mau roti? Mintalah pada si tukang roti dan istrinya (maksudnya raja dan ratu), tempat itu menjadi semakin gaduh.

Mari kita ajak si tukang roti, dan istrinya ke Paris, biar mereka tahu betapa miskinnya kami. Maka berteriaklah perempuan-perempuan itu dihadapan istana Versailles meminta raja pindah ke Paris. Raja mengabulkan permintaan mereka, dan rombongan perempuan itu bagaikan menyeret kereta keluarga raja, menuju Paris, sambil mereka bernyanyi-nyanyi, kami tidak akan kekurangan roti lagi, karena si tukang roti, istrinya dan anaknya (putra mahkota) telah kami bawa ke Paris untuk mengolah roti kami. Sejak itu keluarga Louis XVI, mendiami kembali sitana tua, Louvres di tengah-tengah kota paris, (sekarang digunakan sebagai museum). Lukisan-lukisan yang diabadikan oleh seorang pelukis Perancis tentang kemarahan perempuan-perempuan itu, tersimpan dalam museum ini.

Dipihak lain, para bangsawan Eropa mengikuti dengan cemas perkembangan Revolusi di perancis. Mereka juga tidak setuju dengan cara Louis ke-XVI menuruti kemauan rakyatnya, raja telah menjadi permainan dari para agitator. Jerman, Austria, Belgia dan Belanda menyatakan perang pada Perancis. Tetapi gegap gempita Revolusi terus bergema.

Para bangsawan bermodal, secara diam-diam telah meninggalkan Perancis dan transfer uang dari Bank of Paris ke Bank of England menjadi sibuk. Raja telah berkali-kali diperingati oleh saudara-saudaranya yang telah selamat tiba di Itali, Jerman dan Inggris untuk mencari jalan segera meninggalkan tempat itu. Tetapi Louis ke XVI selalu menjawab diatidak percaya bila rakyatnya sendiri akan menyakiti dia, dan bila hal itu sampai terjadi dia rela. Ketika raja berhasil dibujuk oleh Maria Antoinnette untuk tinggalkan Paris, keadaan telah terlambat, mereka tertangkap di Verrennes.

Kaum bermodal lari meningggalkan negeri Perancis, dan banyak dari mereka yang memilih "The New World" (AS sekarang ini) sebagai tempat penanaman modal (Baca The Ambassadors: Henry James).

Majelis kebangsaan, tidak menghasilkan apa-apa, sehingga akhirnya keadaan dikuasai oleh kaum anarkhi. Raja diseret ke pengadilan rakyat. Seorang intellektual yang pinternya semacam apapun tak dapat melawan emosi rakyat yang bertindak karena dendam.

Jendral La Fayette, sebagai seorang tokoh militer yang dianggap dapat menyelesaikan keadaan tidak dapat berbuat banyak. Mungkin pada waktu itu dia terlalu tua, lagi pula dia telah lebih banyak memikirkan kebangkitan Amerika Serikat, Jendral La Fayette adalah juga salah seorang penanda tangan Deklarasi Philadelphia di tahun 1776 di Amerika.

Pengadilan Rakyat dan Pengadilan untuk Raja.

Sejak keadaan tak terkendalikan lagi, sebenarnya yang berlaku adalah suasana pembalasan dendam. Seorang pujangga Inggris seperti Charles Dickens, yang khusus datang ke Paris untuk menyaksikan peristiwa-peristiwa itu, menulis bahwa: "Suatu generasi yang paling terdidik, dan dianggap paling berbudaya habis dilanda Revolusi itu." Rakyat yang dibelenggu berabad-abad hidup bagaikan binatang, telah berubah dari domba-domba yang penurut, menjadi serigala-serigala yang lapar, yang siap merobek siapa saja yang dianggap akan tambah menyengsarakan mereka. Adakah hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Voltaire, dan pengadilan yang dimaksudkan oleh Montesqueu berlaku dalam suasana yang demikian? Dimanakah keluguan rakyat dan kelembutan rakyat yang dibayangkan oleh J.J. Rousseau? Yang bergema pada waktu itu hanyalah Guilty atau tidak guilty dan guilitin adalah jawabannya.

Bentuk pengadilan untuk raja, tak terhindar dari pengadilan rakyat. Pengacara yang disediakan adalah seorang pengacara yang dianggap tersohor diseluruh Eropa, Deseze namanya dan pada persidangan yang dikatakan sebagai muktamar kebangsaan ini, kalimat Deseze dicatat dalam sejarah hukum, seperti berikut: " Saya cari diantara tuan-tuan siapa yang menjadi hakim diantara tuan-tuan?" Ternyata aku tidak berhasil menemukannya, dan ini sudah pratanda suatu kegagalan hukum. Tuan-tuan semuanya adalah pendakwa."

7 Januari 1793 Muktamar Kebangsaan menjatuhkan hukuman mati pada Louis Capet, dengan cara memungut suara yaitu 387 melawan 334. Dalam kata-kata penyerahannya, rajaberkata semoga darah saya dan darah yang telah mengalir selama ini akan membahagiakan rakyat Perancis, dihari-hari mendatang.

Pemburu-pemburu kekuasaan; Robberpierre, Danton, Marrat dan Mirrebeau.

Setelah raja dihukum mati, maka muncullah banyak partai. Semua menyuarakan untuk rakyat dan demi kesucian cita-cita politik mereka. Partai Republik partai Yacobijn, Girodin dll. Singa-singa panggung adalah Robbespierre, Marrat dan Danton duduk dalam partai Yacobijn.

Robbespierre, ahli pidato digolongkan pada penganjur terror seperti juga Marrat dan Danton. Setelah beberapa tahun berjalan menjadi negara Republik, makaPerancis pun tidak tahan akan tekanan-tekanan luar apalagi tiga serangkai yang dikenal sebagai "Tukang sembelih" yang bercokol dalam partai Yacobijn seperti Robberpierre, Danton dan Marrat berada dalam partai ini. Perancis berusaha mendapatkan kembali julukan sebagai negara yang berbudaya di Eropa, dan terdapatnya tukang-tukang sembelih itu di partai Yacobijn dianggap sebagai suatu yang amat memalukan. Oleh karena itu terjadilah perpecahan dalam partai itu. Dan Robbespierre dihukum mati.

Danton, terkenal sebagai diktator Paris terkenal dengan peristiwa berdarah September 1789 dimana dalam tiga malam saja 1000 (seribu orang) yang diduga pro raja telah dibantai dan menganjurkan agar di kota-kota besar lain di perancis dilakukan hal yang sama. Ketika rakyat mulai menginginkan ketenangan maka Danton pun dipenggal dengan Gulitin.

Mirrabeau,Mirreabeau sebenarnya telah pertama-tama digulitin oleh pengadilan revolusi, karena dituduh telah mengadakan persetujuan secara rahasia dengan mantan ratu Maria Antoinette. Mirrabeau adalah seorang orator terkenal yang mematahkan pidato raja di dewan kebangsaan pada tanggal 5 Mei 1789.

Marrat, Dia adalah seorang yang pergi dari satu kota ke kota yang lain, di Perancis untuk mengumpulkan nama-nama dari orang-orang yang dicurigai masih menjadi pengikut raja. Biasanya nama yang telah dalam daftarnya tak akan lolos lagi dari penyembelihan. Disaat itu partai Yacobijn telah hancur berantakan terjadi tuduh menuduh diantara mereka. Maka Marrat berpidato dengan berapi-api mencela pemimpin-pemimpin yang menurut dia adalah pengkhianat bangsa. Dimusim semi bulan April 1793 itu, dia berada di Gaen, daerah Bregtagne. Sementara itu disalah satu pojok taman itu, seorang gadis dengan tekun mendengarkan pidato Marrat. Nama gadis itu, "Charlotte Corday" rupanya gadis itu tak tahan lagi mendengarkan keganasan-keganasan yang dianjurkan Marrat. Maka dia mengikuti Marrat ke Paris. Sesampai di kantor Marrat gadis yang lugu itu berkata: " Saya datang dari Gaen ingin bertemu tuan Marrat". Malihat gadis itu dengan segera Marrat berkata: "Manakah nama-nama pengkhianat dari negerimu ? Marrat duduk untuk menuliskan nama-nama, tetapi dengan cepat gadis itu menusukkan pisau yang sangat tajam ke dada Marrat. Maka berakhirlah hidupnya di musim semi tahun 1793 itu. Kematiankeempat ahli terror ini dicatat dalam sejarah Eropa sebagai pemburu-pemburu kekuasaan yang tak segan-segan menjadikan rakyat yang lugu sebagai korban permainan politik mereka.

Berkaca pada sejarah revolusi Perancis, dalam mengatasi kebingungan rakyat, sekarang ini adalah lebih baik diam, tidak perlu banyak memberi tanggapan, salah satu, apalagi berlebihan maka anda tak lebih dari seorang agitator. Semoga Tuhan melindungi kita, dan terhindar dari marabahaya.

Manado, 8 Oktober 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun