Kenapa “agaknya” Bank Syariah enggan untuk menyentuh sektor UKM ?
Hal ini lebih kepada persoalan insentif semata. Meskipun begitu, masalah ini mempunyai dampak yang lebih luas lagi dan mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
Problem terkait insentif ini muncul dalam tiga aspek.
1. Tidak adanya syarat kolateral (jaminan) yang akan memunculkan problem adverse selection (salah pilih/seleksi yang merugikan) dalam sebuah sistem perbankan Islam. Tidak adanya syarat kolateral ini kemungkinan besar akan menarik bagi pengusaha yang kekayaannya terbatas.
2. Perjanjian mudharabah menekankan pada problem moral hazard, karena Bank tidak dapat memaksa pengusaha untuk mengambil tindakan yang sesuai (atau tingkat usaha yang dibutuhkan). Selain itu, Bank tidak dapat membatasi aktivitas pengusaha dengan menentukan intensitas usahanya, misalnya dengan menentukan secara rinci anggaran belanjanya. Pengusaha diberikan kebebasan penuh untuk mengelola proyek
3. Karena pengeluaran-pengeluaran seluruhnya ditanggung oleh Bank, perjanjian ini memberikan intensif kepada pengusaha untuk mengadakan pengeluaran yang lebih dari yang dibutuhkan guna memaksimalkan laba. Perjanjian mudharabah memberikan dorongan kepada pengusaha untuk meningkatkan konsumsi keuntungan yang tidak berupa uang denagn biaya dari pendapatan uang. Sebabnya, karena konsumsi yang meningkat itu sebagian ditanggung oleh Bank, sedangkan keuntungan seluruhnya dihabiskan oleh pengusaha.
Jadi, sebenarnya bukan tanpa alasan ketika Bank Syariah tidak mau melayani sector UKM. Hal ini dikarenakan bahwa memang sector tersebuttermasuk dalam golongan investasi yang “high risk”. Maka dari itu, selama ini Bank-Bank Syariah hanya menangani proyek yang tentu saja sudah terjamin.
Disinilah kiranya permasalahan yang dihadapi oleh Bank syariah. Mereka masih belum memiliki sebuah sistem yang bisa membedakan mana UKM yang benar-benar berpotensi (prospektif) dan mana pula yang tidak.
Mari kita pecahkan masalah tersebut secara seksama.
UKM, yang merupakan kepanjangan dari ”Usaha Kecil Menengah”, merupakan sebuah badan usaha, baik menjual barang ataupun jasa yang bisa dikatakan masih tergolong baru, biasanya ada keunikan yang ditawarkan dan masih harus melalui berbagai macam tantangan untuk dapat terus eksis dan berkembang sehingga benar-benar butuh perlakuan khusus. Karena, muara dari penghasilan UKM adalah selling. Maka, disinilah letak peran dari Bank Syariah untuk dapat menentukan apakah UKM tersebut benar-benar berpotensi atau tidak.
Caranya adalah dengan memonitoring omzet penjualan UKM tersebut secara tidak langsung, apakah sesuai dengan target pada business plannya atau tidak dengan menggunakan e-commerce.
Jadi, sebelumnya Bank Syariah harus bermitra dengan salah satu toko on-line yang ada di Indonesia. Contohnya untuk yang BUMN adalah plasa.com. Konon, telkom telah menghabiskan uang yang banyak sekali untuk dapat membangun website ini, yang khusus diperuntukkan juga untuk penggiat UKM. Tentu saja banyak sekali keuntungan yang dapat diperoleh para penggiat UKM tersebut dengan menggunakan sistem e-commerce ini jika dibandingkan dengan toko konvensional.
Alur dari monitoring secara tidak langsung ini adalah sebagai berikut.
Pertama, penggiat UKM harus mendaftarkan diri sebagai nasabah Bank Syariah dan punya account di salah satu toko on-line yang menjadi mitra terpercaya Bank Syariah tersebut. Jika sistemnya seperti pada plasa.com, apabila terjadi order, pihak Bank akan selalu tahu karena terjadi transfer dari pihak pengelola toko on-line ke Bank Syariah. Ini juga mencegah adanya penipuan, karena transfer hanya terjadi lewat satu pintu tersebut, yakni dari pengelola toko on-line ke Bank Syariah dengan memakai rekening pemilik UKM. Nah, dengan cara ini pihak Bank akan secara otomatis tahu omset penjualan dari UKM tersebut lewat frekuensi dan kuantitas transfer yang terjadi tiap hari. Dari sinilah, pada akhirnya pihak Bank dapat menilai apakah UKM tersebut benar-benat berpotensi atau tidak. Inilah yang dimaksud ”monitoring secara tidak langsung”, dimana pihak Bank tidak turun langsung ke lapangan untuk melakukan evaluasi dan berarti tanpa mengeluarkan biaya sepeserpun.
Cara ini bisa dilakukan sebelum Bank Syariah meng-acc permintaan business plan dari pengusaha tersebut untuk mengetahui perkembangan usahanya atau pada saat setelah Bank syariah memberikan dana untuk mengetahui seberapa besar kapasitas produksi jika dibandingkan dengan sebelumnya. Maka dari sinilah bisa dinilai apakah UKM tersebut termasuk tergolong prospektif atau tidak.
Guna teknologi adalah untuk meringankan pekerjaan kita. Di atas segala kelebihannya, cara ini kurang cocok untuk diterapkan pada UKM – UKM yang menjual jasa. Mungkin dari sini, akan muncul banyak ide lainnya. Saya tunggu komentar dari teman-teman kompasioner. Terima Kasih.
Link To my Blog : creativeendless.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H