Artikel ini telah tayang di basabasi.co sebelumnya dengan judul yang sama.
Dalam sebuah perjalanan mudik, sambil berpangku tangan di jendela mobil, saya terhanyut dalam imajinasi masa lampau. Terhitung, sudah empat tahun berturut-turut saya tak pernah pulang kampung. Dari kejauhan, meski telinga saya diterpa angin musim kemarau, saya seperti mendengar teriakan anak-anak yang sangat meriah.
"ayooo kau pasti bisaa!!" teriak Andi kepada Baso yang sejak tadi gemetar berdiri di tepi tebing sungai. Tinggi tebing tersebut sekitar tiga meter. Diselimuti rerumputan dan akar pohon. Dari bawah sungai, Andi dan kawan-kawannya dapat melihat air muka Baso yang ketakutan membayangkan jika dirinya tak dapat menyeberangi arus sungai yang cukup deras.
Di desa Andi, ada tradisi turun temurun di kalangan anak-anak yang terus dipelihara. Barangsiapa yang mampu berenang menyeberangi sungai ketika banjir dianggap sebagai manusia-manusia terpilih. Sungai tersebut bernama Sungai Larompong, sama dengan nama desa Andi.
Pada tahun 2008, sungai tersebut pernah mengalami banjir bandang dan menenggelamkan tiga kecamatan. Ratusan rumah rusak berat dan puluhan meninggal dunia. Bertahun-tahun pasca banjir bandang, warga di Desa Larompong mulai terbiasa dengan banjir.
Kini, hampir tiap tahun banjir selalu saja datang lebih rutin. Terkadang dua kali setahun, tiga kali, bahkan pernah sebanyak empat kali dalam setahun. Volumenya tidak sebesar banjir bandang, tetapi cukup untuk membuat sawah gagal panen, menenggelamkan empang yang membuat ikan seisinya hanyut ke laut dan mengotori rumah-rumah warga dengan luapan lumpur serta tumpukan sampah.
Salah seorang tetangga saya pernah depresi berat. Bagaimana tidak, bibit ikan bandeng sebanyak 10.000 ekor yang baru saja ia masukkan ke dalam empang harus hanyut seluruhnya akibat banjir. Mana pula bibit tersebut ia beli dengan cara berhutang ke koperasi.
Beda cerita dengan Rosmini, si Ibu dengan lima anak dan satu bayi besar. Ya, bayi besar yang  saya maksud adalah suaminya yang telah lumpuh bertahun-tahun. Rosmini memiliki sawah tepat di belakang rumahnya dengan luas sekitar 50 are. Satu minggu sebelum waktu panen, banjir cukup besar terjadi dan membuat sebagian tanaman padinya tak dapat dipanen.
Bagi kebanyakan warga Desa Larompong, terdapat sebuah kejanggalan. Jika pada 2008 banjir bandang membawa material yang cukup beragam, terutama didominasi oleh potongan-potongan kayu dan pohon yang diyakini hanyut dari kawasan hulu, banjir-banjir setelahnya hanya membawa material lumpur tetapi dalam volume yang sangat besar.
Hal inilah yang membuat sungai tempat bermain Andi dan kawan-kawannya terlihat seperti aliran susu coklat yang menggiurkan. Cara untuk mengenali pertanda akan datangnya banjir adalah cukup dengan melihat warna air sungai.