Mohon tunggu...
Ridho Irawan
Ridho Irawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya orang nya ingin bisa di segala bidang maupun hal. Selebihnya silahkan lihat sendiri. inilah hasil coret2an keyboard hp ku... hehehehe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Curhat: Endapnya Aliran Tanya

30 September 2012   00:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:29 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Letihnya ragaku menyulap ranjang bisa berteriak dengan gaya mengajakku untuk aku segera menidurinya. Terbujur tubuh ini, yang dipenuhi kepenatan berombak yang terus mengikis semangat seiring dengan berlajunya waktu yang menghakimi dan memutuskan segala sesuatunya harus terus berdesak mengikuti jalan nya. Tubuh yang hanya segumpal daging bernyawa, disini merintih atas ketidak sanggupan menyimak rahasia yang terbeber kerahasiaan nya. Mengisak nyawa ini, mencari dan melanglang buana entah apa dicarinya hingga bertemu selongsong bumpet. Terkapar jiwaku, merengek, terpekik nadinya dan koma.

Pejam mataku tak juga dapat menyeru pada kantuk agar lekas menggerayangi raga lelahku. Seakan memang sengaja untuk singgah dulu ditengah perjalan, mengulur-ulur. Agar jeda waktu untuk aku mengernyitkan jidatku untuk kesekian kalinya lebih lama lagi. Berangsur angsur ku scan tiap inci dan lekuk tanda tanya besar itu. Ku coba membabat nya dengan sebuah pisau tajam nalar liarku, barangkali tanda tanya itu tumbang dan tak lagi menjadi sebuah penyumbat menuju jawaban dari 'sebuah tanya'.

Aku menjadi genangan air jernih yang didasar nya penuh lumpur dalam. Sungguh, genangan itu bahkan kehabisan akal sehat untuk mengubah lumpur itu menjadi batu yang keras agar tak lagi menyulam pintalan di benak-benak penjejak bahwa si air penuh kebohongan dengan menyemayamkan lumpur dalam di dasar nya. Air itu menggenang semakin dalam saja, menciptakan genangan yang makin keruh karna isakan terus menghujaninya. Berharap pada kemarau yang panjang datang, mengeringkan air itu agar silumpur terlihat dan mengeras menjadi batu hingga penjejak berdiri kokoh tanpa pintalan ruwet tentang air yang jernih namun dasarnya lumpur yang dalam.

Aku jenuh, hingga jenuh ini akut. Ragaku sejatinya bernyawa dan bernafas, tapi tak ku temukan denyut nadinya, berhenti detaknya. Senyumku pun kurasakan perlahan memudar. Menyisih kan diri kemudian liar. Rengek jiwaku menyuara dan berkibar. Asa ku terkecoh menipis lalu terdampar. Membuat langkah ini pun serasa bergetar. Menguras usiaku yang perlahan menyempit tak sadar. Semua sarapan liku ini ku jadikan kudapan untuk menyemangati nyawaku yang masih mengendap di ragaku. Mengendap tak mau mengalir seakan memang memaksakan untuk berbetah-betah pada jeritan yang juga telah mengendap.

Jeritan jenis itu tak lagi membuat aku peka dan tuli karnanya. Hanya memandeg kan angin yang akan mampir membonceng tanya ini menelusur jawaban nya sendiri. Dia memasungku di iramakan tanya besar dan hebat. Mengundang fakta dan logika berdebat. Tetapi menemukan hasil yang mebuatnya berlutut dan terjerat. Kemudian sang awam mulai meberi hujat. Pada dia, yang sedang diperkosa penat. Hingga terlihat dilangkah jiwanya yang tersendat-sendat. Padahal langkah hidupnya belum menemukan jawaban yang memuaskan tersemat. Di rel-rel denyut nadi nya yang mandeg dan berkarat.

Berjiba hidupku menggali semangat untuk bertahan walau kadang yang tergariskan jauh dari kata dapat dipertahankan. Ironis ini ku rintis sekalipun sang penguasa bagiku kejam. Ku tahu pahit yang ku kenyam ini. Ku tahu aku sudah larut di perbudak jiwaku sendiri. Aku takut, terjerat dan terjebak lalu sekarat tapi tak tertemu jalan setapak lagi yang diterangi kunang-kunang yang menyertaiku menggogoh hak ku untuk bebas. Dari selaksa terpuruk yang membuatku prustasi.

Hingga kubuiarkan saja aku terlelap bersama harapan-harapan yang mengayomiku untuk memulungi puing Asa ku yang terkikis tipis nyaris tak lagi menyisa.

Padang lawas utara, 29 09 2012.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun