Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mental yang Bo(b)rok?

17 Januari 2015   19:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:56 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin pagi (16/1/2015), pukul 06.30 WIB saya sudah tiba di sekolah. Aktivitas di sekolah, saya awali dengan mempersiapkan seperangkat sound system yang akan digunakan untuk memutar instrumen Senam Jula-Juli bagi murid-murid kami. Singkat cerita, setelah berakhirnya senam bersama, aktivitas berikutnya adalah kerja bakti bersama murid-murid. Usai kerja bakti, saya pun lanjut mengajar pendidikan jasmani untuk kelas V D (ruang kelas V di sekolah kami ada lima rombel) di lapangan sekolah. Ketika Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) telah berakhir, aktivitas selanjutnya adalah melatih pasukan pengibar bendera (paskibraka) untuk upacara hari Senin. Selesai melatih paskibraka, saya lanjut mengangkat gordyn (yang pada saat kerja bakti dicuci oleh siswi-siswi) dari jemuran, untuk saya pasang kembali pada tempatnya.

Dengan terpasangnya gordyn pada tempatnya, maka usailah rangkaian aktivitas saya di sekolah tepat pada pukul 11.33 WIB. Saya mengetahui dengan pasti hingga detik berakhirnya, karena setelah memasang gordyn, saya langsung mencari tempat duduk (dari pagi baru sekali ini bisa duduk) untuk menyadarkan bahu sekadar melepas lelah yang ada, sembari membalas beberapa pesan BBM dan whatsapp yang masuk ke handphone saya, dari riwayat pesan inilah saya mengetahui pada jam berapa aktivitas berakhir. Selesai melepas lelah, setengah jam kemudian saya bersiap-siap meninggalkan sekolah bersamaan dengan beberapa rekan kerja pria yang berangkat ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat Jumat.

Dalam perjalanan meninggalkan sekolah, ada beberapa urusan yang harus saya selesaikan, diantaranya saya harus mengirim surat dengan menggunakan jasa Kantor Pos. Dari dua Kantor Pos yang saya lewati dalam perjalanan meninggalkan sekolah, keduanya tutup karena pegawainya sedang istirahat, akhirnya saya memutuskan untuk menyelesaikan urusan lain lebih dulu dengan melakukan penarikan uang tunai di mesin ATM. Namun saat saya hendak menuju ke salah satu bank yang menyediakan mesin ATM, dalam perjalanan saya melihat ada Kantor Pos yang tetap buka saat yang lainnya tutup (dua kantor pos yang saya lewati sebelumnya). Melihat Kantor Pos yang tetap buka, saya pun mengubah arah perjalanan menuju Kantor Pos tersebut.

Setibanya di Kantor Pos, ada dua pria (bapak-bapak) dengan penampilan parlente sedang melakukan transaksi, saya pun antri sambil berdiri menunggu mereka hingga selesai. Dengan mengantri, memberikan kesempatan bagi saya untuk memperhatikan keadaan Kantor Pos. Dalam hati saya sempat memuji satu-satunya pegawai kantor pos (yang sedang bertugas seorang ibu) yang memiliki loyalitas tinggi, karena tetap melakukan pelayanan saat pegawai yang lain memilih untuk beristirahat. Dari dua pria yang sudah ada sebelum saya tiba, satu pria melakukan transaksi pengiriman paket, dan satu pria lainnya lagi (mereka berdua berteman) membayar tagihan PDAM. Dari dua transaksi yang dilakukan itu, loket pelayanannya berbeda (meski letaknya bersebelahan), loket satu untuk pembayaran tagihan PDAM, dll., sementara loket dua untuk pengiriman paket dan surat (saya tidak tahu ketentuan pastinya, namun kesimpulan tersebut saya dapatkan saat memperhatikan pegawai kantor pos harus berpindah tempat untuk transaksi yang berbeda).

Sebelum Ibu Pegawai (selanjutnya saya singkat menjadi: IP) tersebut berpindah tempat, saya sempat ditanyai: “Mas-nya mau apa?” Saya pun menjawab dengan lembut: “Mau kirim surat, Bu.” Saat pertanyaan dilontarkannya tersebut, saya mencium aroma ketus dari ekspresinya. Saya pun tetap sabar menanti IP melayani di loket pembayaran tagihan PDAM, sembari menanti saya melakukan analisa (dalam hati) terhadap kemungkinan yang dirasakan IP tersebut: Apakah IP tersebut sedang lelah? Apakah IP tersebut mengalami kesulitan saat melayani transaksi sebelumnya (pengiriman paket)? Atau IP tersebut akan kedatangan tamu bulanan hingga suasana hatinya jadi tidak jelas? Tapi analisa saya terbantahkan saat melihat IP tersebut tetap bisa memberikan pelayanan yang baik (tanpa ekspresi ketus) kepada dua pria yang sudah ada sebelum saya tiba.

Singkat cerita, ketika pelayanan belum usai, datanglah dua pria (bapak-bapak) lainnya antri di belakang saya. Ketika pelayanan yang sebelumnya telah usai, ditanyailah dua pria yang antri di belakang saya: “Mau apa, Pak?” Dijawab oleh dua pria tersebut: “Mau bayar tagihan air.” Seketika itu juga IP tersebut mengatakan kepada saya, sambil menunjuk loket yang ada di sebelahnya: “(Loket) Kiriman kilatnya tutup, Mas. Orangnya sedang istirahat.” Dengan jelas saya mendengar kalimat tersebut, dan terjadilah percakapan di antara kami sebagai berikut:

Saya (dengan lembut bertanya): “Lalu untuk saat ini, apa yang harus saya lakukan, Bu?”

IP: “Ya nanti kembali lagi setelah jam istirahat berakhir.”

Saya (seketika itu emosi meledak, dengan nada tinggi saya berkata): “Kenapa tidak dari awal saya tiba di tempat ini Ibu berkata seperti itu, hingga saya tidak perlu menunggu lama seperti ini. Kalau Ibu bisa layani orang yang barusan, kenapa giliran saya tidak bisa?”

IP (berusaha berkilah): “Karena tadi kiriman paket.”

Saya (makin emosi mendengar kilahan tak bermutunya): “Memangnya di mana letak perbedaan antara kiriman surat dengan kiriman paket?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun