Pada abad ketiga di Tagaste, Afrika Utara, hiduplah seorang wanita bernama Monika. Monika merupakan isteri dari seorang pria bernama Patrisius. Dalam pernikahannya, mereka dikaruniai tiga orang anak, salah satu anaknya bernama Agustinus. Agustinus merupakan anak yang nakal, meski demikian Agustinus merupakan anak yang memiliki kecerdasan tinggi. Saat Agustinus mulai tumbuh besar menjadi remaja, kenakalannya makin menjadi-jadi. Monika tak bisa berbuat banyak untuk mencegah kenakalan Agustinus (meski nasehat-nasehat yang berarti telah coba diberikan), karena Patrisius (seorang yang kasar dan pemabuk) tidak pernah memberikan teladan yang baik sebagai ayah untuk anak-anaknya, khususnya bagi Agustinus. Patrisius hanya menginginkan Agustinus menjadi seorang murid yang terkenal karena kecerdasannya, tak pernah peduli dengan kenakalannya (yang penting terkenal).
Melalui usaha belajar dengan tekun, Agustinus pun akhirnya menjadi seorang murid yang terkenal. Pada saat berusia 17 tahun, Agustinus telah mengusai bahasa latin, macam-macam penulisan latin, dan isi kepalanya berlimpah dengan pengetahuan (filsafat). Akan tetapi, karena ketidakpedulian dan tidak adanya teladan baik dari ayahnya, Agustinus tak mampu hidup dalam aturan moral yang ada. Agustinus menjadi remaja yang liar, masa remajanya dihabiskan dengan teman-temannya yang sama liarnya (rusak karena pergaulan). Dan buah dari keliarannya itu, Agustinus memiliki seorang anak (hasil hubungan di luar nikah dengan seorang wanita) pada saat usianya menginjak 18 tahun.
Hati Monika menjadi hancur mengetahui keliaran Agustinus yang makin menjadi-jadi itu, terlebih saat Monika harus mengetahui Agustinus mengalami kekosongan jiwa dan merasa tidak puas dengan nilai-nilai ajaran yang ada di kitab suci. Karena kecerdasan tinggi yang dimiliki oleh Agustinus, membuatnya memiliki anggapan nilai-nilai yang ada di kitab sucinya terlalu biasa, dan menjadikan Agustinus mengikuti sebuah aliran yang mengutamakan rasionalisme (kemampuan memikirkan sesuatu yang lebih dari nilai-nilai kitab suci yang dianggapnya terlalu biasa) dan menolak adanya Sang Pencipta Semesta. Aliran yang diikuti Agustinus untuk memenuhi kekosongan dan memuaskan "hasrat kecerdasannya" itu bernama Manikheisme.
Hati Monika tak lagi berbentuk karena terkoyak-koyak oleh keliaran Agustinus. Dengan hati yang hancur dan tak berbentuk itu, Monica tak pernah jemu-jemu memberikan doa dan air matanya untuk Agustinus. Hingga suatu hari selepas ibadah, ketika semua jemaat telah pergi meninggalkan ruang ibadah, terdengarlah suara tangis Monika (yang sedang berdoa dan duduk seorang diri) oleh seorang uskup. Lalu dihampirilah Monika oleh seorang uskup tersebut, dan bertanyalah uskup tersebut kepada Monika. Singkat cerita, dalam perbincangan mereka, terucap permohonan Monika kepada uskup tersebut untuk berbicara dengan Agustinus supaya melepaskan diri dari aliran Manikheisme. Sembilan tahun Monika terus memberikan doa dan air matanya untuk pertobatan Agustinus, namun usaha itu tak juga membuahkan hasil (termasuk usaha dari Monika setelah memohon pertolongan dari seorang uskup).
Suatu ketika, karena Agustinus tak kunjung terpuaskan "hasrat kecerdasannya" melalui aliran Manikheisme, Agustinus pun memutuskan untuk mencari kepuasan itu hingga ke Roma, Italia. Meski (kepergiannya tidak disetujui) tanpa restu dari Monika, Agustinus yang saat itu berusia 29 tahun tetap nekat berangkat ke Roma. Setahun setelah Agustinus berada di Roma, Agustinus mengalami sakit yang parah. Dalam keadaan terbaring, Agustinus mencoba berdiri dan keluar dari kamarnya untuk melihat cakrawala yang dipenuhi bintang-bintang bercahaya. Saat melihat bintang-bintang bercahaya itu, Agustinus mengalami perubahan dalam hatinya. Bintang-bintang bercahaya itu telah berkhotbah (secara tidak langsung) kepada Agustinus bahwa ada "tangan" yang mengatur bintang-bintang itu hingga bisa berada di atas sana, bisa bercahaya, dan tidak berbenturan satu dengan yang lainnya. Alam telah berkhotbah kepada Agustinus, dan secara perlahan pun Agustinus mulai meninggalkan aliran Manikheisme yang mengutamakan rasionalisme dan menolak adanya Sang Pencipta Semesta.
Setelah sembuh dari sakitnya, Agustinus berpindah tempat ke Milan yang jaraknya ratusan kilometer dari Roma. Di kota Milan inilah Agustinus berjumpa dengan Uskup Ambrosius, melalui Uskup Ambrosius dan para biarawan yang cara hidupnya memancarkan teladan yang baik, akhirnya Agustinus disadarkan dan diingatkan kembali akan nasehat-nasehat Monika sewaktu Agustinus masih di Tagaste, Afrika Utara. Tak lama setelah itu, Monika menyusul Agustinus ke Milan, setelah sebelumnya coba menelusuri langkah kepergian Agustinus. Banyak cerita yang Agustinus berikan kepada Monika saat mereka berjumpa.
Hingga suatu hari Agustinus mendengar "suara misteri" seorang anak kecil yang meminta Agustinus untuk membuka dan membaca satu bagian surat yang ada di Alkitab yang berbunyi: "Marilah kita hidup sopan seperti pada siang hari, jangan dalam pesta pora dan kemabukan, jangan dalam perselisihan dan iri hati. Tetapi kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat tubuhmu untuk memuaskan keinginannya." (Roma 13:13-14). Melalui Roma 13:13-14 itulah, hati Agustinus menjadi terusik, hidupnya yang siang hari sebagai pengajar (dosen) dan banyak orang Roma berdatangan ke Milan untuk mendengarkan kuliahnya, namun pada saat malam hari Agustinus hidup dalam pemuasan keinginan dagingnya (tidak sopan). Melalui Roma 13:13-14 itulah, Agustinus akhirnya memutuskan untuk bertobat, baik siang hari maupun malam hari haruslah hidup dalam kesopanan (tidak memuaskan keinginannya).
Betapa bahagianya Monika saat mengetahui Agustinus bertobat. Doa dan air mata yang selama bertahun-tahun telah didedikasikan Monika untuk Agustinus, pada akhirnya mendapat jawaban dari Tuhan. Keyakinan Monika akan pertobatan Agustinus pasti terjadi sebelum Monika meninggal, pada akhirnya juga tergenapi. Kelahiran baru (pertobatan) Agustinus terjadi saat usianya menginjak 33 tahun, kelahiran baru yang ditandai dengan baptisan yang dilakukan oleh Uskup Ambrosius. Setelah pertobatan Agustinus itu, mereka kembali ke Afrika, dan tak lama setelahnya Monika meninggal dunia.
Dedikasi doa dan air mata yang tak berakhir dengan sia-sia, mendapat jawaban sebelum Monika meninggal dunia. Karena doa dan air mata Monika-lah yang telah menyelamatkan Agustinus, karena doa dan air mata Monika-lah pekerjaan Allah di muka bumi ini bisa terlaksana. Tanpa doa dan air mata Monika, tak akan pernah ada seorang bapak gereja yang tulisan-tulisannya (113 buah buku, 218 buah surat dan 500 buah kotbah) memberikan dampak besar bagi sejarah perkembangan gereja dari generasi ke generasi, dan belum berhenti pengaruhnya hingga generasi saat ini (salah satunya: http://goo.gl/2Xgfef).
Kisah Monika dan Agustinus tersebut, selama empat hari terakhir saya gunakan dalam sebuah perenungan pribadi. Sebuah perenungan yang terjadi setelah perbincangan saya dengan Mama saya pada hari Jumat lalu (17/10). Dalam perbincangan yang tidak direncanakan (baik waktu, tempat dan aktivitasnya), terungkap dari hati Mama, bahwa Mama selalu berdoa untuk saya tentang pasangan hidup. Saya terkejut mendengar ungkapan hati Mama, karena sejak saya tumbuh remaja, tak pernah terucap dari lidah bibir Papa Mama tentang "spesifikasi" pasangan yang seperti apa yang harus menjadi pilihan saya, Papa Mama selalu memberikan kebebasan kepada anak-anaknya (tentunya kebebasan yang bertanggung jawab).
Mama mengungkapkan, bahwa dalam doa-doa yang Mama dedikasikan untuk saya tentang pasangan hidup, selalu lengkap dengan spesifikasi pasangan yang seperti apa (menjadi pendamping yang bisa bersama-sama mengerjakan keselamatan, bukan spesifikasi yang "sempurna", bahkan saking sempurnanya sampai-sampai malaikat di sorga tak tertandingi olehnya). Dan saat ini, menjelang saya memasuki babak baru dalam kehidupan, Mama mengungkapkan bahwa spesifikasi yang ada dalam doa-doa Mama itu telah mendapat jawaban, dan tak lama lagi akan tergenapi. Selesai mendengar ungkapan Mama, pikiran saya melayang kepada langkah-langkah hidup yang telah saya lalui. Mengingat yang telah lalu, seringkali saya tak berdaya menentukan pilihan. Meski memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan, namun saya tak berdaya menentukan pilihan. Karena ketak-berdayaan menentukan pilihan itulah, sempat membuat saya terhimpit dalam cengkraman sandiwara yang menjijikan.