Mohon tunggu...
Roy Soselisa
Roy Soselisa Mohon Tunggu... Guru - Sinau inggih punika Ndedonga

Sinau inggih punika Ndedonga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Warisan Teladan: Mengambil Bagian yang Tersulit, Supaya Pihak Lain Mendapatkan Bagian yang Terbaik

10 Desember 2019   20:13 Diperbarui: 10 Desember 2019   20:30 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kompleks Makam Kembang Kuning (Kota Surabaya, 3 Desember 2019)--dokpri

Tak ada gejala apa pun yang muncul ke permukaan, meski sebelumnya ada momen-momen mistik yang tampak, tetapi pada mulanya tak dapat disimpulkan bahwa momen-momen itu sebagai pertanda akan kepergiannya dari dunia ini. Hingga tiba saat kepergiannya (pada hari Senin, 2 Desember 2019, pukul 22.40 WIB), dunia saya terasa berakhir seketika.

Dalam sepanjang musim kehidupan yang telah saya lalui, tak pernah ada kesedihan yang berarti menghampiri, jangankan air mata yang membasahi pipi, pilu pun tak pernah ada yang berhasil menembus kedalaman hati.

Namun, kali ini saya terpukul dengan hebat, teladan besar yang saya miliki tak akan pernah bisa dijumpai lagi di dunia ini, teladan besar yang saya panggil sejak saya mulai bisa berkata-kata dengan sebutan Papa.

Lebih dari tiga dasawarsa, saya telah menjumpai banyak tindakan nyata dari Papa melalui berbagai peristiwa kehidupan yang patut untuk diteladani. Salah satu bentuk tindakan nyata dari berbagai peristiwa kehidupan yang ada yakni Papa selalu mengambil bagian yang tersulit, meski berkonsekuensi Papa harus menjadi korban saat mengambil bagian yang tersulit, supaya pihak lain bisa mendapatkan bagian yang terbaik.

Kehilangan teladan besar seperti Papa dari dunia ini yang menyebabkan saya sangat terpukul, teladan besar yang telah Papa berikan bernilai luhur bagi saya, bahkan rasanya mustahil untuk bisa saya ikuti jejaknya.

Kekuatiran akan ketidakmampuan untuk bisa meneladani Papa ini menjadi salah satu alasan yang mendorong saya untuk mengambil salah satu cincin dari jari Papa---saat kedua tangan Papa belum terbungkus sarung tangan, dan jenazah Papa belum dimasukan ke dalam peti, tadinya mau saya ambil kedua cincin yang ada, tetapi Mama melarang, hingga saya menyisakan satu cincin untuk tetap dikenakan oleh Papa---untuk saya kenakan pada jari saya (selain cincin pernikahan yang sudah ada sebelumnya).

Tentu ada alasan kuat yang mendorong saya untuk mengambil salah satu cincin tersebut. Kami mengenal Papa sebagai pribadi yang unik (kami anak-anaknya memaknai setiap kedekatan, dan masing-masing kami memaknai sendiri setiap kedekatan yang ada), salah satu keunikan yang dimiliki menurut saya yakni sering mengungkapkan sesuatu melalui simbol.

Termasuk melalui kedua cincin berbahan dasar monel yang selalu melekat pada salah satu jari Papa lebih dari satu dasawarsa, Papa pun pasti menjadikannya sebagai simbol yang memiliki pesan di baliknya, dan sebagai salah satu anak yang mengenal Papa dengan sangat baik, saya memiliki beberapa interpretasi terhadap pesan di balik simbol tersebut---kata kuncinya terletak pada kedua cincin yang selalu dikenakan bersamaan hanya pada salah satu jari yang sama, tidak pernah dikenakan secara terpisah pada jari yang lain.

Dari sekian banyak interpretasi yang saya miliki, salah satu interpretasinya yakni Papa membiarkan cincin yang dikenakannya untuk dikenakan oleh anaknya sebagai lambang yang mempunyai nilai sejarah yang penting, karena melalui lambang (monumen) itu akan senantiasa mengingatkan anaknya pada teladan besar yang telah Papa wariskan---saat saya menulis seperti demikian, Papa pun pasti akan menganggukan kepala dari keabadaian sana pertanda setuju terhadap salah satu interpretasi yang saya miliki ini, karena sepanjang hidup hingga menjelang akhir kepergiannya, Papa merupakan pendengar dan penanggap yang baik bagi anak-anaknya.

Akhir kata, tepat sepekan kepergian Papa, senyum yang coba saya tampilkan sesaat setelah pemakaman Papa, saat akan membentuk cerita kehidupan bersama dengan generasi penerus kami (foto bersama buah hati), hingga kini belum muncul kembali dari dalam hati, duka masih tetap menyelimuti, meski kami sadar sepenuhnya bahwa perpisahan ini hanya sementara.

Kiranya warisan teladan yang telah Papa berikan dapat kami ikuti jejaknya, terlebih warisan yang lebih besar dari warisan teladan yakni warisan kode genetik dari Papa yang mengalir dalam diri kami dapat memberikan pengaruh yang kuat untuk kami bisa menjadi serupa seperti Papa, hingga kelak kami berkumpul kembali dengan Papa dalam rangkulan Sang Rahmat dan bertatap muka dengan Sang Teladan.

Kota Surabaya, 10 Desember 2019

RAS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun