Kala itu, pada bulan Mei 1998 di Kota Surabaya, yang saya ingat adalah salah satu momen di mana Mama menjemput saya yang sedang bermain bola dengan teman-teman di lahan terbuka hijau yang terletak di bawah Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) yang terbentang di bagian tengah sepanjang Jalan Raya Dharma Husada Indah. Dari atas sepeda dan tepian jalan raya, dengan muka paniknya yang disertai dengan perasaan sedikit lega karena berhasil menemukan saya (yang masih duduk di bangku sekolah dasar) di antara ratusan anak yang sore itu sedang bermain bola, Mama berteriak: "Roy, ayo cepat pulang."
Dalam perjalanan pulang menuju kediaman kami yang kurang lebih berjarak 1500 meter, Mama menyampaikan kalau Papa sepulang kerja marah-marah karena menjumpai saya tak berada di rumah, mengingat keadaan mencekam yang menuntut lengsernya pemerintahan kala itu juga terjadi di Kota Surabaya. Kemarahan Papa tersebut sangatlah beralasan, tujuan saya dan teman sepermainan kala itu memang tak hanya sekadar bermain bola saja, melainkan ingin menyaksikan peristiwa kerusuhan dan demontrasi mahasiswa yang sedang terjadi dari jarak dekat.
Kini, setelah dua puluh tahun berlalu, pada bulan Mei 2018, tepatnya pada hari Minggu, tanggal 13 (tiga belas) terjadi ledakan bom yang menimpa beberapa gereja di Kota Surabaya. Sesaat setelah kami mengetahui berita tersebut tadi pagi, seketika isteri saya, berkata kepada saya: "Sebaiknya Papa mengurungkan niat untuk menghadiri kegiatan nanti."--pada dua hari lalu, saya memang telah menyampaikan kepada isteri, bahwa pada hari ini (13/05/2018) saya akan menghadiri sebuah kegiatan yang lokasinya tak jauh dari salah satu gereja yang diserang bom.
Belum lama isteri saya menyampaikan hal tersebut, melalui via grup media sosial diberitahukan oleh pihak penyelenggara bahwa kegiatan yang (akan saya hadiri) telah direncanakan semula, diundur sampai ada pemberitahuan lebih lanjut. Ternyata bukan hanya kegiatan yang akan saya hadiri saja, hingga tulisan ini saya posting, beberapa kegiatan yang melibatkan massa pun dibatalkan demi keselamatan bersama--termasuk himbauan untuk mengindari taman-taman kota dan pusat perbelanjaan. Bahkan rangkaian kegiatan yang telah dipersiapkan dalam rangka menyambut hari ulang tahun Kota Surabaya juga dibatalkan pelaksanaannya.
Sejenak saya melakukan perenungan dari peristiwa yang sedang terjadi: Mengapa setelah peristiwa yang terjadi di pusaran pemerintahan pusat menjelang peringatan Hari Kenaikan Isa Almasih yang lalu, harus terjadi kembali peristiwa yang jauh lebih mencekam dan menimbulkan banyak korban di kota terbesar kedua di Indonesia pada hari ini? Mengapa gereja yang menjadi sasaran bom mewakili setiap aliran yang terbilang besar pengikutnya (baik untuk hitungan lokal, maupun hitungan global): Katholik, Pentakosta dan Presbyterian?
Dugaan-dugaan pun bermunculan, bahwa peristiwa ini telah direncanakan oleh kelompok tertentu dengan sangat matang untuk menimbulkan dampak (opini publik, baik di dalam negeri maupun dunia internasional) yang sangat luar biasa. Semoga (dugaan berikutnya ini salah) pribadi-pribadi tertentu dengan ambisi politik dan syahwat kekuasaan yang ada dalam lingkaran peristiwa dua puluh tahun yang lalu, tidak sedang menunggangi kelompok dengan paham tertentu yang mulai tumbuh subur dengan berbagai aksi terornya.
Dengan duka yang mendalam, turut berduka cita atas korban yang telah berjatuhan. Kiranya keluarga korban--saat tulisan ini sedang ditulis, kami pun masih mendapat cerita via telepon, tentang kondisi keluarga dari salah satu korban yang masih dalam kondisi kritis--yang sedang berduka, diberikan kekuatan yang datangnya dari Sang Penghibur. Kiranya duka bangsa semacam ini tak perlu terulang kembali, dan bangsa tercinta ini dapat menemukan jalan menuju masyarakat majemuk yang lebih beradab, sehingga dapat memberikan pola gerak sejarah yang tak memalukan.
Kota Surabaya, 13 Mei 2018
RAS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H