Saat duduk di bangku sekolah dasar, saya kerap menunjukan ekspresi superioritas saya dengan menjadi anak nakal. Saya tidak bisa diam saat berada di sekolah, selalu berusaha mencari perhatian teman dengan mengganggunya. Ekspresi superioritas itu makin menjadi-jadi saat saya duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), saya kerap petentengan menantang siswa lain yang terlihat ekspresi superioritasnya (jagoan), tak peduli meski postur tubuhnya lebih besar dari saya. Karena ekspresi superioritas yang saya tampakan itu, cukup mudah bagi saya untuk dikenal sebagai anak nakal yang mungkin disegani sebagian siswa pada saat itu.
Dengan predikat sebagai anak nakal pada saat itu, mengantarkan saya dalam pergaulan anak nakal lainnya. Bahkan dalam pergaulan itu dekat dengan yang namanya narkoba, aktivitas “nyimenk, nyabu dan nyuntik” sering saya jumpai saat masih duduk di bangku SMP. Herannya, meski berada dalam pergaulan seperti itu, tak pernah sekalipun tubuh saya tersentuh oleh narkoba (saya memiliki keyakinan ini semua karena penjagaan Tuhan dalam diri saya). Hanya saja, karena ada dalam pergaulan seperti itu, saya jadi sering membantu teman-teman “pemakai” untuk mendapatkan uang.
Membantunya dengan cara memalak siswa-siswa yang berpotensi memberikan uangnya, karena mereka membawa uang saku dalam jumlah besar. Cara memalaknya tidak tanggung-tanggung, saya dan seorang teman lain (yang dianggap jagoan juga), mendatangi kelas per kelas (satu angkatan saya pada saat itu ada 10 kelas, tiap kelas berisi 40 siswa) menghampiri setiap siswa yang jadi sasaran. Pada saat itu tindakan konyol seperti ini sangat menyenangkan bagi saya, karena superioritas saya akan makin diakui, dari pihak teman-teman “pemakai” akan memandang saya sebagai pemberani yang melebihi mereka, sementara dari pihak siswa yang jadi korban akan makin menyegani saya.
Seiring berjalannya waktu, terlebih setelah meninggalkan bangku sekolah menengah pertama (SMP) ke sekolah menengah atas (SMA), tindakan-tindakan konyol yang tadinya menyenangkan bagi saya, menjadi hal yang paling memalukan bagi saya, hingga mengantarkan saya pada komitmen untuk tidak melanjutkan kekonyolan yang ada saat duduk di bangku SMA. Komitmen itu pun seperti mendapat restu dari yang “menjagai” saya, karena seminggu setelah kami diterima di salah satu SMA Negeri di pusat Kota Surabaya, salah satu teman saya saat SMP (yang membawa pengaruh besar bagi teman-teman untuk memakai narkoba) ditangkap polisi di depan sekolah dan setelahnya (beres kasusnya) tidak melanjutkan pendidikan di Kota Surabaya.
Singkat cerita, masa SMA pun saya lalui dengan wajar, meski tidak wajar-wajar banget sih, karena ekspresi superioritas itu masih tampak dalam bentuk yang berbeda dan yang terpenting (sebisa mungkin) tidak merugikan yang lain. Salah satunya yang masih saya ingat saat saya duduk di kelas tiga, saya pernah mengekspresikan “superioritas nyali” saya dengan bergelantungan di tiang pintu pagar besi yang ada di depan kelas menggunakan kedua pergelangan kaki, sementara kaki, tubuh, tangan, dan kepala saya dalam posisi lurus menukik ke bawah.
Saya melakukan posisi bergelantungan tersebut tanpa bantuan siapa pun, tanpa alat pengaman apa pun, dan menahan posisi bergelantungan tersebut dalam waktu yang lama (selama beberapa detik). Mungkin setiap orang yang melihat akan merasakan kengeriannya, dan saya berani jamin pada saat itu tidak ada satu siswa pun yang bisa melakukan posisi serupa. Karena beberapa kali saya melihat siswa lain berusaha mencobanya, masalahnya selalu rasa takut yang muncul duluan, atau selalu terasa sakit di pergelangan kaki (sebelum melepaskan pegangan tangannya untuk menukik ke bawah) karena tertekan besi yang dijadikan media untuk bergelantungan.
Itulah masa-masa saya saat menjadi anak didik, anak didik yang tidak bisa diam, anak didik yang selalu mencari perhatian dengan mengganggu teman, anak didik yang selalu mengekspresikan superioritasnya. Kini, setelah lima tahun saya menjadi pendidik, saya tak terkejut dengan anak-anak didik yang model begituan, karena saya pernah berada dalam posisi mereka. Namun yang menarik bagi saya selama lima tahun terakhir menjadi pendidik, saya banyak mempelajari karakter anak-anak didik yang pendiam. Rupanya, tidak ada beda antara anak nakal dan anak pendiam.
Tidak ada beda? Ya, tidak ada beda antara anak nakal dan anak pendiam. Dari beberapa anak pendiam yang saya pelajari, tidak ada beda dari sikap hatinya (motivasi) dengan anak nakal. Anak nakal mengekspresikan kenakalannya untuk mendapat perhatian dari teman dan gurunya. Sementara anak pendiam pun mengekspresikan kemampuannya (duduk diam, menjadi anak yang paling baik, dll) untuk mendapat pengakuan dari teman dan gurunya. Jadi, ekspresi sikap mereka boleh berbeda, tapi sikap hati mereka tak ada bedanya.
Bila tak ada beda sikap hati antara anak nakal dengan anak pendiam, lalu dari mana kita harus mulai mendidik karakter mereka? Apakah hanya mendidik karakter mereka dari perbuatan yang nampak di luar saja? Apakah cukup hanya dengan mendidik anak-anak yang nakal menjadi diam? Lalu bagaimana dengan anak-anak diam yang sebenarnya sikap hati yang mereka miliki pun salah? Pendidikan karakter yang baik sebenarnya tidak selalu menekankan perbuatan yang nampak, tapi lebih dalam dari itu, pendidikan yang menyentuh hati anak-anak didik. Secara pribadi pun, saya merasakan perubahan karakter saya semasa remaja karena ada yang “menyentuh“ hati saya, hingga saya mendapatkan “pijakan” yang tepat, dan melalui pijakan itu saya mulai belajar, bekerja dan beretika.
Di sini saya tidak memiliki cara-cara khusus, karena sebagai guru bidang studi, saya terbatas berjumpa dengan anak didik di dalam kelas. Namun yang hendak saya bagikan di sini, berdasarkan pengalaman saya setiap kali ada kesempatan berinteraksi dengan anak didik, sebisa mungkin saya coba “masuk dalam hati” anak-anak didik. Saat saya memiliki kesempatan berinteraksi di luar jam belajar mengajar (sebelum masuk sekolah, saat jam istirahat, setelah pulang sekolah), saat itulah saya berusaha menyentuh hati mereka dengan kasih sayang. Menyentuh hati mereka dengan jalan membuka diri saya sebagai seorang pribadi yang bisa mereka kenali dan pelajari melalui cerita yang saya beri, hingga (saya berharap) mereka dapat mengambil cerita itu untuk dijadikan bagian hidupnya dan bisa mereka teladani.
Akhir kata, tugas kita sebagai pendidik bukan hanya transfer informasi, melainkan juga harus membereskan hati (baik hati kita sebagai pendidik, maupun hati anak-anak didik), meski perubahan hati anak-anak didik tidak berbicara soal usaha atau kemampuan pendidik, kesabaran dalam mendidik dan tetap menjadi teladan bagi anak-anak didik yang terpenting di sini. Kiranya pada hari kasih sayang ini (14/02/2015), dapat menjadi momentum bagi kita bersama untuk selalu menyentuh hati anak-anak didik dengan kasih sayang.