Sejarah Batu BertulisÂ
Batu bertulis trengganu salah satu artefak penting dalam sejarah Islam di Asia Tenggara, yang menjadi bukti kuat keberadaan hukum Islam di wilayah Melayu pada awal abad ke-14. Batu ini ditemukan di Kuala Berang, Trengganu, Malaysia.  pada tanggal 4 Rajab 702 H atau 22 Februari 1303  teks itu mulai diberlakukan sebagai undang-undang negara. Kajian yang dilakukan oleh Muhammad Najib  Al-Attas memperkuat keyakinan bahwa tanggal tersebut memang benar, walaupun sebagian teks pada batu tersebut mengalami kerusakan.
Muka A dari batu bertulis berisi pengumuman penting mengenai penerapan hukum Islam. Raja Mandalika yaitu seorang pemimpin Muslim,yang dimana menurut Tome Pires dalam bukunya menulis bahwa nama-nama raja di Semenanjung Melayu pada saat itu juga dipanggil dengan nama Mandalika. kemudian, Sri Paduka Tuhan yang diduga sebagai menterinya, menyusun Undang-Undang untuk memastikan ketaatan terhadap ajaran Allah dan Rasul-nya. Nama Sri Paduka Tuhan sendiri menurut Fatimi berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu "Sri" yang berarti sama dengan "Tuan" dan "Paduka" yang berarti "Sepatu". Â Istilah ini menunjukkan bahwa ia adalah orang besar seperti sepatu yang memiliki kekuasaan untuk menindas para penduduknya. Â Penggunaan istilah "Dewata Mulia Raya" menunjukan adanya adaptasi budaya lokal untuk merujuk kepada Allah, serta menegaskan proses Islamisasi yang berlangsung di kawasan ini.
Pada batu bertulis ini memperlihatkan hierarki hukum yang jelas yaitu:
- Tuhan (Allah) sebagai sumber hukum yang tinggi
- Raja (Mandalika) sebagai pelaksana kehendak Allah di dunia.
- Hukum sebagai aturan yang mengatur kehidupan masyarakat.
Hierarki ini mencerminkan penggabungan nilai-nilai Islam ke dalam struktur pemerintahan lokal.
Isi Hukum di Batu Bertulis
Muka B, C dan sebagian dari muka D mencatat beberapa aturan hukum yang mencerminkan penegakan syariat Islam yaitu sebagai berikut:
- Hukum pertama, hilang
- Hukum kedua, hilangÂ
- Hukum ketiga, hilangÂ
- Hukum keempat, mengatur hubungan antara peminjam dan pemberi pinjaman, namun teksnya kurang lengkap.Â
- Hukum kelima, sama dengan hukum yang keempat.
- Hukum keenam, mengatur hukuman bagi pelaku hubungan seksual yang haram dengan ketentuan 100 kali cambukan untuk yang belum menikah, sementara pelaku yang telah menikah dikenakan hukuman rajam hingga mati. Namun, bagi bangsawan atau orang merdeka dapat menggantinya dengan membayar sebuah denda.
- Hukum ketujuh, menyinggung hukuman untuk zina seorang perempuan, namun teksnya tidak lengkap.
- Hukum kedelapan, mengatur hukuman unuk saksi palsu yang diwajibkan membayar denda.
- Hukum kesembilan, mengandung klausul untuk penghentian pembayaran denda.
Batu bertulis menegaskan kewajiban bagi seluruh penduduk Trengganu untuk mematuhi hukum yang telah ditetapkan. Hal ini memperlihatkan keseriusan dalam menegakkan tatanan masyarakat yang diatur oleh hukum Islam.
Makna dalam Budaya dan Agama
Nama-nama seperti Mandalika dan sri Paduka Tuhan menunjukan pengaruh lokal dalam sistem pemerintahan Islam. Mandalika, yang kemungkinan berasal dari istilah Arab yaitu Malik (raja), dan penggunaan istilah lokal seperti Dewata Mulia Raya menunjukan adanya singkritisme budaya dimana Islam diterima tanpa menghapus tradisi yang sudah ada.