Mohon tunggu...
Rowentino Alfonsius Sinaga
Rowentino Alfonsius Sinaga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Penduduk biasa, bukan jurnalis atau novelis karna saya hanya suka menulis, bukan bekerja.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Problematika Tambang dan Keutuhan Alam: Bertanggung Jawab?

22 Oktober 2024   07:10 Diperbarui: 22 Oktober 2024   07:17 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Produk tambang, suatu hasil bumi yang mengontrol banyak sektor karena pengaruhnya yang besar di luar sana. Bahkan, saking superior-nya produk-produk tambang, manusia seringkali ingin mengeruk lebih dan lebih lagi kekayaan alam yang ada karena manfaatnya. Namun masalah akan selalu datang ketika manusia memutuskan untuk mengeluarkan sifat buruknya, yakni keserakahan. 

Dilansir dari cnbcindonesia.com, Area produksi tambang dari salah satu perusahaan tambang di Indonesia, yakni Freeport Indonesia mencatat angka 9.946 hektare luasnya. Tentu angka-angka yang ditampilkan ini merupakan angka yang masif. Jelas sekali bahwa luasnya tanah yang dikeruk itu memiliki nilai yang luar biasa dari tiap sisi areal pengerukannya, entah itu nikel maupun emas. Tapi pertanyaan fundamental yang ada akan selalu mengarah pada dampak dari pada tambang itu sendiri. Tentunya kita semua mengetahui efek dari kegiatan produksi, yakni limbah. Bagaimana keadaan limbah-limbah yang mungkin dihasilkan dari tambang tersebut? Apakah menjadi limbah kotor yang membuat lingkungan menjadi tak sehat lagi? Atau sudah diolah dalam prosedur yang sesuai standar? Ini akan selalu menjadi pertanyaan, khususnya bagi para pemerhati lingkungan.

Masalah pertambangan tak berhenti sampai di situ. Bagaimana dengan nasib lahan-lahan yang telah dikeruk sampai habis? Freeport sendiri memberi laporan bahwa sampai akhir 2018 telah diadakan reklamasi dan revegetasi sebanyak 378 hektar. Laporan lainnya dari SuratEnergi.com menyatakan adanya reklamasi sebanyak 365 hektar pada tahun 2024. Jika angka tersebut dibandingkan dengan total lahan produksi, tentu harus menjadi pertimbangan apakah reklamasi ini benar dan tepat dalam prosedurnya. Hal ini untuk mencegah kemungkinan adanya penyelewengan dan membuat reklamasi dikerjakan setengah-setengah dan berakibat pada tidak ter-regenerasinya lahan di sana. Beranjak dari sana, maka dapat disimpulkan bahwa banyak perusahaan tambang juga perlu untuk mempertimbangkan opsi untuk melakukan revegetasi dan reklamasi demi menjaga kelangsungan ekosistem yang sebelumnya terancam di sana. 

Penulis sendiri tidak menyangkal bahwasanya produk-produk tambang ini menguntungkan dan memiliki setidaknya sisi positif. Nyatanya, kebanyakan dari barang-barang yang kita pakai, setidaknya ada satu komponen yang harus dikeruk terlebih dahulu di bawah tanah. Besi, Nikel, Tembaga, Emas dan banyak lagi produk tambang jelas memberi manfaat bagi kehidupan kita, entah sebagai barang yang bernilai guna ataupun barang estetika. Namun, selalu ditekankan bahwa perusahaan tambang juga harus menaruh tanggung jawab yang besar pada kerusakan yang terjadi pada lingkungan dan mencoba untuk selalu memberikan solusi. Ini akan menjadi sebuah win-win solution di mana akhirnya tercapai keuntungan di berbagai pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun