Mohon tunggu...
Roviatus Sa'adah
Roviatus Sa'adah Mohon Tunggu... Writer.... -

DATA DIRI: Nama Lengkap : Roviatus Sa'adah Nama Populer : Dhara Tempat & Tanggal Lahir : Bondowoso, 28 September 1990 Agama : Islam DATA PENDIDIKAN: TK: TK PGRI 02 Koncer Tenggarang Bondowoso SDN : SDN Koncer 02 Tenggarang Bondowoso MTs: MTs NURUL HUDA Peleyan Kapongan Situbondo MA: MA NURUL HUDA Peleyan Kapongan Situbondo SARJANA S1: STAI Nurul Huda Peleyan Kapongan Situbondo BIOGRAPHY: Penulis pemula kelahiran Bonsowoso - Jawa Timur. Sekarang berdomisili sebagai warga Sukowono-Jember. Lulusan Fakultas Syari'ah jurusan Akhwalusy Syakhsyiah S1 STAI Nurul Huda Peleyan Kapongan Situbondo. FB: Dhara Jutex Abyzz Twitter : @roviatussaadah Blog: http://libranovel.blogspot.com/Email:roviatussaadah@yahoo.com Saya menulis sejak berusia 14 tahun. Namun mulai serius menulis dan tulisan banyak digemari teman-teman selama kurang lebih 10 tahun. Saat ini banyak sudah tulisan yang saya genggam. Tidak sedikit yang sudah membaca tulisan saya mengatakan bagus bahkan ada yang mengaku sampai menangis. Namun, tulisan saya masih belum dilirik penerbit manapun. Hingga sampai saat ini saya terus dan tetap menulis meski G.A.L.A.U selalu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Penghujung Desember

3 Desember 2014   19:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:08 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Yuan... Ngapain?” Dari balik selimut aku mendengar suara sahabat yang sudah bagai saudara itu. Isna. “Yuaaan...” Ulangnya sambil menyingkap selimut yang membalut tubuhku. “Pantesan, aku sms tidak ada balasan, ternyata lagi molor ya...” Selanjutnya tangan yang tadi menyingkap selimut di badanku kini menarik kedua lenganku, memaksaku bangun. “Aduh, apa sih Is, aku males hari ini” ucapku sambil kembali membaringkan tubuhku. “Mau sampai kapan sih kamu begini? Hem? Kamu itu harus bangkit dan semangat lagi, harus jadi Yuanita gadis yang penuh energik. Ayo bangun”. Isna kembali menarik kedua lenganku dan memaksaku berdiri, menarikku keluar dari kamar. “Ok ok ok, aku bangkit lagi, tapi lepasin dong, sakit tau’...” Aku menarik lenganku kemudian membuka kulkas, minum.

“Yuan, ayo dong hari ini kita shoping. Kan sudah hampir 3 bulan kamu itu ngurungin diri di rumah ini, tidak boring?”

“Tidak tuh. Aku biasa saja...”

“Aku tahu alasan kamu jadi berubah pemurung begini”

“Tuh tahu. Jadi aku tidak akan kemana-mana, mau diam saja terus di rumah”

“Yuan, kok gitu sih... Aku siapa?”

“Isnaa..”

“Tuh kan Yuan, kok gitu sih kamunya..”

“Terus kalau bukan Isna, kamu siapa? Cewek bawel”

“Aku sahabat kamu Yuan...”

“Siapa yang bilang bukan?”

“Ya habisnya kamu tidak mau aku ajak shoping. Aku juga ikutan sedih dan murung kalau kamu terus seperti ini”

“Bawel bener nich anak. Ok kita shoping, sekarang”

“Brrrrrrr”

Seperti dugaanku, ide shoping ke mall ternyata tidak mampu mengembalikan tawaku yang renyah, suaraku yang nyaring, juga nafsu makanku yang gila. Setelah keliling dibagian pakaian, tas, sandal, sepatu bahkan juga di bagian aksesoris, Isna menarik lenganku menuju lestoran coklat, biasanya aku langsung berlari apalagi ketika Isna bilang “Aku yang traktir”, tapi kali ini lain. Meski udah duduk di kusri no 4, dan pelayan datang dengan 2 mangkuk coklat aku tetap saja diam, pandanganku kosong. Ini adalah coklat favoritku, tapi aku enggan menyentuhnya. Aku pandagi saja.

“Woi, masih ngelamun aja, tuh coklatmu bentar lagi cair”

“Aku malas Is, gimana kalau dibungkus aja?”

“What? Males? Males makan coklat? Hello.... ini beneran kamu kan Yun?”

“Maksudmu? Aku jadi berdimensi gitu?”

“Ya habisnya, tumben-tumben kamu bilang males makan coklat, di restoran ini lagi, Yuan aku tuh sahabatan sama kamu bukan cumen 2 tahun,jadi aku tahulah favorit kamu”

“Tapi aku kira kamu sedang tidak tahu suasana hatiku deh...”

“Bukannya tidak tahu, hanya saja aku ingin menghiburmu. Lah, ini yang dihibur kok malah nyakitin yang menghibur. Udah sekarang, makan gak coklatnya”

“Kalau nggak kenapa?”

“Kamu yang bayarin coklatku”

“Enak aja, kamu yang makan, kenapa aku yang bayar”

“Makanya, makan gak....”

“Ok ok ok, aku makan. Nyam nyam nyam nyam.....”

Begitulah persahabatanku dengan Isna, bahkan Isna sudah seperti seorang keluarga buatku. Dia selalu saja tidak kehabisan ide untuk menghiburku ketika aku sedang berduka, malah dia rela tidak pulang ke rumahnya hanya untuk menemaniku, yah, walau kadang-kadang kita berdua juga berbeda pendapat. Keluar dari restoran, Isna mengajakku pulang. Karena begitu banyak pengunjung yang berdatangan dan juga banyak yang selesai dan menuju pintu keluar suasana begitu berdesak-desakan, hingga aku tertabrak oleh seseorang. “Maaf”. Ucap orang yang menabrakku. Aku tertegun tanpa menatapnya. Tidak salah lagi, walau sudah 3 bulan lamanya, tapi aku masih ingat dengan jelas suara ini, ya, ini adalah suaranya. Suara mantan kekasihku. Hamdan, yang kandas 3 bulan lalu. Darahku berdesir.

“Yuanita....”

“Hai... aku duluan ya, yuk Is..”

Aku menarik lengan Isna, segera keluar dari mall dan berlari menjauhinya. Dan seperti biasa, aku tidak pernah bisa membendung air mataku, air mataku tumpah begitu saja setelah berlalu dari hadapannya. Aku menangis dikeramaian orang-orang.

“Yuan, aduh, udah dong. Tuh pada diliatin orang-orang....”

“Aku mungkin memang tidak seharusnya datang ke tempat ini bersamamu”

“Ya deh aku minta maaf ya, karena tadi aku yang paksa kamu datang...”

“Nyadar....”

“Sory,,,,, ya udah yuk kita pulang aja...”

Masih dengan air mata yang terus mengalir, aku pulang. Usahaku untuk melupakannya dan menenangkan diri selama 3 bulan ini sia-sia. Aku memang susah jatuh cinta, mantanku itu adalah laki-laki pertama yang aku cintai, dan sekarang setelah kita putus, malah aku juga sulit melupakannya. Aku sedih.

“Yuan, udah dong jangan nangis terus, aku jadi semakin merasa bersalah ni..”

“Huuuu... hiks hiks hiks hiks... “

“ Waduh, makin keras saja.....”

Mungkin karena tambah merasa tidak enak, Isna memarkir mobilnya di pinggir jalan, dekat kedai kopi yang terkenal paling enak dan penjualnya paling ramah. Aku hanya nurut saja.

“Eh, Isna kan.....”

Isna melongo heran, matanya tajam menatap orang yang menebak namanya itu. “Ini beneran Isna kan...?” Isna mencolek lenganku, tatapannya beralih padaku. Aku yang mengerti maksud Isna hanya menggeleng penuh tanda tanya dan perasaan bingung. “Ya ampun... ini Isna bukan sih?” kembali orang itu membuatku dan Isna melongo,tampak seperti orang idiot.

“Jawab dulu, kamu Isna bukan sih...”

“I.. i.. iya aku Isna, kamu ini siapa ya?”

“Hai Is, beneran lupa ya? Aku Adit”.

“Adiit...?”

“Iyya, Aditiya Dimas Prasetyo, yang dulu pernah bareng pas nonton timnas”

“O..... Kak Dimas?”

“Nah,betul...”

“Abis bilangnya Adit, ya tidak ingat toh...”

“Kan emang namaku Adit”.

“Tapi kan aku tahunya Dimas kak...”

“Ya udah deh, gak masalah, Adit ataupun Dimas yang penting kamu ingat aku sekarang... he”

“Maaf kak, tadi beneran tidak ingat, ditambah lagi penampilan kakak yang beda”

“Beda gimana?”

“Ya beda, tidak sama seperti waktu nonton timnas dulu.... Eh kak, kenalin, ini temen aku di sekolah, namanya Yuanita.”

“Hai, aku Adit”

“Yuan..”

“Eh, kita ngopi dulu yuk... kopi disini terkenal enak loh...”

“Wah, jadi gak enak nich”

“Tidak apa-apa kok, aku yang traktirin.... yukk...”

Di kursi paling pojok dekat jendela mereka bertiga duduk menyeruput kopi sambil terus berbincang-bincang. Sesekali terdengar tawa dari arah mereka, membuat pengunjung lainnya menoleh keheranan.

***

Aku yang terlelap tidur di ruang tengah tiba-tiba melonjak kaget. Terkejut. Heran. Siapa siang-siang begini datang bertamu. Aku membatin. Tidak mungkin Isna, karena biasanya dia akan langsung masuk tanpa mengetok pintu ataupun membunyikan bel. Karena orang itu terus memencet bel, akhirnya aku langsung turun membuka pintu. “Hai....” bukan hanya kaget tapi kuaget buanget melihat yang datang setelah ku buka pintu depan. “Boleh masuk gak?” Tanpa menjawab, aku melebarkan pintu masuk, membiarkan orang itu benar-benar masuk dan langsung duduk tanpa menghiraukan keherananku. “Emh, mau minum apa kak?” aku tawarkan minuman sekedar untuk menyamarkan keherananku. Sesampainya di dapur aku coma menekan nomor hanephone Isna. Tidak aktif. Aku jadi ricuh sendiri di dapur. Bingung dengan apa yang harus aku lakukan, dan ini pertama kalinya hatiku dag dig dug lagi setelh 3 bulan lamanya menjoblo. "Maaf lama...." Aku letakkan gelas berisi yang aku bawa di hadapannya, tanpa ku persilakan, tangannya yang bersih langsung meraih dan meminum jus itu. Beberapa detik berikutnya, kepalanya tampak mengangguk-angguk. "Enak" ucapnya tersenyum. Aku juga tersenyum. Ada rasa senang di hatiku mendengar pujian yang sebenarnya mungkin hanya umpan basa-basi.

"Kak Adit cari Isna?" Aku mulai percakapan setelah lebih dulu meletakkan nampan di meja makan, kemudian duduk bersebrangan dengannya. "Isna? Emang disini rumah siapa?" dia malah balik nanya. "Disini rumah aku kak" masih dengan keheranan aku menjawab seadanya. "Yah aku berarti cari kamu dong kesini" ada perasaan tidak enak mendengar jawaban selanjutnya. Diam. Bungkam.

"Maaf, tapi aku kesini karena ingin mengatakan kebenaran yang mungkin akan membuat kamu jadi benci kita berdua..."

"Kita berdua? maksudnya? Kak Adit sama Isna?"

"Ya...."

Tiba-tiba aku membayangkan kengerian yang amat. Kebenaran seperti apa kira-kira yang dimaksud kak Adit, laki-laki yang baru aku kenal walau sudah sering mendengar cerita tentangnya dari Isna. Dan kenapa juga aku akan marah dengan kebenaran itu.

"Yuan, dari awal mula, jauh sebelum kamu putus dengan Hamdan...."

Kata-katanya berhenti. Aku jadi makin merasa aneh dihadapannya. Dia tahu soal Hamdan? Soal aku putus dengannya? Siapa sih laki-laki ini? Ditambah lagi dia tidak kelihatan sungkan dengan gadis yang baru dikenalnya. Aku lihat raut wajahnya berubah merah, mungkin tidak tahu harus melanjutkan dengan kata apa selanjutnya. Aku juga tidak ingin menyela dan bertanya tentang keheranan yang ada di benakku, tapi aku juga penasaran. Ada apa sih sebenarnya....

"Um, maafkak, tadi apa maksudnya.... aku tidak paham. Jauh sebelum aku putus dengan Hamdan? Kakak kenal Hamdan? Tahu hubungan aku dengannya dari siapa? Isna ya...."

"Yuan... aku benar-benar minta maaf banget ya, sebenarnya aku tahu kamu, aku kenal kamu, jauh sebelum kamu jadian sama Hamdan sampai akhirnya putus. Jauh sebelum itu juga sebenarnya aku sudah punya perasaan sama kamu. Hanya saja aku tidak tahu harus gimana, dan pada akhirnya serta kebetulan aku bertemu Isna dan mengatakan semuanya. Isna mengatakan tentang hubunganmu dan tentang ketidaksukaannya pada Hamdan yang terlalu posesif. Setiap saat aku selalu mendengar berita memburuknya hubunganmu dengannya, sampai akhirnya kamu benar-benar putus, dan mungkin bohong jika ku katakan aku ikut bersedih. Jujur Yuan, aku bahagia kamu putus dengannya, karena harapan mendapatkan cintamu kembali membakar semangatku. Aku pun ceritakan perasaanku ini pada Isna. Dan Isna bilang, mungkin kamu tidak akan menerimaku, karena kamu gadis yang tidak mudah jatuh cinta. Hingga pada akhirnya aku dan Isna...."

"Tunggu kak, jangan bilang kakak dan Isna bersekongkol membuatku keluar rumah dan mengatur cerita semuanya, dari aku yang tanpa sengaja bertemu mantanku, dan yang terkesan tanpa sengaja juga bertemu kakak di kedai kopi... sampai perkenalan itu, dan akhirnya kakak hari ini datang".

"Ya..."

"Apa??? Jadi, kalian berdua benar-benar sengaja mempermainkan hatiku? kakak tahu nggak sih? aku mati-matian selama 3 bulan berusaha melupakan mantanku, dan kalian berdua sengaja mengajaknya dalam permainan ini? karena apa kak? apa biar Hamdan tahu kalau aku hampir mati karena putus dengannya? aku benar-benar nggak habis pikir kak..."

"Yuan tunggu. Aku tahu aku salah, aku minta maaf..."

"Kak, apa maaf bisa mengembalikan hatiku? awalnya aku kagum dan senang bertemu denganmu, karena aku kira hatiku mulai terhibur, tapi sekarang aku merasa aku hanya diperalat, dipermainkan demi kepentingan kalian...."

"Yuan... Yuanitaaa............. Aku mencintaimu..... Aku melakukan semua ini hanya ingin tahu perasaanmu pada Hamdan, karena jika aku utarakan perasaanku kamu mungkin menolak karena masih mencintai dia..."

"Dan sekarang kakak tahu kan perasaanku. Aku berharap melupakan Hamdan segera, dan meniti pada cinta yang sesungguhnya... Meski dengan jalan kotor seperti itu kak, perasaanku tidak mungkin bisa dipaksakan. Aku akui, memang aku masih mencintai mantanku, tapi dengan cinta itu, aku semakin bertekad untuk berlabuh pada cinta yang sebenarnya. Dan sampai Allah benar-benar mengirim seorang laki-laki baik dan tulus, mungkin aku akan sendiri...."

Aku tinggalkan kak Adit sendirian yang masih berdiri melongo tajam di ruang tamu, sengaja aku lempar keras daun pintu ketika aku menutupnya, agar dia tahu hatiku sakit dengan kelakuannya, walaupun dengan berani dia mengakui semuanya. Ada butur hangat yang memaksa keluar dari bilik bola mataku. Aku benar-benar merasa seperti boneka yang pasrah dipermainkan oleh pemiliknya. Mungkin mereka tidak tahu rasa sakit yang aku rasakan.

Isna. Dia satu-satunya sahabatku, yang bahkan sudah seperti keluarga bagiku, tapi saat ini dia tidak lebih dari seorang yang memaksaku membencinya. Aku menangis. Aku pikir dia sahabatku selama bertahun-tahun ini, jika aku tanya alasan dia melakukan semua ini, dia pasti akan menjawab semua yang dilakukannya hanya untukku, menghiburku, membuatku tersenyum kembali, mengembalikan semangat hidupku, mengembalikan karirku, tapi aku sakit, sakit sekali rasanya. Mungkin jika tidak ada pera Hamdan di dalamnya aku sedikit baik-baik saja.

'tung tung'

"Maafkan aku Yuanita..."

Itu pesan BBM yang dikirim Isna, kata maaf. Dan sekarang hanya aku yang merasakan sakit sendiri. Aku memang ingin mengobati hatiku dengan cinta yang baru, tapi bukan cinta yang sengaja dibangun dalam kebohongan. Aku kecewa pada sahabat baikku, dia penonton kebodohanku selama ini, dan aku baru tahu hari ini.

Aku ingat, sekarang adalah bulan terakhir di tahun 2014, dan selanjutnya yang terbangun hanyalah kehidupan baru, melupakan kejadian buruk dikehidupan sebelumnya dan menjadikan hal-hal tidak menyenangkan sebagai pelajaran dan pengalaman untuk melanjutkan hidup di tahun selanjutnya agar menjadi lebih baik, dan jika aku tetap egois dengan kemarahan dan kebencian ini, mungkin aku tidak bisa hidup berteman dengan siapapun. Isna, bohong jika aku mengatakan aku tidak marah padamu, tidak membencimu karena perbuatanmu, tapi aku cukup adil menjadikan perbuatanmu sebagai imbalan atas kepedulianmu padaku. Di penghujung Desember ini aku harap kamu datang dan kembali menemani hidupku, menjadi sahabatku yng lebih baik. Jika kamu datang aku telah memaafkanmu....

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun