Mohon tunggu...
Rovindo Maraden Panjaitan
Rovindo Maraden Panjaitan Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku akan lebih menyesali diriku sendiri jika tak pernah bilang begitu. http://toilet24jam.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kereta Hujan

28 Agustus 2011   19:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:24 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sebuah sore, ketika kau bercerita…

Tiba-tiba kau muncul di depan pintu kamar yang ku singgahi. Wajahmu kelihatan sangat lelah dan pucat. Segera ku sodorkan air putih, lalu menungguimu menghabiskan sisa air di gelas itu. “Kenapa?” tanyaku setelah ku lihat kau sudah mulai bernafas dengan teratur. Lalu hening memberi sedikit jeda, bisa ku rasakan udara masuk lewat pintu, jendela, dan rongga di ventilasi udara kamarku. Lalu kau membuka mulut dan kau kabarkan kepadaku bahwa ibumu sakit. Sakit parah hingga harus dirujuk ke rumah sakit di ibu kota.

Kau terlihat risau, bingung, dan panik. Aku pun sedikit risau, bingung dan sedikit panik. “Lalu?” tanyaku setelah ku beri kau jeda lagi. Kau menaruh tanganmu di dahi, seperti orang berpikir. Lalu kau mulai menggaruk-garuk kepala. Menarik nafas panjang dan dalam. “Aku butuh uang,” jawabmu dengan nada rendah. Memelas. “Aku butuh uang.” Kau mengulang pernyataan yang sama. Segera ku cek isi dompetku. Untung aku baru menerima uang hasil dari mengajar les minggu ini. Tak perlu ku hitung, aku menarik beberapa lembar lima puluh ribuan dan langsung memberinya kepadamu. “Salam buat ibumu, bilang semoga cepat sembuh.”

Sebelum keretamu berlalu, ku pesankan agar kau jangan panik dan berhati-hati selama perjalanan. Aku takut kau terlalu menghawatirkan ibumu. Lalu kau pun berlalu bersama keretamu, seperti angin keluar lagi dari pintu, jendela dan rongga ventilasi udara kamarku.

Sebuah Sabtu, ketika matahari mulai berlalu…

“Bagaimana ibumu?” tanyaku. Sambil meninggalkan stasiun, kau tersenyum dan bilang everything was fine. Aku lega. Kau melahap semua makanan di depanmu, bersih tak bersisa. Meneguk habis teh manis dingin itu dengan cepat, padahalkan itu gelas ukuran besar. Aku masih terheran-heran dengan nafsu makanmu itu. Apa perutmu tidak pernah penuh? Apa perutmu sanggup mencerna itu semua? Padahal sebentar lagi matahari berlalu dan akan tiba jadwal makan malam (lagi), iya kan?. Hahaha, aku biarkan saja kau menikmatinya.Aku tak perlu khawatir karena kemarin-kemarin kau juga begitu.
“Kau sampaikan salamku pada ibumu?” aku memulai pembicaraan. “Terimakasih, salam kembali…” begitu kau bilang sambil mempraktekkan gaya ibumu berbicara. Hahaha, aku tertawa lagi kau buat. Ku tinggalkan kau sejenak lalu menuju kasir. Tak perlu berlama-lama, lalu kita meninggalkan tempat itu.
Lalu sunset , ketika keretamu tak datang…

Aku sudah berdiri di stasiun ini sekitar satu jam. Matahari menjadikanku bulan-bulanan di tempat itu. Tapi aku tidak perduli. Semalam kau menghubungiku agar menjemputmu di sini. Sedangkan kau pergi menjenguk ibumu ke rumah sakit. “Ah, mungkin keretanya terlambat,” pikirku saat itu. Aku membeli sebotol air mineral untuk menghalau dahaga. Hingga dua jam kemudian kau belum juga menampakkan diri. Hingga air di botol pun sudah kering. Aku mulai putus asa. Aku hampiri seorang petugas stasiun lalu bertanya jam berapa kedatangan kereta dari kota. “Tidak ada kereta lagi, Mas.” Jawabnya. Loh? Aku merasa tak yakin dengan dia, aku mendatangi kantor pelayanan kereta lalu menanyakan pertanyaan yang sama. Namun mereka juga menjawab hal yang serupa dengan petugas kereta tadi. Lalu kenapa kau menyuruhku agar datang? Lagipula aku kan sering menjemputmu di sini dan di waktu-waktu seperti ini juga. Mereka pasti salah, pasti sistemnya sedang bermasalah. Aku meyakinkan diri. Lalu aku mengambil tempat duduk tepat di depan sebuah gerbong tua. Aku masih saja yakin dan menunggumu ditemani matahari yang tenggelam, entah berapa lama. Ku rasa aku sempat tertidur di situ.

Ketika hujan…

“Hujan, hujan!” teriakmu berlari ke arahku. Ku lihat kau berlari sambil membawa sebuah payung. Aku tak bisa memastikan warna payung itu, meski jam masih menunjukkan pukul empat sore, tetapi saat itu terlihat sangat gelap. Baru ketika kau sudah dekat, kau membuka pengait payung itu dan membentangkannya. Payung berwarna merah tua dengan tangkai hitam yang mulai memudar. Kau mendekatkan tubuhmu, mengarahkan payung itu agar melindungi kita berdua dari hujan.
Duarrrr…!!! Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang sangat keras. Terlalu keras hingga memekakkan telingaku sesaat. Lalu aku melihat orang-orang lalu-lalang, berlarian tak tentu arahnya. Tentu saja aku panik. Aku langsung bangkit dari kursi itu. Kucari-cari sosokmu di kerumunan orang-orang, tapi aku tak bisa menemukanmu. Ku lihat petugas kereta tadi sedang meniup peluit, panjang bunyinya. Dia mengarahkan orang-orang keluar dari stasiun. Aku berlari kearahnya, menerobos kerumunan orang-orang. “Ada apa?” tanyaku dengan suara yang keras. Aku takut ia tak mendengarku sebab saat itu bunyi hujan yang jatuh di atap dan teriakan orang-orang yang panik sangat mengganggu. “Kereta tabrakan!” ucapnya, namun aku masih bingung, tak bisa mendengarnya dengan jelas. “Edan! Kereta tabrakan! Cepat keluar dari sini!” mendengar itu tiba-tiba aku panik.

Secepat kilat aku berlari. Tapi ketika aku berlari, aku mengingat bahwa sebelumnya si petugas bilang tak ada lagi kereta. Aku berbalik arah, aku berlari lagi. “Tapi tak ada kereta lagi sore ini?!” teriakku, “Itu kereta yang Mas tadi bilang,” jawabnya.

Tiba-tiba saja tubuhku terasa kaku. Aku lemas tak berdaya. Lalu sepertinya aku tertidur lagi.

Ketika aku bangun, aku mendapati diriku terbaring di sebuah ruangan yang tak ku kenali. Di sebelahnya ada sebuah sofa dan di situ seorang wanita sedang duduk menata beberapa lembar pakaian. Aku tidak begitu jelas dapat melihat wajahnya. Tiba-tiba dari pintu muncul beberapa orang yang ku kenali, itu kedua orangtua dan adikku. “Nak…!” seketika semua orang berhamburan menuju tempatku terbaring. “Kau sudah sadar…, Pak, dia sudah sadar!” ku dengar ibu terisak-isak. Aku mengusap-usap mata, wanita di sofa tadi, ternyata itu ibumu. Dia kelihatan lebih sehat dari hari-hari kemarin.

Tapi aku tak mendapati sosokmu di sini. Ku sapu bersih seluruh ruangan dengan mataku. “Bania mana?” tanyaku. Tiba-tiba saja mereka semua menangis. “Bania mana!” teriakku, aku mulai meronta dan menangis. Lalu aku membisu. Aku merasakan kepalaku seperti pecah. Aku berteriak sekerasnya. Setelah itu sepertinya aku tertidur lagi.

Baca juga di sini @suarausu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun