PERKEMBANGAN ANTARA TEORI DAN ANALISIS PRODUKSI DALAM ISLAM
DiSusun Oleh RUMI ALGAR
(Studi Dalam Teoritis dan Empiris Perekonomian Nasional)
A. Pendahuluan
Produksi adalah bagian terpenting dari ekonomi Islam bahkan dapat dikatakan sebagai salah satu dari rukun ekonomi disamping konsumsi, distribusi, redistribusi, infak dan sedekah. Karena produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa yang kemudian dimanfa’atkan oleh konsumen. Pada saat kebutuhan manusia masih sedikit dan sederhana, kegiatan produksi dan konsumsi dapat dilakukan dengan manusia secara sendiri. Artinya seseorang memproduksi barang/jasa kemudian dia mengonsumsinya. Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan beragamnya kebutuhan konsumsi serta keterbatasan sumber daya yang ada (kemampuannya), maka seseorang tidak dapat lagi menciptakan sendiri barang dan jasa yang dibutuhkannya, akan tetapi membutuhkan orang lain untuk menghasilkannya. Oleh karena itu kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh pihak-pihak yang berbeda. Dan untuk memperoleh efisiensi dan meningkatkan produktifitas lahirlah istilah spesialisasi produksi, diversifikasi produksi dan penggunaan tehnologi produksi.
Dalam Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, saw. konsep produksi barang dan jasa dideskripsikan dengan istilah-istilah yang lebih dalam dan lebih luas. Al-Qur’an menekankan manfa’at dari barang yang diproduksi. Memproduski suatu barang harus mempunyai hubungan dengan kebutuhan hidup manusia. Berarti barang itu harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia, dan bukannya untuk memproduksi barang mewah secara berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan manusia, karenanya tenaga kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang tersebut dianggap tidak produktif. Hal ini ditegaskan Al-Qur’an yang tidak memperbolehkan produksi barang-barang mewah yang berlebihan dalam keadaan apapun. (Afdzalurrahman, 1995; 193). Oleh karena itu, konsep produksi yang dianggap sebagai kerja produktif dalam Islam adalah proses produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang sangat dibutuhkan manusia. Dan kerja produktif semacam ini dapat diistilahkan sebagai ‘amal saleh’ yang mengandung banyak kemaslahatan dan keberkahan.
Maka dalam hal ini, prinsip fundamental yang harus diperhatikan dalam produksi adalah prinsip tercapainya kesejahteraan ekonomi. Selanjutnya Mannan menyatakan: “Dalam sistem produksi Islam, konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas, konsep kesejahteraan Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang berfaedah melalui pemanfa’atan sumber-sumber daya secara maksimum baik manusia maupun benda demikian juga melalui ikut-sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi”. (Eko Suprayitno; 2008: 178-179). Dengan demikian semakin bertambahnya income pendapatan manusia dan semakin banyaknya unsure manusia yang terlibat dalam kegiatan produksi maka kesejahteraan manusia akan dapat terwujud secara lebih luas. Oleh karena itu strategi yang yang tepat dalam peningkatan kesesajahteraan manusia adalah strategi kelayakan hidup manusia dalam istilah ekonomi Islam disebut dengan “Haddul kifayah”. Karena dalam batas minimal inilah ekonomi Islam dapat dikatakan berhasil sebagai ilmu yang dapat mengantarkan manusia menuju kesejahteraan hidup.
B. Definisi Produksi
Untuk mengetahui konsep produksi dalam ekonomi Islam, maka dalam hal ini kita akan membahas tentang definisi produksi secara esoteris dan eksoteris, kemudian teori produksi dalam Al-Qur’anul Karim dan Sunnah Nabi, saw. dan pendapat-pendapat para pemikir ekonom muslim sebagai berikut:
a. Produksi Secara Esoteris dan Eksoteris
Dalam mendefinisikan produksi Dr. M. Rawwas Qalahji memberikan padanan kata “produksi” dalam bahasa Arab dengan kata: “al-intaj” secara esoteris dimaknai dengan ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan sesuatu) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyajin min anashiril intaji dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia produksi diartikan dengan: “Menghasilkan barang dan jasa”. Hal senada juga dipaparkan oleh. Dr. Abdurrahman Yusri Ahmad dalam bukunya: “Muqaddimah Fi Ilmi al-Iqtishad al-Islami”. Abdurrahman lebih jauh menjelaskan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfa’at (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada value of utility dan masih dalam bingkai nilai “halal” serta tidak membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain dan kelompok tertentu. Dalam hal ini, Abdurrahman merefleksi pemikirannya dengan mengacu pada QS. Al-Baqarah; 219 yang menjelaskan tentang pertanyaan dari manfa’at memproduksi khomer (minuman keras) yang mengindikasikan banyak madzaratnya dari manfa’atnya.
Secara eksoteris produksi dapat didefinisikan dengan usaha manusia untuk memperbaiki kondisi fisik material dan spiritual moralitasnya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup sebagaimana digariskan dalam agama Islam, yaitu; kebahagiaan dunia dan akhirat. (Kahf; 1992). Sedangkan Mannan (1992) menekankan pentingnya motif altruisme bagi produsen yang Islami sehingga ia menyikapi dengan hati-hati konsep Pareto Optimality dan Given Demand Hypothesis yang banyak dijadikan sebagai konsep produksi dalam ekonomi konvensional. Sedangkan Rahman (1995) menekankan pentingnya keadilan dan pemerataan produksi (distribusi secara merata). Disisi lain Diyaul Haq (1996) menyatakan bahwa tujuan produksi adalah untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang menurutnya sebagai fardhu kifayah, yaitu kebutuhan pemenuhan bagi banyak orang yang hukumnya adalah wajib. Dan Siddiqi (1992) mendefinisikan kegiatan produksi sebagai penyediaan barang dan jasa dengan memperhatikan nilai keadilan dan kebajikan/kemanfa’atan (maslahah) bagi masyarakat. Dalam padangannya, sepanjang produsen telah bertindak adil dan membawa kebajikan bagi masyarakat maka ia telah bertindak Islami.
Apabila diperhatikan dari berbagai definisi-definisi di atas dapat dikerucutkan bahwa kegiatan produksi dalam perspektif ekonomi Islam adalah menempatkan manusia sebagai pusat perhatian produksi, meskipun definisi-definisi itu berusaha mengelaborasi dari perspektif yang berbeda. Kahf, contohnya memberikan tekanan pada tercapainya tujuan kegiatan produksi yang harus selaras dengan tujuan hidup manusia, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan Mannan, secara tegas menolak terhadap konsep Pareto Optimality yang pada akhirnya memberikan kesimpulan dengan mempromosikan sebuah ide mengenai pentingnya distribusi alokatif yang lebih adil diantara manusia yaitu untuk mengangkat harkat hidup manusia. Sedangkan Rahman, menekankan pentingnya pemerataan produksi untuk mencapai kesejahteraan manusia. Sedangkan Al-Haq, menekankan sebuah justifikasi proses produksi yang hukumnya adalah wajib kifayah. Karena justifikasi ini dianggap penting untuk menjaga berlangsungnya kegiatan produksi sebagai jalan untuk mencapai kesejahteraan manusia di dunia dan akhirat.
Dari berbagai definisi dan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kepentingan manusia yang sejalan dengan moral Islami haruslah menjadi target dan fokus kegiatan produksi, sehingga imbas dari produksi adalah untuk meningkatkan martabat dan eksistensi manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Maka produksi adalah proses mencari, mengalokasikan dan mengelola sumber daya ekonomi menjadi output dalam rangka meningkatkan maslahah bagi manusia. Dan oleh karena itu, produksi juga mencakup aspek tujuan kegiatan yang menghasilkan output serta karakter-karakter yang melekat pada proses dan hasilnya.
b. Teori Produksi Dalam Al-Qur’anil Karim
Allah, swt. akan menjamin pemenuhan rizki kepada semua hambanya, akan tetapi Allah, swt. pun memberi prasyarat untuk mendapatkan rizki ini harus dilakukan dengan usaha, karena rizki itu didapat dengan berusaha. Karena langit tidak akan berhujan emas ataupun perak, akan tetapi dengan usaha manusia yaitu dengan cara mengambil sebab (al-akhdzu bil asbab) untuk mendapatkan rizki ini, sebagaimana firman Allah, swt. QS. Al-Mulk; 15.
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. 67: 15).
Para ulama’ mewajibkan bekerja bagi orang-orang yang mampu bekerja, statement ini disandarkan kepada firman Allah, swt. QS. Hud; 61:
“Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Ilah selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan pemakmurnya, karena itu mohonlah ampunan-Nya kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do'a hamba-Nya)". (QS. 11: 61).
Al-Jashash dalam “Ahkamul Qur’an”, menafsiri ayat ini (khususnya kata ista’marakum fiha) dengan memerintahkan kalian untuk membangun sesuai dengan yang dibutuhkannya. Hal ini menunjukkan kewajiban membangun bumi berupa: bercocok tanam, menyirami dan mendirikan bangunan”. Itu semua adalah bentuk kerja.
Dari ayat tersebut mengindikasikan bahwa Islam sangat mengharamkan semua bentuk pengangguran, karena pengangguran adalah bagian dari tanda-tanda keterbelakangan yang menghinggapi komunitas masyarakat. Islam memandang bekerja adalah kewajiban dan menjadi hak sekaligus. Sebagaimana hal ini dijelaskan Allah, swt. dalam firmannya QS. At-Taubah; 105:
“Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat perkerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang kamu kerjakan". (QS. 9: 105).
Ayat di atas menjelaskan kepada kita, menjadi wajib bagi semua manusia usia produktif untuk bekerja keras dengan memilih kerja yang sesuai dengan kompetensinya. Dalam memilih pekerjaan sangat dipertimbangkan sistem penggajian yang layak dengan usaha/pekerjaannya yaitu agar mendapatkan gaji yang sepadan, apabila hal itu tidak didapatkan, maka lebih baik berhijrah mencari tempat kerja yang lebih sesuai dengan usahanya. Maka dalam hal ini, negara harus membantu mencarikan/memposisikan warganya dalam mendapatkan pekerjaan dan pendapatan yang layak dalam rangka memerangi pengangguran dan kemiskinan sehingga ia mendapatkan pekerjaan yang halal sehingga kemiskinan akan cepat terentaskan.
Islam memandang bekerja adalah asas mendapatkan kekayaan dan sebagai dasar produksi untuk memenuhi kelaziman hidup individu atau kebutuhan-kebutuhan umum masyarakat. Oleh karena itu, berusaha mencari rizki dalam Al-Qur’an itu harus disertai dengan niat jihad fisabilillah agar dalam bekerja dilakukan secara optimal sehingga menghasilkan output produk yang berkualitas tinggi. Maka ayat tersebut menjelaskan kepada kita betapa pentingnya urgensi kerja dalam Islam sehingga harus diniatkan dengan jihad. Hal ini juga dijelaskan Allah, swt. dalam QS. Al-Muzammil; 20:
“...Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur'an…” (QS. 73: 20).
Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa semua manusia adalah unsur produksi dan sebagai pekerja dalam kehidupan ini, dan ia bekerja seakan-akan menyembah kepada Allah, Azza wa Jalla. Karena berusaha mencari rizki untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya dalam waktu bersamaan, ia dapat memenuhi keinginan orang lain dan dapat mengabulkan kebutuhan-kebutuhan mereka, maka proses pengelolaan finansial untuk pembangunan dan produksi sangat menyerupai shalat atau ibadah fardhu yang mana manusia sangat mengharapkan pahalanya di akhirat dan keridha’an Sang Pencipta Allah, swt.
Imam Syaibani menjelaskan: “Sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hambanya untuk mencari penghidupan agar dapat membantunya menjalankan keta’atan kepada Allah, swt”. Berkaitan dengan hal ini, Abu Dzar, ra. berkata ketika beliau ditanya laki-laki tentang pekerjaan-pekerjan yang paling mulia setelah keimanan. Dia menjawab: “Shalat dan makan roti”, kemudian laki-laki melihatnya dengan penuh keheranan. Kemudian Abu Dzar mengatakan: “Seandainya tidak ada roti (makanan), maka hamba Allah akan kelaparan”. Berarti: memakan makanan (roti) dapat meluruskan tulang pinggangnya sehingga ia dapat menunaikan keta’atan”.
Oleh karena itu, Islam sangat memperhatikan masalah pekerjaan, maka wajib bagi muslim untuk bekerja secara optimal dan maksimal, sesuai dengan firman Allah, swt. QS. Al-Kahfi; 7: “…Agar Kami menguji mereka siapakah diantara mereka yang terbaik perbuatannya. (QS. 18: 7). Maka bekerja yang optimal merupakan bagian dari pendekatan hamba kepada Tuhannya”.
Dan oleh karena itu, standar penerimaan para pegawai/karyawan dalam Islam adalah professional dan amanah, maka wajib untuk mengangkat orang yang terbaik, karena ini adalah amanah dan orang yang mencederainya adalah berhianat. Dalam hal ini, Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan hal tersebut sesuai dengan firman Allah, swt. QS. Al-Qasash; 26:
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya". (QS. 28: 26).
Ayat di atas mengandung nilai dasar: “Sebaiknya dalam memposisikan seseorang dalam jabatan tertentu itu dengan mengambil orang yang terbaik diantara manusia sekitarnya”. Karena sebuah jabatan/kekuasaan itu memiliki dua rukun: “professional dan amanah”. Begitu halnya nasehat ekonomi Abu Yusuf yang disampaikan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid tetang urgensi terpenuhinya sifat professionalisme dan amanah bagi orang-orang yang akan diposisikan dalam sebuah jabatan atau pekerjaan.
Oleh karena itu konsep profesionalisme dalam perspektif pemikiran Islam tidak hanya terbatas pada kekuatan fisik. Maka Ibnu Taimiyah menjelaskan dimensi-dimensi konsep profesionalisme dengan mengatakan: “Profesionalisme dalam semua hal”. Yaitu dengan terpenuhi kemampuan ilmiah, kemampuan kesehatan fisik, kemampuan beradaptasi dengan lingkungan dan politik, tingkat pendidikan, tehnologi disamping dengan tercukupinya modal finansial yang digunakannya. Unsur-unsur itu semua merupakan unsur pembentuk kualitas produksi sumber daya insani (SDI).
Adapun konsep amanah mengandung ruh dan spiritualitas manusia yang diterapkan dalam prilakunya, karena prilaku manusia adalah perasaan spiritualitas (dzauqu ar-ruh). Hal ini sesuai dengan firman Allah, swt. QS. Al-Maidah; 44:
“… Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. Dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5: 44).
Ibnu Taimiyah menjelaskan substansi dari sifat amanah adalah: “Sifat takut kepada Allah dengan meninggalkan takut terhadap manusia”. Artinya adalah: tidak mengorbankan dasar-dasar agama dalam menjustifikasi kepentingan duniawi dan tetap merasa bertanggung jawab karena pengawasan Allah, swt. meliputi semua kerja dan amal manusia. Maka dalam bekerja itu harusdilakukan dengan cara yang ikhlas yang disertai dengan ahlak dan etika mulia dalam bekerja. Dengan demikian, sifat amanah memiliki urgensi yang sangat penting dalam meningkatkan kemampuan produksi pada sumber daya insani (SDI) .
Dari penjelasan di atas, kami menyimpulkan bahwa bekerja dan berproduksi hukumnya adalah wajib bagi manusia usia produktif sedangkan kompetensinya harus dilakukan secara ‘profesional dan amanah’ yang berlandaskan kepada tauhid yang kuat sebagai defends of intern pribadi manusia. Dari sini maka bekerja dan berproduksi dalam Islam itu berpegang teguh pada asas kepercayaan dan asas kapabalitas secara bersamaan. Maka ketersediaan SDI yang memiliki kualitas keilmuan, pengetahuan, pengalaman dan kemampuan untuk berinovasi dan berimprovisasi yang dibarengi dengan etika yang mulia merupakan prasyarat untuk menciptakan kemajuan pembangunan yang diharapkan.
Sedangkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang investasi adalah QS. Al-Kahfi; 34:
Dan dia mempunyai kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika bercakap-cakap dengan dia: "Hartaku lebih banyak dari pada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat".
Dari ayat diatas menjelaskan bahwa seseorang akan memiliki kekayaan yang besar tidak lain didapatkan melalu bekerja dan investasi. Ayat tersebut menggunakan kata bahasa Arab “samarun” yang berarti: hasil, keuntungan. Maka tidak lain keuntungan didapatkan kecuali melalui investasi. Karena bahasa Al-Qur’an tersebut menurut Prof. Dr. Syauqi Ahmad Dunya dalam bukunya: “Tamwilut Tanmiyah Fil Islam”, ada keuntungan pasti didapatkan melalui investasi karena investasi dalam bahasa Arab adalah ‘istasmara’ yang berarti menjadikan sesuatu mendapatkan keuntungan. Dengan demikian ayat tersebut berbicara masalah investasi, dan bagaimana cara sebuah sumber daya ekonomi dapat berkembang dan mendapatkan keuntungan yang besar sehingga kekayaannya menjadi besar dan banyak sesuai dengan teks ayat tersebut tidak lain salah satunya dengan melalui investasi.
Dengan demikian, dari penjelasan di atas dalam hal produksi Al-Qur’an berbicara masalah kerja dan investasi yang keduanya merupakan piranti untuk menghasilkan barang dan jasa. Yang menurut Al-Qur’an makna kerja dan investasi lebih dalam artinya karena keduanya memiliki makna dinamis dan bergerak sehingga lebih luas dan lebih dalam maknanya untuk mendorong manusia dapat mengelola aset modalnya dan mendapatkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
c. Teori Produksi Dalam Sunnah Nabi, saw.
Dalam Sunnah Nabi, saw. menganjurkan umatnya untuk selalu bekerja dan berproduksi dalam rangka mencukupi kebutuhan matrial dan spiritualnya, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam Sabda Nabi, saw. sebagai berikut:
Rasulullah, saw. bersabda: “Ibadah itu ada sepuluh bagian, dan sembilan dari sepuluh bagian tersebut adalah mencari rizqi yang halal”.
Mencari rizki dalam bidang ekonomi mencakup semua pekerjaan yang dilakukan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mulai dari bertani, berindustri, usaha jasa dan lain sebagainya. Dalam perspektif Islam semua usaha itu masuk dalam katagori ibadah. Bahkan hal itu menempati 90 % dari ibadah. Karena bekerja yang produktif akan membantu manusia dalam menunaikan ibadah-ibadah wajib, seperti; shalat, zakat, puasa, haji dan lain sebagainya, semua ibadah itu menempati 10 % dari ibadah. Bahkan Rasulullah, saw. mendorong untuk bekerja dan berproduksi serta melarang pengangguran walaupun manusia memiliki modal financial yang mencukupi, sebagaimana sabda Rasul, saw. menjelaskan sebagai berikut:
Rasulullah, saw. bersabda: “Yang paling pedih siksa manusia di hari kiamat adalah orang yang cukup yang menganggur”.
Hadis di atas sebagai landasan Imam Ja’far yang mengatakan kepada Mu’azd ketika ia tidak bekerja karena kecukupan financial dan menjadi kaya, dengan mengatakan: “Hai Mu’adz, apakah anda tidak bisa berdagang atau anda zuhud dalam hal itu?. Maka Mu’adz berkata: “Saya tidak berarti tidak bisa berdagang dan juga tidak zuhud. Karena saya memiliki banyak harta benda dan harta itu cukup sampai saya meninggal, kemudian Imam Ja’far berkata: “Jangan kau tinggalkan, karena hal itu akan menghilangkan nilai rasional anda”.
Rasulullah, saw. mendorong kepada umatnya untuk selalu berusaha dan mencari rizki di bumi. Karena tangan di atas itu lebih baik daripada tangan di bawah. Sebagaimana hal itu dijelaskan Rasul, saw. dalam sabdanya sebagai berikut:
Rasulullah, saw. bersabda: “Bekerja mencari kayu dengan membawanya di atas punggungya itu lebih baik daripada meminta kepada seseorang, mungkin akan diberi atau ditolak”. (HR. Bukhori).
Dalam hadis lain Rasul, saw. bersabda: “Sungguh sebagian dari dosa-dosa ada yang tidak dapat dilebur dengan shalat atau haji atau umrah, akan tetapi dapat dilebur dengan keprihatinan dalam mencari rizki”. (HR. Abu Dawud).
Rasulullah, saw. juga berpartisipasi dalam menggali parit pada perang Khandaq dan juga dalam pengumpulan kayu, beliau memakan makanan dari hasil jerih payah tangannya sendiri. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadisnya yang mengatakan:
Rasulullah, saw. bersabda: “Tidak ada yang lebih baik dari seseorang yang memakan makanan, kecuali jika makanan itu diperolehnya dari hasil jerih payahnya sendiri. Jika seorang dintara kamu mencari kayu bakar, kemudian mengumpulkan kayu itu dan mengikatnya dengan tali lantas memikulnya di punggungnya, sesungguhnya itu lebih baik ketimbang meminta-minta kepada orang lain”. (HR. Bukhori Muslim).
Sebaliknya Rasulullah, saw. sangat mencela seorang muslim yang pekerjaannya meminta-minta pada orang lain sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sabda Rasulullah, saw. sebagai berikut:
Rasulullah, saw. bersabda: “Barangsiapa membuka pintu bagi dirinya untuk meminta-minta, maka Allah akan membukakan pintu kemelaratan baginya”. (HR. Ahmad).
Disisi lain, selain Rasulullah, saw. mendorong umatnya untuk bekerja dan berproduksi, beliau juga menganjurkan umatnya untuk berinvestasi dan memberdayakan semua asetnya agar produktif dan menghasilkan keuntungan yang lebih sehingga dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Hal ini dijelaskan Rasulullah, saw. sebagai berikut:
Pada kesempatan lain, beliau menegur seorang yang malas dan meminta-minta, seraya menunjukkan kepadanya jalan ke arah kerja produktif. Rasulullah mengambil dua dirham dan memberikan kepada seorang laki-laki Anshar, dan berkata: “Satu dirham untuk membeli makanan dan berikan kepada keluargamu, dan satu dirham untuk membeli kapak, kemudian bawalah kemari”. Orang tersebut kemudian kembali kepada Rasulullah, saw. dengan membawa kapak, dan Rasulullah, saw. bersabda: “Pergilah mencari kayu, kemudian juallah kayu itu dan kamu jangan menampakkan dirimu di hadapanku selama lima belas hari”.
Dari hadis diatas menjelaskan kepada kita tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dengan cara pengelolaan modal finansial yang dimilikinya, yaitu Rasulullah, saw. memberikan dana konsumtif untuk pembiayaan rumah tangganya dan dana produktif yang dibelikan sarana ekonomi berupa kapak sehingga dengan alat produktif ini dapat digunakan untuk menghasilkan pendapatan dengan mencari dan menebang kayu bakar di tempat bebas dan ia menjualnya ke pasar. Sehingga hasil yang didapatkannya untuk pembiayaan dalam memenuhi kebutuhan diri dan keluarganya. Beliau pun tidak hanya sekedar memberikan dana produktif yang dibelikan alat ekonomi produktif, akan tetapi beliau juga memposisikan dirinya sebagai pendamping usaha untuk memonitor kinerjanya dalam memastikan keberhasilan usaha orang Anshar tersebut. Sehingga memberikan output bahwa ia telah dapat mengubah nasibnya dari meminta-minta menjadi mandiri berkat pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh Rasulullah, saw..
Dalam hadis lain, menjelaskan bahwa Islam sangat memulyakan bagi orang yang bekerja keras dan ikhlas karena pekerja keras adalah wujud harga diri seseorang sehingga dengan saking muliyanya orang yang bekerja ini Rasulullah, saw. mencium tangan orang yang bekerja keras, sebagaimana hal ini dijelaskan dalam sebuah hadis Nabi, saw. sebagai berikut:
“Suatu ketika di Kota Madinah yang sedang hiruk-pikuk aktifitas ekonomi. Rasulullah, saw. mencium tagan salah seorang umatnya. Maklum karena ia seorang buruh yang terbiasa bekerja keras, tentu saja telapak tangannya sangat kasar. “inilah tangan yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”, demikian seru beliau pada khalayak yang hadir di tempat itu”.
Dalam hadis Nabi, saw. sangat menganjurkan bekerja yang dibarengi dengan kejujuran bahkan beliau memberikan optimisme bahwa pedagang yang jujur akan masuk surga bersama para nabi, para syuhada’ dan orang-orang shaleh. Sebagaimana hadis Nabi, saw. menjelaskan sebagai berikut:
Dari Sofyan As-Sauri dari Abu Hamzah dari Abu Sa’id Rasulullah, saw. bersabda: “Pedagang yang jujur akan dikumpulkan di hari kiamat nanti bersama para nabi, orang-orang yang jujur dan para syuhada”. (HR. Tirmidzi).
d. Produksi Dalam Pemikiran Ekonomi Islam
Konsep produksi dalam perspektif pemikiran ekonomi Islam mengandung dua pengertian, yaitu bentuk pemikiran yang dihasilkan oleh para pemikir muslim yang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, saw. secara langsung atau sebuah pemikiran ekonomi produksi yang dihasilkan oleh para sarjana muslim. Akan tetapi keduanya akan menemui titik temu karena seorang sarjana muslim akan menelurkan teori produksinya berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana sejarah pemikiran ekonomi yang dilakukan para ulama’ setelah sepeninggalnya Rasulullah, saw. juga merujuk langsung pada sumber hukum Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, saw. akan tetapi dalam perkembangannya sejarah pemikiran produksi mengalami naik turun bersamaan dengan perkembangan peradaban umat Islam yang pada zaman kekhilafahan Islam pemikiran ekonomi mengalami kemajuan pesat, akan tetapi setelah runtuhnya kekhilafahan Islam yang pada saat bersamaan sistem kolonialisasi barat mensistemisasi pembodohan umat sehingga pemikiran ekonomi Islam tidak berkembang sehingga terjadi distorsi pemikiran ekonomi dan pada perkembangannya pemikiran para pemikir muslim telah terkontaminasi oleh pemikiran para pemikir ekonomi barat.
Para Pemikir Ekonomi Muslim Kontemporer
Banyak penulis berkeyakinan bahwa wilayah produksi tidaklah sesempit seperti yang dijadikan pegangan oleh kalangan ekonom konvensional yang hanya sekedar mengejar orientasi jangka pendek dengan materi sebagai titik acuannya dan memberikan peniadaan pada aspek produksi yang mempunyai orientasi jangka panjang. Selama ini yang kita fahami ketika membaca teks-teks buku ekonomi konvensional tidak jarang ditemukan adanya telaah terhadap kegiatan sebuah perusahaan untuk melakukan produksi dengan mengacu pada faktor produksi yang dimiliki oleh setiap perusahaan tersebut. Misal: perusahaan A akan mencapai tingkat produksi maksimal jika didukung oleh faktor produksi semacam modal (C), tenaga kerja (L), sumber daya alam (R), dan teknologi (T) yang difungsikan pada posisi yang optimal.
Dasar pemikiran yang dibangun dalam paradigma berfikir aliran konvensional dalam berproduksi adalah memaksimumkan keuntungan (maximizing of profit) dan meminimumkan biaya (minimizing of cost) yang pada dasarnya tidak melihat realita ekonomi dalam prakteknya berdasarkan pada kecukupan akan kebutuhan dan market imperfection yang berasosiasi dengan imperfect information. Hasil dari pencapaian produksi yang dilakukan oleh perusahaan konvensional adalah keinginan untuk mendapatkan profit (keuntungan) yang maksimal dengan cost (biaya) yang sedikit. Apa memungkinkan?. Gambaran di atas merupakan realita nyata yang terjadi di tataran aplikatif untuk melaksanakan teori produksi yang diacukan pada pemikiran konvensional.
Adapun aspek produksi yang berorientasi pada jangka panjang adalah sebuah paradigma berfikir yang didasarkan pada ajaran Islam yang melihat bahwa proses produksi dapat menjangkau makna yang lebih luas, tidak hanya pencapaian aspek yang bersifat materi-keduniaan tetapi sampai menembus batas cakrawala yang bersifat ruhani-keakheratan. Orang yang senantiasa menegakkan shalat dan melakukan ibadah lainnya merupakan wujud dari nilai produktifitas yang dilakukan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan ruhaninya. Seseorang yang betul-betul melaksanakan shalat dengan benar berarti ia telah melakukan aktifitas yang produktif yang selanjutnya akan membawa pada nilai lebih dalam mengarungi kehidupan di dunia ini.
Ada sebuah permata dalam bukunya DR. Monzer Kahf yang berjudul: “The Islamic Economy; Analytical of The Functioning of The Islamic Economic System” yang menyebutkan bahwa: “Tingkat kesalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya. Jika seseorang semakin meningkat nilai kesalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.
Sebuah contoh: Seorang yang senantiasa terjaga untuk selalu menegakkan shalat berarti ia telah dianggap shaleh. Dalam posisi seperti ini, orang tersebut telah merasakan tingkat kepuasan bathin yang tinggi dan secara psikologi jiwanya telah mengalami ketenangan dalam menghadapi setiap permasalahan kehidupannya. Hal ini akan berpengaruh secara positif bagi tingkat produksi yang berjangka pendek, karena dengan hati yang tenang dan tidak ada gangguan-gangguan dalam jiwanya ia akan melakukan aktifitas produksinya dengan tenang pula dan akhirnya akan dicapai tingkat produksi yang diharapkannya.
Selama ini kesan yang terbangun dalam alam pikiran kebanyakan pelaku ekonomi –apalagi mereka yang berlatar belakang konvensional- melihat bahwa keshalehan seseorang merupakan hambatan dan rintangan untuk melakukan aktifitas produksi. Orang yang shaleh dalam pandangannya terkesan sebagai sosok orang pemalas yang waktunya hanya dihabiskan untuk beribadah dan tidak jarang menghiraukan aktifitas ekonomi yang dijalaninya. Akhirnya mereka mempunyai pemikiran negatif terhadap nilai kesalehan tersebut. Mengapa harus berbuat shaleh, sedangkan kesalehan tersebut hanya membawa kerugian (loss) bagi katifitas ekonomi? Sebuah logika berfikir yang salah perlu dan perlu diluruskan. Pelurusan pemikiran tersebut akan membawa hasil jika diacukan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, baik yang termaktub dalam Al-Qur’an al-Karim atau As-Sunnah as-Sahihah.
Menurut Prof. Abdul Manan: Produksi tidak berarti menciptakan secara fisik sesuatu yang tidak ada, karena tidak seorangpun dapat menciptakan benda. Dalam pengertian ahli ekonomi yang dapat dikerjakan manusia hanyalah membuat barang-barang menjadi berguna, yang biasa disebut dengan istilah “dihasilkan”. Sekarang kita perhatikan pembahasan prinsip produksi secara singkat.
Prinsip fundamental yang harus selalu diperhatikan dalam proses produksi adalah prinsip kesejahteraan ekonomi. Bahkan dalam sistem Kapitalis terdapat seruan untuk memproduksi barang dan jasa yang didasarkan pada asas kesejahteraan ekonomi. Keunikan konsep Islam mengenai kesejahteraan ekonomi terletak pada kenyataan bahwa hal itu tidak dapat mengabaikan pertimbangan kesejahteraan umum lebih luas yang menyangkut persoalan-persoalan tentang moral, pendidikan, agama dan banyak hal-hal lainnya. Dalam ilmu ekonomi modern, kesejahteraan ekonomi diukur dari segi uang seperti kata Profesor Pigou: “Kesejahteraan ekonomi kira-kira dapat didefinisikan sebagai bagian kesejahteraan yang dapat dikaitkan dengan alat pengukur uang”. “Karena kesejahteraan ekonomi modern bersifat materealistis, maka perlu membatasi ruang lingkup pokok persoalan yang sama itu.
Dalam sistem produksi Islam konsep kesejahteraan ekonomi digunakan dengan cara yang lebih luas. Bagi penulis, konsep kesejahteraan ekonomi Islam terdiri dari bertambahnya pendapatan yang diakibatkan oleh meningkatnya produksi dari hanya barang-barang yang berfaedah melalui pemanfa’atan sumber-sumber daya secara maksimum -baik manusia maupun benda- demikian juga melalui ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Dengan demikian, perbaikan sistem produksi dalam Islam tidak hanya berarti meningkatnya pendapatan, yang dapat diukur dari segi terpenuhinya sumber daya ekonomi, tetapi juga perbaikan dalam memaksimalkan terpenuhinya kebutuhan kita dengan usaha minimal tetapi tetap memperhatikan tuntunan perintah-perintah Islam tentang konsumsi. Oleh karena itu, dalam sebuah negara Islam kenaikan volume produksi saja tidak akan menjamin kesejahteraan rakyat secara maksimum. Mutu barang-barang yang diproduksi yang tunduk pada perintah Al-Qur’an dan Sunnah, juga harus diperhitungkan dalam menentukan sifat kesejahteraan ekonomi. Demikian pula kita harus memperhitungkan akibat-akibat tidak menguntungkan yang akan terjadi dalam hubungannya dengan perkembangan ekonomi bahan-bahan makanan dan minuman terlarang dan lain sebagainya.
Terakhir, suatu negara Islam tidak hanya akan menaruh perhatian untuk menaikkan volume produksi tetapi juga untuk menjamin ikut sertanya jumlah maksimum orang dalam proses produksi. Di negara-negara kapitalis modern kita dapati perbedaan pendapatan yang mencolok karena cara produksi dikendalikan oleh segelintir kapitalis. Bahkan banyak negera muslim di dunia ini yang tidak luput dari kecaman itu. adalah menjadi tugas setiap negara Islam untuk mengambil segala langkah yang masuk akal dalam mengurangi perbedaan pendapatan akibat terpusatnya kekuasaan berproduksi dalam beberapa tangan saja. Hal ini diusahakan dengan (a) menjalankan sistem perpajakan progresif terhadap pendapatan, (b) dikenakannya pajak warisan terhadap hak milik yang diwariskan dengan perbandingan progressif, (c) distribusi hasil pajak terutama yang terkumpul dari golongan-golongan yang lebih kaya, untuk masyarakat yang lebih miskin melalui pengaturan dinas-dinas sosial.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa sistem produksi dalam suatu negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif; kriteria yang objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari terpenuhinya sumber daya ekonomi, dan kriteria subjektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah. (Manan; Teori dan Praktek Ekonomi Islam; 54-55).
Tujuan Produksi Dalam Islam
Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa kegiatan produksi merupakan jawaban terhadap kegiatan konsumsi atau sebaliknya. Karena produksi adalah kegiatan menciptakan suatu barang atau jasa, sedangkan konsumsi adalah kegiatan pemanfa’atan hasil produksi. Dengan demikian, aktifitas produksi dan konsumsi merupakan kegiatan yang sangat berkaitan yang tidak dapat dipisahkan karena satu sama lainnya saling berhubungan dalam sebuah proses kegiatan ekonomi. Oleh karena itu aktifitas produksi harus balance dengan kegiatan konsumsi. Apabila keduanya tidak balance maka akan terjadi ketimpangan dalam kegiatan berekonomi. Hal ini dapat dideskripsikan, apabila barang/jasa yang diproduksi itu lebih banyak dari permintaan konsumsi maka akan terjadi ketimpangan ekonomi yaitu berupa penumpukan output produksi sehingga terjadi kemubadziran hasil prooduksi. Inilah yang disebut israf (produksi yang berlebihan) yang dalam ekonomi Islam dianggap sebagai bentuk dosa yang menjadikan output produksi itu tidak ada nilai maslahah sehingga tidak berkah yang menjadikannya menjadi output produksi yang tidak produktif. Sebaliknya jika aktifitas konsumsi lebih banyak permintaannya dari aktifitas produksi maka akan menimbulkan problematika ekonomi yaitu berupa tidak terpenuhinya kebutuhan ekonomi yang berdampak pada kemiskinan dan malapetaka sosial dan ekonomi. Dalam permasalahan produksi dan konsumsi dapat dimisalkan; Kita tidak diperbolehkan memproduksi atau mengonsumsi produk/barang yang haram seperti alkohol, babi, anjing, bangkai, heroin, narkotika, binatang yang tidak disembelih atas nama Allah, dan binatang buas. Seorang konsumen ataupun produsen yang berprilaku Islami juga tidak boleh melakukan israf atau berlebih-lebihan, tetapi hendaknya dalam mengonsumsi atau memproduksi itu dilakukan dengan moderat. Sebagaimana sabda Nabi, saw. yang mengatakan: “Makanlah kalian sampai sebelum kenyang”. Jadi kegiatan produksi dan konsumsi harus dilakukan secara seimbang sehingga akan terwujud stabilitas ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan hidup.
BERKAH
MASLAHAH
Gambar 7. 0
Mata Rantai Kegiatan Konsumsi dan Produksi
Tujuan konsumen dalam mengonsumsi barang dan jasa dalam perspektif ekonomi Islam adalah untuk mendapatkan kesejahteraan secara maksimum yang berdampak pada kemaslahatan dalam kehidupan. Demikian halnya produsen dalan kegiatan produksinya bertujuan menyediakan barang dan jasa yang memberikan maslahah bagi konsumen. Secara lebih spesifik, tujuan kegiatan produksi adalah meningkatkan kemaslahatan sehingga mendapatkan keberuntungan (falah) di dunia dan di akhirat, yang tujuan ini dapat diakulturasikan dalam bentuk, yaitu:
1. Pemenuhan sarana kebutuhan manusia yang seimbang.
2. Menemukan kebutuhan masyarakat dan pemenuhannya.
3. Menyiapkan persediaan barang dan jasa.
4. Mensejahterakan tingkat kehidupan.
5. Sebagai sarana kegiatan sosial dan untuk beribadah kepada Allah, swt..
Penjelasan dari tujuan produksi yang pertama, yaitu; pemenuhan sarana kebutuhan manusia yang seimbang. Dalam hal ini setidaknya akan menimbulkan dua implikasi. Pertama; produsen hanya menghasilkan barang dan jasa yang menjadi kebutuhan (needs), meskipun belum tentu merupakan keinginan (wants) konsumen. Barang dan jasa yang dihasilkan harus memiliki manfa’at riil bagi kehidupan yang Islami, tidak hanya sekedar untuk memberikan kepuasan maksimum bagi konsumen. Karenanya, prinsip costumer satisfaction atau given demand hipotesis yang banyak dijadikan pegangan produsen kapitalis tidak dapat diimplementasikan begitu saja, akan tetapi harus benar-benar memiliki value kemaslahatan yang syar’i. Kedua; kuantitas produksi tidak akan berlebihan, tetapi harus disesuaikan dengan kebutuhan konsumen sehingga tidak terjadi kemubadziran hasil produksi akibat produksi yang berlebihan. Ataupun sebaliknya, jangan sampai kuantitas produksi menjadi minus sehingga akan menimbulkan problematika ekonomi. Oleh karena itu bagaimana proses produksi itu seimbang dengan permintaan konsumen sehingga ketersediaan hasil produksi cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumen.
Dalam hal ini walaupun produksi hanya menyediakan sarana kebutuhan manusia, itu tidak berarti bahwa produsen sekedar memberikan respon reaktif terhadap kebutuhan konsumen. Akan tetapi yang dibutuhkan adalah sikap proaktif, kreatif dan inovatif untuk menemukan berbagai barang dan jasa yang sangat dibutuhkan manusia. Dengan adanya penemuan baru ini kemudian dipublikasikan atau dipromosikan kepada konsumen sehingga konsumen mengetahuinya. Dalam proses sosialisasi dan pemasaran ini tidak hanya membutuhkan sistem marketing yang handal untuk memasarkan produk penemuan baru ini, akan tetapi dibutuhkan pengemasan yang apik dan menarik bagi konsumen sehingga konsumen tertarik untuk mengonsumsinya. Setelah dikemas dengan apik dan konsumen tertarik pada hasil produk ini otomatis dengan harga yang dapat bersaing sehingga konsumen dapat menjangkaunya sembari meningkatkan kualitasnya agar konsumen juga merasa puas dengan produk tersebut. Sikap proaktif menemukan kebutuhan ini sangat penting, sebab kadang-kadang juga konsumen tidak mengetahui apa yang sesungguhnya dibutuhkannya. Oleh karena itu, sikap proaktif semacam ini juga harus berorientasi ke depan (future view) yang memiliki pengertian: Pertama, menghasilkan barang dan jasa yang bermanfa’at bagi kehidupan sekarang dan mendatang. Kedua, menyadari dengan benar bahwa sumber daya ekonomi, baik berupa sumber daya alam (natural resources) atau selain sumber daya yang bersumber dari alam (non-natural resources), tidak hanya diperuntukkan bagi manusia yang hidup sekarang, tetapi untuk generasi mendatang.
Oleh sebab itu, orientasi ke depan harus dapat mendorong produsen untuk terus-menerus melakukan riset dan pengembangan (research and development) guna menemukan berbagai jenis kebutuhan, teknologi terapan yang tepat dan merancang kebutuhan masa depan, sehingga segala sesuatu yang menyangkut permasalahan ekonomi masa depan telah dipersiapkan dan dapat diberikan solusi dengan tepat dan akurat. Disisi lain, sistem efisiensi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) juga harus diperhatikan sehingga tidak terjadi eksploitasi sumber daya alam (SDA) dan lingkungan yang berlebihan yang berdampak pada pencemaran lingkungan dan tidak memperhatikan sistem pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) untuk generasi mendatang. Dalam konteks ini, maka produksi yang berwawasan lingkungan (green production) akan menjadi konsekuensi logis, artinya menjadi solusi alternatif dalam pengelolaan sumber daya alam. Ajaran Islam telah memperingatkan dengan keras kepada para pelaku produsen agar tidak melakukan kerusakan terhadap lingkungan dan sumber daya alam demi keuntungan sesaat akan tetapi berdampak kemadzaratan yang lebih besar bagi diri mereka dan masyarakat lingkungannya.
Sehingga dengan demikian akan terpenuhi ketersediaan kebutuhan manusia secara memadai baik sekarang maupun yang akan datang. Konsep pembangunan yang berkesinambungan (sustainable development) adalah konsep pembangunan yang memberikan persediaan memadai bagi generasi mendatang. Karena alam ini tidak hanya diperuntukkan bagi manusia dalam satu generasi saja, akan tetapi untuk manusia di sepanjang zaman hingga Allah, swt. menentukan akhir dari kehidupan duniawi ini (yaitu hari kiamat). Dengan demikian, tatkala kebutuhan manusia telah tercukupi baik lahiriah maupun bathiniyah maka dalam taraf inilah kesejahteraan secara optimum dapat tercapai. Karena Ilmu ekonomi Islam tidak hanya mengantarkan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan secara matriil saja, akan tetapi tetap fokus pada kebutuhan spirituil manusia secara seimbang. Maka tatkala sebuah aktifitas produksi dapat memenuhi kebutuhan matriil dan spirituil manusia maka pada tahap inilah yang disebut dengan kesejahteraan maksimum telah tercapai. Dan pada tahap inilah manusia/masyarakat telah mencapai puncak kesejahteraan yang hakiki yang disebut dengan mujtama’ muttaqin (masyarakat yang bertaqwa).
Sedangkan tujuan akhir dari kegiatan produksi adalah pemenuhan sarana bagi kegiatan sosial dan sebagai bentuk aktifitas untuk beribadah kepada Allah, swt.. Sebenarnya inilah tujuan produksi yang paling penting dari ajaran Islam. Dengan demikian, aktifitas produksi tidak lain adalah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia yang berarti adalah berdampak kemaslahatan manusia. Dengan tercukupinya kebutuhan yang memiliki nilai maslahat sehingga akan mendapatkan keberkahan dalam kehidupannya yang berujung pada mendapatkan falah keberuntungan di dunia dan di akhirat. Selain daripada itu aktifitas produksi dalam Islam juga merupakan wahana kegiatan sosial karena manusia adalah human social yang membutuhkan muamalat sosial untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Oleh karena itu, proses produksi adalah wahana interaksi sosial yang juga merupakan sarana untuk beribadah kepada Allah, swt.. Karena manusia yang melakukan aktifitas produksi apabila diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah, swt. maka nilainya adalah ibadah dan mendapatkan pahala disisih Allah, swt.. sebagai bekal untuk kehidupan akhirat.
Atribut Fisik dan Nilai Dalam Produk
Suatu produk yang dihasilkan oleh produsen akan menjadi berharga atau bernilai jika produk tersebut memiliki atribut fisik dan nilai yang dipandang berharga bagi konsumen. Teori ini diperkenalkan pertama kali oleh Kelvin Lanscarter pada tahun 1966 M. maka sebelum teori atribut fisik ini dilahirkan, teori-teori sebelumnya masih menggunakan asumsi bahwa yang diperhatikan oleh konsumen adalah produknya. Maksud atribut fisik dalam suatu barang adalah; bahan baku barang, kualitas keawetan barang, bentuk atau desain barang dan lain-lain. Atribut suatu barang pada esensinya sangat menentukan peran fungsional dari barang tersebut dalam memenuhi kebutuhan konsumen. Sedangkan nilai suatu barang akan memberikan kepuasan pesikis kepada konsumen sebagai pemanfaat produk barang tersebut. Sedangkan nilai ini berbentuk dalam citra atau merk barang tersebut, sejarah, reputasi produsen, dan lain-lain.
Misalkan; dua barang yang memiliki atribut fisik sama belum tentu memiliki harga sama di hadapan konsumen kerena perbedaan nilai yang ada dalam barang tersebut. Contoh saja dua stick olahraga golf yang memiliki spesifikasi teknis sama, tetapi harganya berbeda karena merknya berbeda. Stick olahraga golf bermerk terkenal harganya lebih mahal dibandingkan yang tidak terkenal, meskipun bahannya sama, desain modelnya sama dan tentu saja fungsinya sama. Tekadang harga barang bisa jauh melampui nilai fungsionalnya karena tingginya nilai non-fisik yang ada padanya. Sebagai contoh adalah stick pegolf terkenal tingkat dunia yang dilelang dengan harga yang sangat tinggi dan tidak masuk akal untuk sebuah stick olahraga golf. Maka dalam hal ini, konsumen tidak melihat stick golf ini sebagai atribut fisik yang berfungsi untuk olahraga golf saja, akan tetapi nilai sejarah yang melekat pada stick golf tersebut sebagai penyandang puncak kesuksesan pemiliknya. Maka dengan adanya nilai sejarah pada stick golf inilah yang menjadikan harga stick golf ini menjadi sangat mahal dan sangat berharga bagi konsumen.
Atribut fisik suatu produk pada dasarnya bersifat objektif yang dapat dikomparasikan dengan jenis produk lainnya, akan tetapi nilai produk itu bernilai subjektif sehingga faktor inilah yang membedakan harga suatu produk. Dalam pandangan ekonomi Islam produk merupakan kombinasi dari atribut fisik dan nilai (value). Konsep ekonomi Islam tetang atribut fisik suatu produk tidak berbeda dengan pandangan ekonomi konvensional pada umumnya. Dalam teori ekonomi Islam tentang atribut fisik ini terdapat dalam Hadis Rasulullah, saw. yang telah dijadikan sebagai kaidah fiqih yang mengatakan: “Laa Dzarara Wa La Dzirara”, yang berarti: Tidak melakukan sesuatu yang bermadzarat dan tidak melakukan sesuatu yang menimbulkan kemadzaratan. Dari kaidah Fiqih ini, apabila kita aplikasikan dalam sistem ekonomi Islam maka akan melahirkan sebuah kaidah: “Tidak boleh melakukan transaksi ekonomi pada sesuatu yang bermadzarat dan tidak boleh melakukan sesuatu yang akan menimbulkan kemadzaratan”. Dari kaidah di atas ada dua hal yang patut dicermati bersama, yaitu: “Tidak boleh melakukan transaksi ekonomi pada sesuatu yang bermadzarat” berarti menjelaskan pada intrinsik produk ekonomi. Sedangkan “... dan tidak boleh melakukan sesuatu yang akan menimbulkan kemadzaratan”, kaidah ini dapat dikatakan bermaksud pada sebuah faktor eksternal diantaranya adalah atribut fisik suatu produk. Maka dalam hal ini secara mafhum mukholafah (konteks kontraproduktif) dalam sebuah transaksi ekonomi yang berkenaan dengan harga berarti boleh melakukan sesuatu yang menjadikan nilai itu bermanfaat, dalam sebuah statemen pasar berarti boleh menjual sesuatu yang mempengaruhi produk itu menjadi mahal. Otomatis atribut fisik ini boleh diperjual belikan yang melekat pada produk itu sehingga harga sebuah produk ini menjadi mahal karena faktor atribut fisik ini.
Sedangkan konsep nilai yang harus ada dalam setiap barang harus sesuai dengan syariah. karena nilai suatu produk dalam Islam itu sangat berbeda dalam pandangan konvensional. Menurut ekonomi konvensional setiap produk yang dapat diperjual-belikan di pasar maka produk itu berarti memiliki nilai. Sedangkan dalam Islam tidak demikian, karena suatu produk bisa dikatakan bernilai apabila produk itu halal. Dan secara intrinsik produk itu halal secara syariah apabila tidak mengandung unsur-unsur yang diharamkan. Menurut Jumhur Ulama’ suatu produk bisa dikatakan bernilai apabila secara intrinsik produk itu halal artinya tidak kejadian dari suatu yang haram. Maka apabila produk itu kejadian dari yang haram maka produk itu dianggap tidak bernilai dan tidak bermartabat. Dengan demikian setiap barang dan jasa dalam Islam adalah bernilai dan bermartabat, maka barang/jasa itu mengandung keberkahan dan akibatnya membawa kemaslahatan bagi manusia. Maka setiap produk (barang/jasa) yang tidak bernilai, maka produk (barang/jasa) tidak mengandung keberkahan sehingga tidak dapat memberikan kemaslahatan, sebab berkah merupakan elemen penting dalam konsep maslahah.
Dari sisi lain yang terdeskripsikan dalam proses pembuatan produk, misalkan adanya dua merk stick golf yang mana satu jenis stick golf diproduksi oleh sebuah perusahaan M yang melakukan eksploitasi terhadap tenaga kerjanya, sedangkan perusahaan yang lainnya T sangat menghargai tenaga kerjanya. Sebagaimana telah diketahui bahwa eksploitasi terhadap tenaga kerja sangat bertentangan dengan nilai-nilai dalam ekonomi Islam. Meskipun atribut fisik kedua stick golf tersebut sama, tetapi kedua raket tersebut akan dihargai berbeda. Stick golf yang diproduksi oleh perusahaan M tidak mengandung berkah karena proses produksinya tidak sesuai dengan syariah yaitu dengan melakukan bentuk eksploitasi, maka produk ini tidak berharga sehingga tidak mengandung maslahah, sehingga para konsumen emoh memilihnya.
Dengan demikian sangat jelas bahwa suatu produk harus memiliki atribut fisik yang halal dan proses pembuatan produksi juga halal, sehingga akan menjadikan berkah yang membawa kemaslahatan bagi manusia dan lingkungannya. Dengan penjelasan di atas kuantitas produk dapat diekspresikan dalam sebuah rumus, sebagai berikut:
(Qm =qf+qb)
Dimana
Qm:Barang yang memiliki maslahah
qf:Atribut fisik barang
qb:Berkah barang tersebut.
Input Produksi dan Berkah
Aktifitas produksi membutuhkan berbagai jenis sumber daya ekonomi yang lazim disebut input atau faktor produksi, yaitu semua bentuk faktor yang memberikan kontribusi baik langsung maupun tidak langsung dalam sebuah proses produksi. Maka faktor-faktor produksi ini terdeskripsikan dalam faktor sumber daya alam, faktor finansial, faktor sumber daya manusia dan faktor waktu. Misalkan dalam sebuah perusahaan produksi mobil. Pemroduksian mobil tidak bisa dibuat hanya dengan tersedianya besi atau karet saja, atau ada tenaga kerja saja, atau ada pengusaha mobil saja, tetapi merupakan kombinasi antara berbagai faktor produksi sebagai input produksi. Sebuah mobil dapat sampai ke tangan konsumen didukung oleh kombinasi dari berbagai macam faktor produksi diantaranya harus tercukupinya bahan-bahan; besi, karet, aluminium dan lain-lain yang diolah secara manual maupun dengan dibantu mesin, dan kemudian setelah menjadi mobil dijual atau disalurkan oleh para distributor kepada konsumen. Maka dalam proses pemroduksian mobil tersebut selain membutuhkan koordinasi manajerial seorang manajer dan juga gagasan-gagasan dan ide-ide para usahawan yang dalam hal ini adalah masuk dalam faktor sumber daya manusia. Dan untuk menggerakkan semua faktor itu membutuhkan modal finansial dalam rangka membiayai semua proses produksi tersebut. Demikian pula barang-barang sederhana lainnya yang bernilai rendah, misalnya benang jahit, sesungguhnya juga membutuhkan proses yang panjang dengan melibatkan berbagai faktor produksi untuk menghasilkannya.
Dalam kaitannya dengan hal ini, sebenarnya tidak ada kesepakatan yang bulat tentang klasifikasi faktor produksi. Perbedaan dasar klasifikasi faktor produksi ini dilatarbelakangi oleh berbagai faktor, contohnya ketidaksamaan dalam pembuatan definisi, karakteristik, maupun peran dari masing-masing faktor dalam menghasilkan output, atau bentuk harga atau biaya (cost) atas suatu faktor produksi. Contoh terakhir ini misalnya dalam ekonomi konvensional harga atau biaya dari tanah adalah sewa disebut dengan (rent), biaya yang dihasilkan dari tenaga kerja disebut upah/gaji (wage) dan biaya atau hasil dari investasi modal finansial adalah bunga (interest), yang menurut ekonomi Islam sistem bunga adalah haram hukumnya sehingga ekonomi Islam memberikan alternatif lain bahwa hasil dari investasi modal finansial adalah berupa bagi hasil kerugian dan keuntungan (profit and loss sharing).
Secara mendasar, faktor produksi atau input ini secara garis besar dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu; input manusia (human input) dan input non-manusia (non human input). Yang termasuk dalam input manusia adalah semua bentuk manajerial, ide-ide, gagasan pemikiran, tenaga, perasaan dan hati yang bersumber dari diri manusia. Sedangkan yang termasuk dalam input non-manusia adalah sumber daya alam (natural resources), kapital (financial capital), mesin, alat-alat, gedung dan input-input fisik lainnya (physical capital). Maka klasifikasi input menjadi input manusia dan non-manusia ini didasarkan pada argumen-argumen sebagai berikut, yaitu:
1. Manusia adalah faktor produksi terpenting dari faktor-faktor produksi lainnya. Dan manusia juga dikatakan sebagai faktor produksi utama (main input), karena manusia adalah sebagai faktor produksi yang dapat menggerakkan semua faktor produksi lainnya termasuk menggerakkan faktor produksi manusia lainnya untuk dapat memberdayakan semua potensi ekonomi yang dimilikinya sehingga dapat bekerja sesuai dengan kompetensinya. Maka manusia adalah faktor produksi yang memiliki inisiatif atau ide, mengorganisasi, memproses dan memimpin semua faktor produksi sehingga menghasilkan suatu produk yang bermanfa’at untuk memenuhi kebutuhan. Sedangkan faktor non-manusia adalah input pendukung (supporting input) sebagai faktor terpenting kedua setelah manusia. Karena manusia tidak dapat hidup dan berekonomi kecuali didukung oleh faktor non-manusia (Faktor materiil). Oleh karena itu, dalam menghasilkan output secara maksimal manusia membutuhkan faktor produksi materiil, akan tetapi tanpa manusia barang dan jasa tidak akan optimal dalam memberikan manfa’at. Misalnya: Petroleom yang masih berada di dasar bumi dalam bentuk aslinya tidak akan memberikan manfa’at apabila tidak ditambang dan diolah oleh manusia. Demikian juga tambang batu bara yang masih berada di perut bumi tidak akan dapat memberikan kebermanfa’atan tanpa sentuhan tangan-tangan terampil manusia. Demikian juga tambang emas yang masih di dalam perut bumi tidak menjadi perhiasan yang berharga tinggi apabila tidak diolah dan dikelola oleh manusia yang terampil. Oleh karena itu usaha manusia adalah faktor terpenting dalam pengelolaan barang dan jasa sehingga benar apa yang dikatakan Ibnu Khaldun (1263-1328) yang menganggap bahwa manusia adalah faktor terpenting dan merupakan sumber utama nilai barang dan jasa.
2. Manusia adalah makhluk hidup yang memiliki berbagai macam karakteristik yang tidak dimiliki oleh faktor-faktor produksi lainnya. Manusia adalah ciptaan Allah yang diberikan kemulyaan Allah sebagai khalifah di muka bumi ini. Sehingga memiliki karakteristik yang sangat istimewa yang membedakan faktor-faktor produksi lainnya. Manusia pasti tidak dapat disamakan dengan sumber daya alam, gedung, uang dan faktor produksi fisik lainnya. Secara umum sumber daya non-manusia dapat diperdagangkan sesuai dengan mekanisme pasar maka sumber daya non-manusia dapat disebut sebagai barang/jasa. Sedangkan manusia adalah manusia yang tidak berupa harta benda (barang/jasa) maka tidak dapat diperjual-belikan dalam mekanisme pasar. Karena harta benda (barang/jasa) menurut definisi Mustafa Ahmad Zarqa’ adalah: Segala sesuatu yang mempunyai nilai materi di kalangan masyarakat. Maka manusia tidak termasuk di dalamnya, sehingga jika terjadi perdagangan manusia (human smugling) maka hukumnya haram dalam perspektif ekonomi Islam.
Maka ketika harta benda (barang/jasa) itu halalan tayyiban, keberkahan pun akan menyertainya. Halalan tayyiban maksudnya adalah halal secara nilai intrinsiknya, halal proses dan halal dampak dari proses transaksinya sehingga keberkahan akan menyertai barang dan jasa itu. sehingga menjadikan output bahwa barang/jasa yang berkah akan berdampak kepada kemaslahatan. Oleh karena itu, bagaimanapun sistem pengklasifisiannya bahwa berkah harus dimasukkan dalam input produksi. Karena berkah tersebut melekat pada setiap input yang digunakan dalam berproduksi dan juga melekat pada proses produksi sehingga output produksinya akan mengandung berkah. Memasukkan berkah sebagai input produksi adalah rasional, sebab berkah mempunyai andil (share) nyata dalam membentuk output. Dalam alam kasat mata input berkah memang tidak bersifat materi sebagaimana faktor-faktor produksi lainnya, akan tetapi input human capital juga tidak bersifat materi dan bisa dimasukkan dalam input produksi. Dengan demikian, produk yang dihasilkan dengan menggunakan human capital yang kualitasnya rendah akan menghasilkan produk yang berkualitas rendah juga, demikian juga sebaliknya, produk yang dengan mempergunakan human capital yang berkualitas tinggi akan menghasilkan produk yang berkualitas tinggi. Demikian halnya, barang/jasa yang diproduksi dengan input berkah akan menghasilkan output yang bertambah berkah sehingga nilai kemaslahatannya semakin bertambah, demikian juga sebaliknya barang/jasa yang diproduksi dengan input yang tidak berkah akan menghasilkan output yang tidak berkah bahkan berdampak pada kemadzaratan dan kerusakan.
Kemuliayaan Harkat Kemanusiaan Sebagai Karakter Produksi
Tujuan produksi dalam Islam adalah untuk memberikan kemaslahatan yang optimum kepada konsumen dan manusia secara umum. Dengan kemaslahatan yang optimum ini, bertujuan untuk mendapat falahsebagai tujuan akhir dari kegiatan ekonomi yang juga merupakan tujuan akhir hidup manusia. Yang hal ini telah dijelaskan secara detail pada pembahasan terdahulu, dan falah adalah bentuk keberuntungan hidup di dunia dan di akhirat yang akan memberikan kebahagiaan yang hakiki bagi manusia. Dan kebahagiaan yang hakiki inilah merupakan wujud dari tercapainya kemulyaan bagi kehidupan manusia. Maka dengan memahami alur tujuan kegiatan produksi ini, dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa karakter penting produksi dalam ekonomi Islam adalah perhatiannya terhadap kemuliaan harkat dan martabat manusia, yaitu mengangkat kualitas dan derajat hidup kemanusiaan manusia. Kemuliaan harkat kemanusiaan harus mendapat perhatian besar dan utama dalam semua aktifitas produksi, maka keseluruhan kegiatan produksi yang tidak sesuai dengan pemuliaan harkat kemanusiaan dapat dikatakan kontradiktif dengan ajaran-ajaran Islam.
Penjelasan karakter produksi diatas membawa implikasi penting dalam teori produksi, sebagai contohnya dalam memandang kedudukan manusia khususnya tenaga kerja (human capital) dengan modal finansial (financial capital). Dalam perspektif konvensional, tenaga kerja dan kaptal finansial memiliki kedudukan yang setara dimana keduanya adalah substitusi sempurna. Artinya penggunaan tenaga kerja sama dengan harga dalam penggunaan kapital finansial yang dapat dipergunakan secara penuh berdasarkan pertimbangan efesiensi dan produktifitas. Seandainya penggunaan teknologi padat kapital (capital intensive) lebih murah daripada teknologi padat tenaga kerja (labor intensive), maka produsen akan memilih dan mempergunakan teknologi yang padat kapital. Sebaliknya, jika teknologi padat tenaga kerja lebih menguntungkan, maka produsen akan lebih memilihnya daripada teknologi padat kapital. Dalam praktek empiris, implementasi konsepsi substitusi ini telah menimbulkan berbagai permasalahan ekonomi sosial yang kompleks. Eksploitasi upah buruh, pemutusan hubungan kerja dan berbagai bentuk dehumanisasi kegiatan produksi merupakan implikasi nyata dari konsep substitusi ini.
Dalam ekonomi Islam, sangat berbeda dengan konsep ekonomi konvensional, karena ekonomi Islam lebih menitikberatkan faktor manusia sebagai perhatian terpenting dalam teori produksi. Maka dalam hal ini, ekonomi Islam lebih memilih faktor tenaga kerja (human capital) dari pada faktor modal finansial (financial capital). Karena dalam perspektif ekonomi Islam tenaga kerja memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada faktor modal finansial. Dan seandainya penggunaan teknologi padat capital (capital intensive) sama harganya dengan penggunaan teknologi padat tenaga kerja (labor intensive), tentu lebih memilih penggunaan teknologi padat tenaga kerja (labor intensive), karena penggunaan teknologi padat tenaga kerja (labor intensive) lebih melihat pada sisi keuntungan dari berbagai dimensi, tidak hanya dari pihak produsen akan tetapi juga sangat memperhatikan pihak tenaga kerja, output tenaga kerja dan kepuasan konsumen. Di pihak produsen bagaimana proses produksi ini harus tetap menguntungkan secara finansial kepada produsen. Dalam ekonomi Islam, tidak melihat pada nilai finansial keuntungan produsen saja akan tetapi produsen juga akan mendapatkan pahala akhirat karena telah dapat memberikan penghidupan bagi tenaga kerjanya secara ikhlas. Disisi lain, kebahagiaan bathiniyah bagi produsen telah terpenuhi karena telah memberikan kontribusi untuk kehidupan para tenaga kerjanya dan juga sekaligus mereka menjadi teman kerja yang dapat membantu kegiatan proses produksi para produsen.
Dari sisi pihak tenaga kerja, ekonomi Islam memandang bahwa penggunaan teknologi padat tenaga kerja (labor intensive) memiliki nilai keberkahan yang lebih dari teknologi yang hanya mengandalkan mesin padat capital, karena sentuhan tangan manusia yang ikhlas lebih memberikan rasa lebih terhadap keberkahan dan keuntungan output produksi. Dengan semakin banyaknya teknologi yang berbasiskan padat tenaga kerja akan dapat memberikan income pendapatan bagi kehidupan manusia yang sekaligus menyelamatkan mereka dari kemiskinan dan ketidakberdayaan ekonomi yang sekaligus menyelamatkan aqidah mereka. Dan ini merupakan bagian dari tujuan-tujuan ekonomi Islam. Disisi lain, karena para tenaga kerja yang ikhlas dan profesional akan selalu mendo’akan keberhasilan proses produksi sehingga keberkahannya melekat pada hasil produksi yang akan memiliki daya tarik tersendiri dalam hati para konsumen.
Berkaitan dalam hal ini dapat diklasifikasikan bahwa substitusi antara manusia/tenaga kerja dengan modal kapital dibagi menjadi dua jenis, yaitu: (1) Substitusi natural dan (2) Substitusi yang dipaksakan (forced substitution).
Untuk mendapatkan deskripsi yang lebih jelas tentang jenis substitusi tersebut dapat kita gambarkan kembali pada masa kehidupan kuno tatkala manusia masih rendah kualitas ketenagakerjaannya. Dapat kita asumsikan bahwa manusia dalam kondisi tersebut jumlahnya amat banyak sehingga tingkat upah yang didapatkannya sangatlah rendah. Maka dalam situasi seperti ini kegiatan produksi akan menggunakan banyak tenaga kerja. Selanjutnya ketika manusia-manusia tersebut telah mampu hidup lebih baik dari hasil pendapatan yang mereka peroleh sehingga dapat meningkatkan kualitas ketenagakerjaan anak-anaknya melalui pendidikan dan peningkatan keahlian, maka mereka akan bisa lebih menggunakan sumber daya ketenagakerjaan mereka dengan lebih baik. Seorang anak petani yang diberi bekal baik tidak akan lagi bekerja di sektor pertanian yang hasilnya minim karena mereka mampu memasuki pasar tenaga kerja yang memberikan kompensasi yang lebih tinggi. Sebagai konsekuensinya mereka akan memperoleh kompensasi yang lebih besar atas pekerjaan mereka. Proses tersebut terjadi terus menerus dari generasi ke generasi sehingga jumlah manusia yang mempunyai keahlian yang rendah menjadi sangat sedikit. Sebagai akibatnya, pada suatu saat tingkat pemberian kompensasi menjadi sangat tinggi.
Dengan kualifikasi manusia yang sudah tinggi seperti ini, maka menjadi tidak bijaksana jika manusia-manusia dengan kualifikasi tinggi ini digunakan untuk memproduksi barang-barang yang remeh, bernilai rendah. Mereka tentu akan diarahkan untuk memproduksi barang-barang yang mempunyai nilai tinggi sehingga bisa meningkatkan harkat hidup dan kemanusiaan. Pada tahap ini maka akan timbul masalah, yaitu ketika setiap manusia sudah dimanfa’atkan untuk produksi yang menciptakan nilai kemaslahatan yang tinggi, maka siapa yang akan menangani pekerjaan-pekerjaan yang remeh atau bernilai rendah di atas?. Disinilah manusia menciptakan peralatan, yang notabene sebagai kapital, untuk menggantikan manusia mengerjakan pekerjaan-pekerjaan remeh yang sudah ditinggalkan manusia. Kalau kita melihat pada titik terakhir ini saja tanpa melihat proses yang terjadi di belakangnya, maka kita hanya bisa melihat bahwa telah terjadi substitusi dari kapital untuk manusia (tenaga kerja). Namun, jika kita lihat dalam perspektif yang panjang sebagaimana yang dipaparkan di muka maka sebenarnya yang tampak sebagai substitusi ini hanyalah equipping.
Hal ini manusia dibekali/dilengkapi (equipped) dengan peralatan agar bisa mengatasi masalah yang dihadapi dalam rangka menciptakan nilai maslahah yang lebih tinggi. Tanpa adanya equipping ini maka bisa dipastikan akan terjadi pemborosan sumber daya. Sumber daya manusia yang bernilai sangat tinggi dalam contoh ini terpaksa harus menjalankan produksi barang-barang yang remeh (meskipun remeh, tetapi tetap juga menjadi kebutuhan manusia sehingga tetap harus diproduksi).
Dengan melihat ilustrasi di atas, kita dapat mengatakan bahwa equipping tersebut sebagai substitusi yang natural. Substitusi natural ini banyak dijumpai dalam banyak kehidupan manusia. Islam sangat merekomendasikan terjadinya substitusi natural ini karena sifat substitusi natural ini adalah untuk mendapatkan maslahat yang lebih besar bagi manusia secara keseluruhan. Sebaliknya Islam tidak merekomendasikan adanya substitusi yang dipaksakan (forced). Hal ini disebabkan karena substitusi yang dipaksakan akan menimbulkan kesengsaraan hidup manusia yang justru menurunkan harkat kemanusiaan manusia, yang tentu saja bertentangan dengan tujuan Islam itu sendiri. Pandangan konvensional tentang tenaga kerja adalah substitusi sempurna, hal ini merupakan bentuk substitusi yang dipaksakan. Ketika ketersediaan tenaga kerja masih cukup banyak, tingkat upah yang manusiawi juga masih bisa dijangkau, dan perusahaan tidak dalam kondisi darurat, maka penggunaan kapital untuk mensubstitusi tenaga kerja adalah merupakan bentuk substitusi yang dapaksakan.
Dengan mendasarkan diri pada hal ini, maka perlu dicari atau dibentuk suatu konsep produksi yang mendudukkan manusia sebagai pusat dari semua kegiatan produksi. Substitusi natural prosesnya terjadi dalam jangka waktu yang sangat panjang. Oleh karena itu, konsep produksi yang menunjukkan adanya substitusi natural antara kapital dan manusia (tenaga kerja) adalah merupakan konsep dengan horison waktu jangka sangat panjang. Sementara paradigma berproduksi sebenarnya adalah paradigma jangka pendek atau bahkan jangka sangat pendek. Dengan demikian, menjadi tidak tepat jika konsep produksi jangka sangat panjang digunakan untuk menggambarkan perilaku yang sebenarnya jangka pendek.
Amanah untuk Mewujudkan Maslahah Maksimum
Sifat amanah adalah salah satu nilai penting dalam Islam, yang diambil dari nilai dasar kekhilafahan, yang harus terus dijunjung tinggi. Pengertian amanah dalam konteks ini adalah penggunaan sumber daya ekonomi untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu keberuntungan (falah). Sedangkan sumber daya yang ada di alam semesta ini oleh Allah diamanahkan kepada manusia. Manusia tidak diperbolehkan untuk mengeksplorasi/mengeksploitasi sumber daya ekonomi ini dengan cara yang bathil. Selanjutnya, pemanfa’atan sumber daya tersebut tidak boleh digunakan untuk usaha-usaha yang bertentangan dengan tujuan khilafah, yaitu: terciptanya kemakmuran di atas bumi. Untuk mewujudkan kemakmuran, manusia diberi hak penguasaan dan kebebasan dalam memanfa’atkan sumber daya yang semua itu akan dipertanggungjawabkan kepada Allah, swt. sebagai pemberi amanah. Secara singkat, dapat diatakan bahwa amanah di sini dimaknai sebagai usaha untuk memanfa’atkan sumber daya yang ada dengan cara yang sebaik-baiknya dalam arti sesuai dengan syariah untuk mencapai kemakmuran manusia di muka bumi.
Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari nilai amanah tersebut, maka manusia butuh pemanfa’atan sumber daya yang ada sebagai input dalam berproduksi. Memang, dalam nilai amanah ini tidak disebutkan sebagai sumber yang membawa maslahah. Sumber daya bisa berasal dari tempat yang dekat maupun dari tempat yang berjarak jauh. Namun, Islam mengajarkan manusia agar memulai suatu kebaikan berasal dari diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar dan seterusnya meluas hingga masyarakat luas dalam sekup negara dan bangsa. Dengan berdasar pada prinsip ini, maka manusia akan terbantu dalam memilih sumber daya mana yang akan dipilih menjadi input produksi. Kegiatan produksi harus memanfa’atkan dengan sebaik-baiknya sumber daya yang melimpah yang ada di sekitarnya. Ketika di lingkungan sekitar tidak ada sumber daya yang bisa dimanfa’atkan, maka manusia bisa mencari sumber daya pada lingkungan yang lebih luas dan pada sektor lain yang lebih luas, demikian seterusnya. Sehingga prioritas produksi dalam Islam adalah dengan memanfa’atkan sumber daya lokal yang melimpah.
Profesionalisme
Dalam ajaran Islam, setiap muslim dituntut untuk menjadi pelaku produksi yang profesional, yaitu memiliki profesionalitas dan kompetensi di bidangnya. Segala sesuatu harus dikerjakan dengan baik, karenanya setiap urusan harus diserahkan kepada ahlinya. Hal ini memberikan implikasi bahwa setiap pelaku produksi Islam harus mempunyai keahlian standar untuk bisa melaksanakan kegiatan produksi. Implikasi lebih jauh dari hal ini adalah bahwa produsen harus mempersiapkan karyawannya agar memenuhi standar minimum yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan produksi. Maka tidak lain dengan cara menyelenggarakan pelatihan dan pendidikan secara intensif sehingga profesionalitas dapat tercapai bagi sumber daya manusia yang dibutuhkan.
Dalam kaitannya dengan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia, yang mana walaupun setiap tenaga kerja sudah memenuhi standar minimum dalam melaksanakan produksi, namun ia harus selalu belajar terus untuk meningkatkan kemampuannya dalam hal-hal yang terkait dengan produksi. Pembelajaran ini merupakan amanat sepanjang hidup (long life learning) dari ajaran Islam, artinya: bahwa setiap agen muslim perlu terus-menerus belajar. Adapun media untuk belajar bisa berupa pendidikan formal dan informal dimana dan kapanpun dia berada, misalnya tempat bekerja (working place). Dari tempat bekerja ini berangsur-angsur tenaga kerja akan bisa memperoleh keahlian dalam berproduksi sehingga kemampuan kerjanya semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya kemampuan, maka jumlah barang/jasa yang bisa dihasilkan juga semakin besar, sebab ia bekerja semakin efisien. Selain itu frekuensi kesalahan dalam melaksanakan kegiatan produksi juga semakin menurun. Akibatnya jumlah barang yang gagal (cacat) menjadi semakin kecil yang berarti penggunaan input per unit output juga semakin menurun. Hal ini semua yang disebut sebagai efek learning curve yang bisa ditunjukkan dalam gambar sebagai berikut:
Gambar7.1.
Learning Curve
Dengan demikian, dapat kita perhatikan bahwa sumbu vertikal dalam kurva di atas menunjukkan jumlah input yang digunakan untuk menghasilkan output, sementara sumbu horizontal menunjukkan jumlah output. Jika input, misalnya tenaga kerja, bersedia untuk melakukan kegiatan pembelajaran terus-menerus, maka produktifitasnya akan semakin meningkat. Untuk menghasilkan lebih banyak output, maka jumlah input yang digunakan semakin sedikit. Ajaran Islam mengharuskan umatnya untuk melakukan long life learning sehingga meningkatkan produktifitasnya sebagaimana telah diilustrasikan dalam learning curve di atas, yang hal ini juga dijelaskan dalam sabda Nabi, saw. “Carilah kalian ilmu pengetahuan dari ayunan sampai ke liang kubur”.
Produksi Dengan Teknologi Konstan
Berdasarkan semua pembahasan di atas, didapatkan bahwa konsep produksi yang sesuai dengan nilai Islam adalah konsep yang menganggap bahwa teknologi berproduksi adalah sudah ‘given’ atau konstan, dalam arti bahwa teknologi yang digunakan adalah teknologi yang memanfa’atkan sumber daya manusia sedemikian rupa sehingga manusia-manusia tersebut mampu meningkatkan harkat kemanusiaannya. Selain itu sebagai implikasi dari nilai amanah, maka kegiatan produksi harus menggunakan input setempat (locality) yang tersedia baik dalam bentuk sumber daya mentah, setengah jadi atau yang sudah jadi (siap pakai).
Sebagai konsekuensi dari premis dasar di atas, maka permasalahan produksi tidaklah mencari teknologi produksi sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan maksimum, melainkan mencari jenis ouput apa, dari berbagai kebutuhan manusia, yang bisa diproduksi dengan teknologi yang sudah ada tersebut. Permasalahan produksi akan memfokus pada pemilihan kombinasi output, berapa jumlah output yang satu dan yang lainnya harus diproduksi sehingga dapat memperoleh nilai maslahah yang maksimum. Pengertian maksimum di sini tentu saja ada faktor kendalanya, yaitu input yang jumlahnya sudah tertentu. Dengan lebih tegas bisa dikatakan bahwa permasalahan produksi di sini adalah mencari kombinasi produk yang bisa dihasilkan dengan sumber daya yang ada guna memperoleh maslahah yang maksimum. Misalnya, adanya sumber daya yang tersedia berupa batu hitam. Alternatif produk yang bisa diproduksi dengan menggunakan batu tersebut adalah bermacam-macam, antara lain adalah untuk digunakan sebagai sebagai batu pondasi rumah, untuk koral campuran aspal, koral campuran beton cor, pasir giling sebagai bahan campuran cor kualitas tinggi sampai digunakan untuk batu aksesoris dinding atau lantai rumah. Pemilihan mengenai produk mana dan dengan kuantitas berapa yang akan diproduksi dengan batu tersebut tentu akan didasakan pada alternatif maslahah yang terbaik yang bisa dihasilkan.
Contoh lain bisa dideskripsikan bahwa ketika seorang agen melihat banyaknya tenaga kerja di daerahnya, maka dia akan berpikir bagaimana memanfa’atkan tenaga kerja tersebut agar mereka bisa memperoleh pendapatan yang layak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya sebagai makhluk Allah yang tertinggi. Ada banyak alternatif yang bisa dipilih dari pertanian, perkebunan, kerajinan, industri, perdagangan dan jasa-jasa lainnya. Begitu juga ketika agen ekonomi Islam melihat banyaknya insan yang mempunyai kualitas tinggi dan menguasai teknologi, dia akan berpikir bagaimana memanfa’atkan faktor produksi yang berupa skill tersebut. Ada beberapa pilihan produk yang bisa dihasilkan oleh faktor produksi tersebut, mulai produk-produk berteknologi rendah sampai produk berteknologi tinggi.
Rangkuman:
1- Dalam mendefinisikan produksi, secara esoteris “produksi” dalam bahasa Arab disebut: “al-intaj” yang memiliki makna ijadu sil’atin (mewujudkan atau mengadakan produk) atau khidmatu mu’ayyanatin bi istikhdamin muzayyajin min anashiril intaji dhamina itharu zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas dengan menuntut adanya bantuan penggabungan unsur-unsur produksi yang terbingkai dalam waktu yang terbatas). Lebih jauh dikatakan bahwa dalam melakukan proses produksi yang dijadikan ukuran utamanya adalah nilai manfa’at (utility) yang diambil dari hasil produksi tersebut. Produksi dalam pandangannya harus mengacu pada value of utility dan masih dalam bingkai nilai “halal” serta tidak membahayakan bagi diri sendiri atau orang lain dan kelompok tertentu.
2. Teori Produksi telah banyak dijelaskan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, saw. akan tetapi dengan bahasa yang lebih tajam dan dinamis yaitu dengan bekerja dan beinvestasi. Karena keduanya merupakan faktor tepenting untuk menghasilkan pendapatan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Bahkan Al-Qur’an dan Sunnah sangat menganjurkan umatnya untuk bekerja dan berinvestasi dengan memberikan justifikasi wajib bagi manusia untuk melakukan produksi. Disisi lain Sumber hukum Islam ini memulyakan manusia yang bekerja dan berproduksi sehingga manusia yang berproduksi dengan cara jujur akan mendapatkan kemulyaan di akhirat nanti bersama para nabi, para syuhad’ dan shalihin.
3. “Tingkat kesalehan seseorang mempunyai korelasi positif terhadap tingkat produksi yang dilakukannya. Jika seseorang semakin meningkat nilai kesalehannya maka nilai produktifitasnya juga semakin meningkat, begitu juga sebaliknya jika keshalehan seseorang itu dalam tahap degradasi maka akan berpengaruh pula pada pencapaian nilai produktifitas yang menurun.
4. Sistem produksi dalam suatu negara Islam harus dikendalikan oleh kriteria objektif maupun subjektif; kriteria yang objektif akan tercermin dalam bentuk kesejahteraan yang dapat diukur dari terpenuhinya sumber daya ekonomi, dan kriteria subjektifnya dalam bentuk kesejahteraan yang diukur dari segi etika ekonomi yang didasarkan atas perintah-perintah Kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah.
5. Sebuah produk menjadi sangat berharga atau tidaknya itu disebabkan tidak hanya adanya atribut fisik yang melekat pada produk tersebut. Akan tetapi peran nilai yang melekat pada produk tersebut memberikan kontribusi yang dipandang berharga oleh konsumen. Konsep ekonomi Islam tentang atribut fisik suatu barang tidak berbeda, akan tetapi nilai-nilai yang melekat kepada produk harus sesuai dengan islamic values. Sehingga dengan adanya nilai itu menjadikan barang dan jasa itu berkah sehingga bermaslahah pada penggunanya.
6. Semua kegiatan produksi membutuhkan sumber daya ekonomi yang biasa disebut dengan input atau faktor produksi. Secara garis besar faktor produksi dapat diklasifikasikan ke dalam input manusia dan input nonmanusia. Dan berkah adalah komponen terpenting dalam menjadikan produk itu memiliki nilai maslahah, oleh karena itu harus melekat pada setiap input yang digunakan dalam berproduksi dan proses produksi sehingga output produksi itu bernilai berkah di sisih Allah, swt..
7. Sebuah karakter terpenting produksi dalam perspektif ekonomi Islam adalah menempatkan manusia sebagai titik central perhatiannya sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat kualitas kehidupannya. Maka Islam lebih memulyakan sistem produksi yang mengedepankan labor intensive dari pada capital intensive sehingga semua manusia akan mendapatkan income pendapatan yang cukup seimbang dengan capital intensive yang didapatkan berujung pada tercukupinya kesejahteraan bagi setiap manusia.
8. Konsep produksi yang sesuai dengan nilai Islam adalah konsep tehnologi konstan, yang bermakna bahwa teknologi yang digunakan itu dapat memanfa’atkan sumber daya manusia secara maksimal sehingga sumber faktor produksi ini mampu meningkatkan harkat dan martabat kemanusiaannya. Oleh karena itu, permasalahan produksi tidaklah mencari tehnologi produksi secara maksimal yang berdampak pada mendapatkan keuntungan maksimum, melainkan mencari jenis output dari berbagi kebutuhan manusia yang dapat diproduksi dengan tehnologi yang sudah ada ini sehingga diperoleh maslahah maksimum.
9. Kemaslahatan akan dicapai secara optimal apabila pada saat slope (gradient) antara kurva iso-maslahah dan kurva iso input adalah sama. Secara matematis produsen harus mampu menyamakan nilai rasio maslahah marginal barang X dan maslahah marginal barangYsama dengan rasio input marginal dalam memproduksi barangXdan input marginaldalam memproduksi barang Y.
10. Secara empiris dalam perekonomian nasional dari sisi produktifitas alam telah mengalami kritis pemberdayaan, dan dari sisi tenaga kerja sektor jasa yang telah menyerap tenaga kerja terbesar kemudian disusul sektor pertanian dan industri menurut data BPS pertumbuhan tenaga kerja tahun 1999-2009. sedangkan dari sisi modal, dalam sektor pertanian yang menyerap tenaga kerja yang besar akan tetapi diberikan peluang yang kecil terhadap akses modal.
11. Dalam perjalanan perekonomian Indonesia selama 10 tahun era reformasi dibandingkan dengan 10 tahun sebelumnya, secara umum menunjukkan kinerja yang lebih buruk (Tabel 9), yaitu bahwa: Inflasi lebih tinggi, Pertumbuhan ekonomi lebih rendah, Ketimpangan pendapatan cenderung semakin timpang, Konsumsi kalori cenderung menurun, protein meningkat, Persentase penduduk miskin lebih besar, Transformasi ekonomi berjalan lamban.
Referensi:
üAfzalurrahman, “Doktrin Ekonomi Islam Jilid I”, PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995. Yogyakarta.
üAl-Jamal, Muhammad, “Mausu’atu al-Iqtishad al-Islamy”, Dar al-Kitab al-Mashry, tahun 1980.
üAl-Masry, Rafiq Yunus, “Ushulul Iqtishad al-Islamy”, hal. 89.
üAl-Washoby, Abdul Wahab, “Al-Barakah Fi Fadhli as-Sa’yi wal Harakah”, Maktabah Khanji, Kairo, Dar Syuruq, tahun 2005.
üAr-Razy, Abu Bakar Ahmad bin Ali, “Al-Jashash Fi Ahkamil Qur’an”, juz. 3, hal. 165.
üChapra, M. Umar, “Islam dan Tantangan Ekonomi”, GIP dan Tazkia Institute, cet. I, tahun 2000, Jakarta.
üDunya, Syauqi Ahmad, “Al-Islam wa at-Tanmiyah al-Iqtishadiyah”, hal. 28.
üEko Suprayitno, “Ekonomi Mikro Perspektif Islam”, UIN-MalangPress, Cet. I 2008, Malang.
üFanjary, Muhammad Syauqi, “Al-Madzhab al-Iqtishadi Fil Islam”, Al-Haiah Al-Mashriyah Al-Ammah, 2006, Kairo.
üHamzah Al-Jumai’I ad-Damuhy, “Awamilul Intaj Fil-Iqtishad al-Islamy”, Dar Thib’ah Wan-Nasyr al-Islamiyah.
üIbnu Taimiyah, Imam, “As-Siyasah as-Syar’iyah”. Tanpa tahun.
üIbrahim Lubis. “Ekonomi Islam Suatu Pengantar”, Kalam Mulia, Cet.I, 1995, Jakarta.
üKahf, Monzer, “Ekonomi Islam; Telaah Analitik Terhadap Fungsi Sistem Ekonomi Islam”, Pustaka Pelajar, Cet. I, 1995, Yogyakarta.
üKarim, Adiwarman Azwar, “Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam”, Raja Grafindo Persada, 2006, Jakarta.
üMahmud, Mushtafa, “Al-Marksiyah Fil Islam”, hal. 75.
üManan, M. Abdul, “Teori dan Praktek Ekonomi Islam”, PT. Dhana Bhakti Wakaf, Yogyakarta.
üMasyhur, Nikmat Abdul Lathif, “Az-Zakat; Al-Asar al-Inmaiy wa at-Tauzi’I”, hal. 143.
üMisanan, Munrokhim, dkk. “Ekonomi Islam”, P3EI, UII Yogyakarta, cet. Raja Grafindo, Jakarta, 2008.
üMuhammad, Abdul Halim Umar, “Al-Manhaj al-Islamy Fi Majali al-Intaj”, dalam Kitab al-Qiyam al-Ahlaqiyah al-Islamiyah wal Iqtishad”. Pusat Riset Ekonomi Islam, Shaleh Kamil, Univ. AL-Azhar, April, tahun 2000.
üMustafa Edwin Nasution, Budi Setyanto, dkk. “Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam”, Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2007, Jakarta.
üSyaibani, Muhammad Imam, “Al-Iktisab Fir Rizqi al-Mustathab”, Maktabah Nasyru Saqafah Islamiyah, Kairo, tahun 1357 H/1938 M.
üYusuf, Abu, “Al-Khorroj”, hal. 93dan setelahnya.
üBPS, Sensus Pertanian, 2003.
üKementerian Kehutanan RI, Statistik Kehutanan, 2009.
üKementerian Kehutanan RI, Statistik Kehutanan, 2000 dan 2009
. Abdul Wahab al-Washoby, “Al-Barakah Fi Fadhli as-Sa’yi wal Harakah”, Maktabah Khanji, Kairo, Dar Syuruq, tahun 2005, hal. 57-58.
. Muhammad Abdul Halim Umar, “Al-Manhaj al-Islamy Fi Majali al-Intaj”, dalam Kitab al-Qiyam al-Ahlaqiyah al-Islamiyah wal Iqtishad”. Pusat Riset Ekonomi Islam, Shaleh Kamil, Univ. AL-Azhar, April, tahun 2000, hal. 12.
. Hadis dikeluarkan oleh Ad-Dailamy dalam “Musnad al-Firdaus”.