“Apa hebatnya kuliah dapat beasiswa? Se-bonafid apa sih beasiswa yang situ terima? Gede ga nominal beasiswanya? Terus sumber duit beasiswanya halal ga, tar cuma proyek cuci uang doang?“ Segelintir pertanyaan yang konon sempat jadi “cemilan” rutin di kala berbincang dengan orang-orang di sekitar yang notabene adalah manusia-manusia super kritis terhadap segala hal. Kadang emosi sendiri dengan sikap mereka, tapi yah lambat-laun mikirnya masa bodoh dengan asumsi yang mereka telurkan. Toh sehebat apapun berargumentasi tetap saja selalu ada celah yang mereka dapatkan untuk mematahkan semua kata-kata. Apa emang salah punya teman-teman pemikir kritis yang kesannya selalu su’udzon dengan semua hal yang ada di muka bumi ini? Entahlah, tapi itulah suka duka yang harus dihadapi ketika terjun menjadi seorang makhluk sosial di belantara warna warni karakteristik individual. Harus selalu siap mental, tahan ego dan kudu harap maklum dengan segala situasi dan kondisi.
Lumayan menggelitik memang cercaan mereka karena punya teman yang cukup beruntung menjadi salah seorang penerima beasiswa dari Tanoto Foundation. Para penerima beasiswa ini akrab dengan sebutan Tanoto Scholar. Suka ga suka, terima ga terima, mau ga mau, saya adalah seorang Tanoto Scholar sejak tahun 2014 lalu. Menjadi bagian dari keluarga besar Tanoto Foundation bukan berarti saya harus menutup mata, telinga dan mulut atas segala informasi yang saya terima berkenaan dengan sumber dana dari proyek filantropi Sukanto Tanoto ini. Sebagai seorang mahasiswa saya juga harus melihat pemberitaan secara cover both side. Saya tidak harus mengagung-agungkan Sukanto Tanoto karena belas kasih nya terhadap mahasiswa yang butuh duit, pun tidak pula menghujat pengusaha paruh baya tersebut dengan segala macam kasus yang pernah melilitnya. Sikap saya inilah yang kemudian terkesan sebagai sikap seorang pragmatis di mata rekan-rekan saya.
Bukan maksud untuk tinggi hati, tapi tidak hanya di jenjang pascasarjana saya berhasil mendapatkan beasiswa. Pada saat kuliah di S1 dulu, setiap tahunnya saya selalu mendapatkan berbagai beasiswa dari berbagai pihak, mulai dari Supersemar, PPA, BPH-Migas. Saya juga sempat terpilih menjadi salah satu mahasiswa terbaik Se-Indonesia mewakili Universitas Sumatera Utara untuk kegiatan yang diadakan oleh sebuah perusahaan rokok yang telah diakuisisi oleh Philip Morris di tahun 2008 lalu. Akan selalu ada stigma negatif yang disematkan kepada pihak pemberi beasiswa di Republik ini, terlepas dari kebenaran atas simpang-siurnya pemberitaan yang beredar. Saya sendiri sebagai penikmat beasiswa terkadang suka mempertanyakan kebenaran dari segala isu-isu menyebalkan tersebut. Untuk menggerusnya, saya pun berusaha untuk melibatkan diri dengan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh sang pemberi beasiswa seperti pada saat saya menerima beasiswa dari Tanoto Foundation.
Saya kemudian memanfaatkan sebuah peluang sebagai seorang Tanoto Scholar dengan mengikuti kegiatan Tanoto Scholar Gathering beberapa waktu yang. Kegiatan tahunan yang digelar oleh pihak Tanoto Foundation ini ibarat ajang pembuktian bagi saya untuk melihat lebih dekat lagi, apakah visi dan misi mereka untuk Pendidikan, Pemberdayaan serta Peningkatan Kualitas Hidup berjalan dengan sebenarnya dan bukan menjadi pepesan kosong belaka. Karena dari lubuk hati yang paling dalam, saya tidak ingin dijadikan sebagai duta pencitraan dari kebaikan hati seorang Sukanto Tanoto.
Saya menikmati setiap menit yang terhabiskan di kegiatan Tanoto Scholar Gathering (TSG) 2015 ini untuk mengamati berbagai hal, namun tidak menghanyutkan sisi penasaran saya akan segala pertanyaan yang masih rutin membuncah di pikiran. Komplek PT. RAPP di Pangkalan Kerinci, Riau merupakan lokasi yang dipilih oleh pihak Tanoto Foundation untuk perhelatan akbar bagi kaum intelektual muda Indonesia ini. PT. RAPP sendiri merupakan salah satu unit usaha yang dimiliki oleh Sukanto Tanoto. Tak ayal, serbuan dari para mahasiswa berprestasi dari 4 Pulau besar di Indonesia yakni Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi semakin mendongkrak citra positif sang Taipan.
Sah-sah saja bagi setiap orang untuk melakukan pencitraan, asal tidak ada pihak yang dirugikan akibat tindakan pencitraannya tersebut. Fenomena inilah yang kemudian saya tangkap dari kegiatan TSG 2015 yang mengusung tema “Learn and Lead” ini. Jika rekan-rekan kritis saya miris dengan kegiatan ini dan dicap hanya sebagai proyek pencitraan semata, tidak demikian halnya dengan kenyataan yang saya alami secara langsung. Serangkaian kegiatan selama beberapa hari yang telah dipersiapkan oleh pihak panitia mulai dari industrial visit ke bisnis unit yakni PT. RAPP dan Asian Agri, Outbound dan juga Character Building bersama Talk.Inc semakin menuntun saya mengumpulkan kepingan-kepingan jawaban atas rasa penasaran. Bersama dengan 265 mahasiswa lainnya baik dari jenjang D3, S1 dan S2 dari berbagai kampus di Indonesia ini, kami dilibatkan dengan berbagai acara dan juga diberi kesempatan untuk secara eksplisit mengeksplorasi hal-hal yang ingin kami ketahui secara kritis tanpa adanya hal yang ditutup-tutupi.
Saya tidak ambil bagian dari kegiatan tanya jawab yang mengundang berbagai pihak dari internal perusahaan maupun eksternal yakni Bapak Rachmat Witoelar beserta istri dalam kegiatan ini karena banyak pertanyaan dari saya yang sudah diwakilkan oleh para Tanoto Scholar lainnya. Saya hanya melihat, mendengar dan kemudian menganalisis setiap argumen dan juga penjelasan dari pihak yang ditanyakan. Terkhusus mengenai Sustainable Development dan juga prinsip Green Economy yang dijalankan oleh RGE Group, saya sungguh sangat tertarik dengan masalah ini. Pada akhirnya saya harus menyerah dengan segala prasangka dan juga prejudis yang sempat melekat kuat di benak. Saya sebagai pribadi yang bebas nilai dan juga berpendidikan melihat bahwa jawaban-jawaban ilmiah dan berdasar yang dipaparkan oleh orang-orang cerdas dari pihak RGE Group ini mampu memberikan sebuah pencerahan bukan hanya sekadar pencitraan kepada kami, para generasi penerus bangsa ini.
Pesan propaganda akan selalu hadir di tengah-tengah masyarakat di belahan bumi manapun. Demikian pula pesan propaganda negatif yang selama ini menerpa Sukanto Tanoto dan grup usaha yang dimilikinya. Like Taylor Swift says Haters gonna hate hate hate, inilah yang mungkin dialami seorang Sukanto Tanoto. Yap! The truth is out there guys. Biasakan untuk selalu bersikap kritis namun netral untuk menemukan sebuah kebenaran. Terlebih jika pesan yang diterima bersumber dari media yang kredibilitasnya dipertanyakan. I tell you as an ex-journalist, the fact that the media made reality. Jadi pintar-pintar lah mengkonsumsi informasi alias berliterasi media. Pada prinsipnya, kita harus belajar memproses informasi secara cerdas, karena segala informasi yang kita terima akan menjadi medium yang menuntun kita menjadi seorang pemimpin yang handal dan berwawasan luas.
Selepas kegiatan TSG 2015 ini, saya pun kemudian sudah tidak ragu lagi untuk menyebut diri saya sebagai seorang Tanoto Scholars dan merasa bangga dengan pencapaian yang saya lakukan untuk dapat memiliki julukan ini. Telah banyak pembelajaran yang diberikan oleh pihak Tanoto Foundation baik secara langsung maupun tidak langsung kepada saya dan rekan-rekan mahasiswa lainnya untuk menjadi seorang pemimpin di masa depan melalui kegiatan Tanoto Scholar Gathering 2015. At last from the moon and back, proudly say “SAYA MERASA OKE JADI TANOTO SCHOLAR!”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H