Praktik suap dan penetapan tersangka Hasto Kristiyanto oleh KPK mencerminkan tantangan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Agar bisa efektif, penegakan hukum perlu dilakukan dengan tegas dan transparan, tanpa intervensi politik, serta dibarengi dengan reformasi sistemik dan pendidikan moral yang mendalam.
Korupsi dan suap telah menjadi momok yang mengancam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Meskipun sejumlah undang-undang telah ada untuk memerangi praktik ini, hasilnya masih belum memadai. Pemberantasan korupsi harus melibatkan berbagai pihak, baik dari pemerintah, penegak hukum, hingga masyarakat. Kasus penetapan tersangka Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam dugaan suap terkait Harun Masiku, menjadi sorotan publik. Sementara sebagian mendukung langkah KPK sebagai bukti komitmen pemberantasan korupsi, sebagian lainnya mencurigai adanya politisasi. Artikel ini akan mengulas tantangan yang dihadapi dalam pemberantasan suap, serta pentingnya penegakan hukum yang adil dan transparan.
Praktik suap sering kali dianggap sebagai jalan pintas untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang cepat dan instan. Hal ini terjadi karena lemahnya penegakan hukum dan adanya sistem yang korup, yang membuat praktik ini terlihat wajar di mata banyak orang. Selain itu, rendahnya efek jera dari hukuman yang diterima oleh pelaku suap juga menjadi faktor utama mengapa orang tidak takut melakukannya. Faktor lainnya adalah ketidakmampuan hukum untuk memerangi suap secara efektif, terutama ketika intervensi politik dan kepentingan pribadi mendominasi proses hukum.
Menurut Islam, suap jelas dilarang keras. Dalam Surah Al-Baqarah (2:188), Allah mengingatkan umat-Nya agar tidak memakan harta orang lain secara batil, termasuk dengan menggunakan hakim sebagai perantara. Hadis Rasulullah juga menegaskan bahwa Allah melaknat semua pihak yang terlibat dalam praktik suap, baik pemberi, penerima, maupun perantara. Dengan demikian, suap bukan hanya bertentangan dengan hukum negara, tetapi juga dengan nilai-nilai agama dan moral.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seharusnya menjadi benteng dalam memerangi suap dan korupsi. Namun, pada kenyataannya, penerapan hukum tersebut sering kali tidak efektif. Kurangnya transparansi dalam proses hukum dan minimnya pengawasan terhadap aparat penegak hukum menjadikan undang-undang ini kurang memberikan efek jera. Banyak pelaku yang terlibat dalam kasus korupsi atau suap yang tidak mendapatkan hukuman sesuai dengan beratnya perbuatan mereka. Dalam konteks ini, reformasi penegakan hukum yang lebih ketat dan bebas dari intervensi politik menjadi keharusan.
Kasus Hasto Kristiyanto: Tantangan untuk KPK
Kasus Hasto Kristiyanto menjadi ujian bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menjaga independensi dan transparansi mereka. Penetapan Hasto sebagai tersangka dalam dugaan suap terkait Harun Masiku telah menimbulkan spekulasi, terutama mengenai kemungkinan adanya politisasi di balik keputusan tersebut. Masyarakat tentu berharap KPK dapat menjalankan tugasnya dengan profesionalisme, mengedepankan prinsip keadilan tanpa tekanan politik. Dalam hal ini, publik membutuhkan bukti yang jelas dan transparan bahwa KPK bekerja sesuai dengan aturan yang ada, tanpa memihak kepada golongan atau partai tertentu.
Penetapan tersangka ini juga menggugah kesadaran akan pentingnya reformasi dalam tubuh KPK itu sendiri. KPK sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk memberantas korupsi harus menjaga independensinya agar tidak jatuh dalam permainan politik yang dapat merusak kredibilitasnya. Proses hukum yang adil dan transparan akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini.
Untuk mengatasi masalah suap, beberapa langkah komprehensif harus dilakukan:
1. Penegakan Hukum Tegas: Agar suap dapat diminimalisir, penegakan hukum harus dilakukan dengan tegas tanpa pandang bulu. Pemberi dan penerima suap harus dijatuhi hukuman yang sesuai dengan beratnya pelanggaran, agar memberikan efek jera yang nyata.
2. Pendidikan Antikorupsi: Nilai-nilai antikorupsi dan integritas harus diajarkan sejak dini. Masyarakat yang memiliki kesadaran moral yang tinggi akan lebih cenderung menolak praktik suap dan lebih memilih cara-cara yang sah dalam mencapai tujuan.