Akhirnya, nama Steven Gerrard dibicarakan sebagaimana pecinta sepakbola membicarakan nama Zinedine Zidane. Bukan dalam konteks prestasi yang telah diraih, melainkan drama pahit penutup karir yang sama-sama disebabkan oleh momen pendek kehilangan nalar dan kartu merah. Tambahan sanksi retrospektif setelah komite disiplin FA menonton tayangan ulang injakannya pada Ander Herrera masih mungkin dijatuhkan padanya, sehingga sangat mungkin laga tadi malam adalah laga Premier League terakhirnya di Anfield.
Tentu saja, banyak fans kebingungan dengan tingkah laku mantan kapten timnas Inggris yang dijadikan role model banyak remaja di seluruh dunia. Kita mungkin akan menganggap kejadian itu sebagai sesuatu yang biasa apabila dilakukan oleh pemain seperti Mario Balotelli, Joey Barton, atau Pepe Kepler. Namun ini adalah Steven Gerrard, sosok panutan yang memiliki reputasi bersih, terutama di mata fans. Apakah itu adalah puncak rasa frustrasi dari musim buruk yang dijalaninya, atau sekedar ‘a momentary lapse of reason’ (maaf, saya meminjam judul album Pink Floyd).
Steven George Gerrard, pengabdi tim selama 28 tahun (dihitung sejak pertama kali ia masuk ke akademi), menghadapi tekanan yang sangat besar saat berhadapan dengan Manchester United di Anfield. Bukan saja ini masalah ia harus mengangkat tim dari ketertinggalan, tapi ia juga harus mengukir sebuah legacy yang indah di akhir karir. Sesuatu yang dibayangi penampilan buruk di musim terakhir. Sayang, ia gelap mata setelah ia menganggap tekel Herrera dapat membahayakan sisa karirnya di Liverpool.
Salah satu ketakutan terbesar saya saat melihat kartu merah diacungkan Martin Atkinson malam itu adalah sebuah karir gemilang yang terbentuk karena keringat dan cinta selama bertahun-tahun harus tercoreng karena satu momen pendek keinginan melampiaskan amarah, gratifikasi emosi terpendam. Karena nila setitik tumpah susu sebelanga.
Ini memunculkan sebuah kekhawatiran besar di tengah para fans Liverpool. Apakah dua kejadian beruntun, pertama terpelesetnya Stevie G yang berakhir dengan gol Demba Ba pada tahun sebelumnya dan kedua kartu merah cepat karena injakan pada Herrera, akan memunculkan fenomena psikologis negativity bias, yang mana dalam hal ini manusia memiliki kecondongan untuk mengingat memori pahit daripada memori manis?
Indikasi awal sudah terlihat berupa serangan fans terhadap Steven Gerrard di media sosial. Banyak fans menyuarakan kekecewaan, utamanya para ayah yang mengajarkan putranya untuk belajar dari Gerrard.
Klub Liverpool FC dikenal sebagai tim historis, yang tentu saja lekat dengan urusan memori indah maupun kelam. Bagaimana kita akan mengingat Steven Gerrard dua dekade dari sekarang? Apakah sebagai pahlawan Istanbul? Nyaris mencetak hattrick di Old Trafford? Ataukah dia akan diingat sebagai Slippy G, pelesetan Stevie G yang terpeleset di Anfield? Atau sebagai penerima kartu merah 38 detik di laga krusial itu?
Berhubung ini adalah artikel mengenai memori, saya akan mengajak anda melakukan perjalanan retrospektif ke masa lalu Gerrard, Liverpool dan ingatan maupun kepedulian para fans mengenai sejarah.
Di dunia ini, ada berbagai macam jenis Kopites. Namun, satu hal yang menyatukan mereka semua adalah minat besar pada sejarah tim, mulai dari mereka yang suka berkoar-koar mengenai pencapaian lima kali juara Liga Champions hingga mereka yang bisa menukil perkataan Bill Shankly dengan sempurna. Beberapa dari mereka bahkan bisa menjadi “filsuf sepakbola” karena belajar banyak dari sejarah Liverpool.
Perihal sejarah lain yang membuat saya kagum adalah Hillsborough Inquest. Penuntutan keadilan ini telah berlangsung bertahun-tahun tanpa lelah, mencari kebenaran sejati di balik kematian 96 Kopites. Ini kembali mengingatkan saya pada idealisme kuno yang telah tersayat, terlindas oleh korupsi. Law is temporary, justice is forever. Saya gemetar membaca proses inquisition ini. Mungkin terdengar konyol, tapi ini membekas dalam benak saya.
Itu adalah bukti nyata penghargaan pendukung Liverpool kepada siapa saja yang pernah menjadi bagian dari tim, entah itu pemain yang jarang dapat kesempatan tampil, pemain akademi, hingga fans yang mungkin masih berusia tiga tahu sekalipun.
Saya hampir tidak mengenal Kopites atheist. Bagaimana tidak? Sebagian besar dari mereka melakukan penyematan gelar “tuhan” pada striker legendaris bernama Robbie Fowler. Pada sebuah kesempatan di pertengahan tahun 2014, saya pernah menulis analisis mengenai kepantasan Gerrard untuk duduk di bangku cadangan pada sebuah forum penggemar Liverpool internasional. Respon yang saya terima cukup beragam, salah satunya berkata kurang lebih begini, “This is heresy!” Lho, rupanya Steven Gerrard sudah menjadi “tuhan”? Kapan proses deifikasinya?
Ada anekdot-anekdot berbau sejarah lain, seperti cara Kopites memaknai ulang perseteruan Emlyn Hughes “Si Kuda Gila” dan Tommy “Iron Man” Smith, perdebatan panjang mengenai kemampuan Bob Paisley mengenai jenis cedera pemain hanya dengan melihatnya berjalan lima langkah, ataukekaguman terhadap memori eidetic mantan pelatih tim muda Tom Saunders.
Ini menunjukkan bagaimana para Kopites punya cara yang unik mengenang sejarah mereka. Para Kopites selalu bisa menciptakan perspektif unik dalam menelisik masa lalu, hingga bisa menjadi sesuatu yang pantas diingat sepanjang masa.
Mungkin saat ini banyak fans yang merasa marah karena a momentary lapse of reason yang barusan terjadi mungkin saja mengubur impian kembali bermain di Liga Champions musim depan. Bahkan masih banyak di antara kita yang belum dapat melupakan insiden gol Demba Ba musim lalu.
Orang bilang, waktu akan menghapus ingatan pahit. Jangan. Jangan mencoba melupakan kesalahan Stevie. Ampuni, namun jangan lupakan. Ingatlah kesalahan itu sama seperti anda mengingat gol gila melawan Olympiakos, atau saat ia mengangkat tim demi memenangkan Liga Champions. Salah satu unsur terbesar yang membentuk suporter Liverpool saat ini adalah kesadaran akan sejarah.
Menurut penyair Swiss Hermann Hesse, mempelajari sejarah berarti menyerahkan diri kepada kekacauan dalam rangka memperoleh kepercayaan pada keberadaan keteraturan sejati. Terdengar kontradiktif? Tidak. Jika anda seorang penggemar sejati Liverpool,5 tahun dari sekarang, tengoklah ke belakang segala kekacauan dan keindahan karir Steven Gerrard. Niscaya, anda akan memperoleh perspektif yang berbeda dari sekarang. Dan jika beruntung, anda mungkin menemukan pencerahan hidup dari sumber tak terduga seperti ini.
Sedikit nukilan dari Bill Shankly mengenai apa yang perlu diingat dari dirinya : “Above all, I would like to be remembered as a man who was selfless, who strove and worried so that others could share the glory, and who built up a family of people who could hold their heads up high and say ‘we are Liverpool’.”
Tentu saja, ia juga diingat atas rekor transfer pemainnya yang tidak terlalu menggembirakan, terutama Alun Evans yang membutuhkan biaya transfer hingga 110.000 poundsterling. Tak jadi masalah. Itu tidak menghalangi pembangunan patung Shankly dan Shankly Gates. Ia masih dikenang sebagai seorang legenda besar.
Gelap mata Gerrard seharusnya tidak menjadi penyebab dirinya lengser dari status legenda besar. Saya harap, segala makian yang diarahkan padanya saat ini hanyalah impuls dan kekesalan pendek semata. Saat ia pensiun, semoga tak ada lagi yang mengoloknya lagi sebagai Slippy G, tetapi menempatkannya sebagai bagian unik dari sejarah panjang keluarga Liverpool FC.
The Kop Remembers.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H