[caption id="attachment_405648" align="alignnone" width="475" caption="Sumber : Akun Facebook Mamadou Sakho"][/caption]
Saat Mamadou Sakho mengeksekusi sebuah umpan backheel untuk melepaskan bola dari tekanan Ashley Young pada north-west derby empat hari lalu, ada sebuah kata ajektiva dua silabel yang meluncur dari mulut komentator yang membuat saya kesal bukan main. Ketika bola dari Sakho mencapai kaki Joe Allen, sang komentator mengucapkan kata berbau sindiran, “lucky.”
Konjektur itu terbentuk dari kedekatan bola yang dilepaskan Sakho pada Michael Carrick. Namun, pada kenyataannya, sejak awal memang Carrick tidak siap untuk melakukan intersepsi. Sebaliknya, bola mencapai kaki Joe Allen yang dalam hal ini saya salahkan karena terlihat tidak memiliki itikad mengejar bola.
Kejadian di sini kembali mengingatkan saya betapa sulitnya bagi publik luar Liverpool FC untuk memahami betapa Sakho adalah seorang ball-playing defender yang memiliki kontrol dekat maupun passing range yang mumpuni.
Selain dari kalangan komentator, suporter lain tak henti-hentinya memberikan cemooh pada Sakho. Saya mengenal Gooners yang mengagumi Phillipe Coutinho. Saya mengenal anggota IndoManUtd yang menginginkan Martin Skrtel berada dalam timnya. Ada pula seorang penggemar Chelsea yang ingin menukar balik Fernando Torres dengan Daniel Sturridge. Namun tak ada yang menginginkan Sakho menjadi penghuni bangku cadangan timnya sekalipun.
Dalam lingkaran pendukung Liverpool pun, masih saja ada yang tidak mampu memahami kualitas di atas rata-rata Sakho. Ribuan kali saya mencoba meyakinkan banyak sesama fan Liverpool mengenai kualitas Sakho, ribuan kali juga saya dianggap delusional.
Tentu saja, saya tidak bisa mendebatkan kenyataan bahwa Sakho memang memiliki gaya dribble dan berjalan yang begitu kikuk, yang menurut saya mirip dengan seorang penderita waddling gait, di mana pergerakan kakinya seringkali mengayun keluar dari lintasan lurus kaki normal sehingga terlihat konyol. Namun apabila ia dapat menggunakan bola dengan sangat baik dan memiliki akurasi umpan yang luar biasa, kenapa harus benci dengan gaya berjalannya?
Apa yang membuat mereka begitu kesulitan memafhumi kualitas mantan kapten PSG ini? Sebelumnya saya pernah mengulas peran Sakho sebagai katalis kebangkitan Liverpool dalam artikel berjudul Sakho Ex Machina, sehingga sekarang yang ingin saya telusuri adalah alasan mengapa orang menutup mata dari kualitas kentara Sakho.
1.Komentator
Penghujung 2013 adalah momen di mana Mamadou Sakho memperoleh stigma kontrol bola yang buruk dari para komentator. Malam itu adalah laga antara Manchester City dan Liverpool. Turun sebagai bek tengah kiri dalam formasi 4-4-2 bersama Martin Skrtel, Sakho tampil layaknya bocah tinggi kurus yang baru belajar bermain sepatu roda. Ia terpeleset menghadapi teknik David Silva, luput saat menendang bola. Malam itu adalah bencana bagi reputasi Sakho.
Komentator seperti Gary Neville pun langsung angkat bicara mengenai performa Sakho. Dengan cepat ia menuding rendahnya kemampuan kontrol bola Sakho sebagai penyebab performa buruk malam itu. Argumen ini dengan cepat menyebar ke pikiran banyak penggemar sepakbola, sehingga nama Mamadou Sakho mulai saat itu lekat dengan kesan kikuk. Bahkan Jamie Carragher yang biasanya tak mau menyetujui ucapan Neville justru mengamini. Komentator lain ikutan ngecap. Satu hal yang mereka lupakan hari itu adalah kemungkinan bahwa Sakho pada saat itu tak mampu mengatasi tekanan menghadapi laga besar pertamanya di Inggris.
Hingga saat ini, stigma itu nyaris tak berubah.
Salah satu senjata berbahaya yang seringkali diciptakan dan dipertahankan seorang komentator sepakbola adalah argumentatum ad populum, anggapan yang dianggap benar karena banyak orang memercayainya. Semua ingin melihat Sakho sebagai si kikuk yang tak pandai mengumpan, sehingga itu menjadi ilusi yang sulit lekang dari pikiran.
Mereka seperti membutakan diri, terlepas dari segala data statistik yang menentang pendapat itu, atau kenyataan di lapangan hijau yang berkata sebaliknya. Komentator yang masih memendam kepala dalam pasir seperti burung unta itu ingin menutup diri dari kenyataan yang sebenarnya sedang terjadi.Dalam ranah ekonomi, hal ini disebut sebagai ostrich effect,dalam konteks artikel ini para komentator ingin menghindari menjilat ludah sendiri dengan cara berpura-pura bahwa bahwa dummy dan backheel pass pintar dari Sakho tidak pernah terjadi.
Memang ada tuntutan bagi seorang komentator untuk bisa disukai oleh para penonton. Namun, jangan sampai tuntutan itu merusak integritas dan menciptakan bias kognitif yang tidak sehat di antara penikmat sepakbola. Berikan kredit di mana kredit pantas berada.
2.Fans tim pesaing
Setelah mengalami cedera yang membuatnya menepi selama sekitar dua minggu, Sakho kembali ke tim inti dalam laga melawan Swansea di Liberty Stadium. Pada 10 menit pertama, Sakho membuat beberapa kesalahan positioning dan passing. Dampaknya, tawa berdesibel cukup tinggi bergemuruh dari suporter Swans. Bahkan terdengar sayup-sayup nyanyian “you’re not very good” dari tribun penonton. Setelah 15 menit, Sakho memperoleh kepercayaan diri dan menjadi salah satu penampil terbaik dari kubu merah.
Fenomena schadenfreude atau kenikmatan akan kesialan orang lain memang bukan sesuatu yang baru di sepakbola. Ada penonton netral yang tertawa ketika Mario Balotelli menangis pasca kekalahan Italia di final Euro 2012. Yang lebih ekstrim adalah saat mantan kiper timnas Jerman Robert Enke mengakhiri hidupnya di atas rel kereta api, ada suporter yang menulis bahwa ia lega seorang pengecut telah hilang.
Seringkali saya melihat suporter lain berusaha mengumbardan menjelek-jelekkan kelemahan Sakho. Mereka berusaha meneliti setiap pergerakan Sakho, menganggap bahwa ia adalah bom waktu blunder yang kapanpun siap meledak untuk kemudian diperolok. Apabila ia membuat kesalahan kecil, semua menertawakannya.
Yang saya heran adalah mengapa harus Sakho yang menjadi pariah mereka? Kecemburuan? Tidak, tidak ada suporter tim lain yang mengingini Sakho. Seingat saya, Sakho bukan pemain kotor atau kasar yang mengundang kebencian media. Ia pun sering terlibat dalam kegiatan berupa filantropi, hingga saya sangat heran jika suporter lain membencinya, lebih daripada Skrtel yang suka menarik kaos lawan atau Sturridge yang seringkali bermain egois. Kok ada yang membenci sakhawat Sakho?
Ataukah mereka hanya menikmati momen-momen saat Sakho masih terlihat seperti rusa di atas danau es, dan berharap momen itu terjadi kembali?
Menurut filsuf Arthur Schopenhauer, merasakan kecemburuan adalah sesuatu yang manusiawi, tetapi menikmati schadenfreude adalah bengis.
3.Kopites
Saya terhenyak ketika mendengarkan pendapat seorang teman saya mengenai peristiwa 27 April 2014 yang dikenal fans pesaing sebagai “Slippy G Day”. Ia menyalahkan Mamadou Sakho karena memberi bola kepada Steven Gerrard yang tidak siap. Ini adalah sebuah ignoratio elenchi, argumen dengan dasar tak relevan, yang didasarkan keinginan mencari kambing hitam kekalahan.
Kejadian serupa terjadi pada pertandingan empat hari sebelumnya di Anfield saat Juan Mata berdiri bebas di sebelah kiri Sakho untuk menerima umpan Ander Herrera. Semua orang menyalahkan penempatan diri Sakho. Mari kita telisik lagi kejadian sebenarnya. Martin Skrtel, yang bekerja sebagai seorang sweeper dalam formasi tiga bek, memilik untuk melebar, meninggalkan ruang kosong di depan Mignolet. Mungkin ia berpikir untuk melebarkan formasi pertahanan untuk menciptakan skema 4 bek. Tentu saja Sakho harus menutup area yang ditinggalkan Skrtel. Permasalahannya adalah Alberto Moreno terlambat turun, sehingga titik kiri pertahanan Liverpool terekspos oleh Mata.
Dwight Eisenhower pernah berkata bahwa perburuan paling mudah adalah mencari scapegoat (kambing hitam dalam bahasa Indonesia). Apabila kita tidak ingin memperhatikan permainan dengan seksama, mudah saja bagi kita menemukan sasaran damprat yang salah. Bahayanya, hal ini dapat mengalihkan kita dari pemahaman yang benar mengenai masalah sebenarnya dalam tim.
Bukan tak mungkin, di masa depan Sakho akan terus disalahkan apabila double pivot Henderson-Allen tidak memberikan bantuan penyaringan pertahanan yang baik. Suatu saat, ia mungkin juga akan disalahkan apabila Sturridge mengalami puasa gol.
Sakho adalah seorang unit pertahanan yang unik, seorang manifestasi contradictio in terminis. Ada banyak kata yang bisa digunakan untuk menggambarkan cara bermainnya yang unik. Mungkin komentator suka memanggilnya “clumsy”, tetapi saya suka menyebutnya “clumsy ball-playing defender” atau bek kikuk penggring bola. Fans sebelah mungkin menganggapnya sebagai sebuah “chaos” dalampertahanan, tapi saya bilang “methodical chaos”. Yang masih menganggapnya sebagai seorang “nervous player”, akan saya sebut Sakho sebagai “nimble nervous player”. Saya mencintai segala absurditas dalam gaya bermain Mamadou Sakho.
Akhir kata, saya lega Sakho sepertinya tidak pernah menggubris kritik tak berdasar itu, walau mungkin dirinya sendiri adalah seorang self-critic sehingga ia dapat terus berkembang sebagai pemain. Sepertinya ia memiliki prinsip yang sama dengan seorang penyair kenamaan bernama John Keats yang sama seperti Sakho, tidak dimengerti oleh banyak orang pada zamannya. John Keats pernah berkata : Blame has but a momentary effect on the man whose love of beauty in the abstract makes him a severe critic on his own works.
Apabila Keats memiliki keindahan dalam abstraksi karyanya, maka Sakho memiliki keindahan dalam absurditas gaya permainannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H