Suatu hari, Putri Surati ingin pergi ke pesta kerajaan tetangga. Dia mengenakan baju yang megah dengan aksesoris yang melekat sekujur tubuhnya. Anting emas, kalung berlian, hingga cincin permata ia gunakan. Wajahnya yang rupawan membuatnya tampil eksotik bagai seorang putri yang bersinar di dunia kala itu. Ia sudah mempersiapkan semuanya hingga matang. Ia berjalan hingga sampai ke depan pintu gerbang.
“Maaf tuan putri, hamba lancang menghalangi perjalanan anda.” Kata seorang pengemis berwajah suram dan pakaian compang-camping.
“Apa maksud anda menghambat kedataganku, wahai tuan?” kata Surati dengan lembut.
Seketika itu pengemis mentengadahkan wajahnya ke depan wajah Putri Surati. Sang putri keheranan seperti pernah mengenali sosok lelaki ini. Sambil mengingat-ingat wajahnya, ia gelisah. Lalu ia teringat pada sosok kakaknya, Rupaksa.
“Kakanda Rupaksa. Apakah itu engkau? Tanyanya dengan bimbang.
“Iya betul sekali dinda. Aku Rupaksa.” Jawabnya dengan tegas.
Ia terharu bercampur senang dapat bertemu dengan kakaknya lagi. Mereka berpelukan dan jatuh seketika air mata Surati yang tulus atas kecintaanya. Ia mempersilahkan kakaknya untuk masuk ke dalam Istana.
“Tidak Surati. Aku datang disini bukan untuk bertamu kepada bajingan Blambangan itu. Aku ingin membalas dendam semua apa yang telah dia lakukan terhadap kita.” Katanya.
“Kanda, masalah yang lalu biarlah usai. Kita bisa hidup damai lagi seperti dulu. Bukankah itu adalah hal yang baik jika kita memaafkan sesama yang lain? Jawabnya.
Tak pikir lama, Rupaksa segera pergi dari depan gerbang Istana ini agar tidak ketahuan oleh Raja Blambangan tersebut. Ia menitipkan sesuatu kepada adiknya itu.
“Apa ini kanda? Keris? Untuk apa?” Tanyanya.