Hari ini aku mudik. Udah kangen banget sama ibu, bapak dan mbah kakung yang setiap hari nanyain kenapa cucu kesayangannya ini nggak pernah pulang. Bukannya nggak mau pulang, tapi males kalo harus ketemu sama sodara, temen, dan tetangga yang kadang basa-basinya kaya nguji skripsi, detail banget.
"Mas Angga masih kuliah, Mas?"
"Lah, Mas Angga bukannya temennya Joni? Joni udah punya anak loh, Mas?" dih, ya terus aku harus ngapaian, Buk?! Punya anak bukanlah keajaiban dunia, Tolong!!
Secuplik pertanyaan tetangga yang sempat diajukan di warung Mak Wat. Tak hanya itu, skill basa-basi lain yang membuat bulu kuduk merinding adalah soal pernikahan.
"Mas Angga umurnya udah berapa bu?" Tiada angin, tiada hujan, tetiba seorang ibu-ibu berjambul menodong ibuku dengan pertanyaan tak penting.
"Umurnya baru 26, Bu." Ibuku yang cantik dan bersahaja menjawab pertanyaan itu dengan tenang.
"Loh, Bu, umur 26 itu harusnya udah nikah loh, Bu!, udah ada calon atau belum?" Astaga, undang-undang mana yang bikin patokan nikah umur 26 tahun! Sungguh kreatifitas tanpa batas ibu-ibu ini.
Seketika, acara yang awalnya hanya yasinan, arisan, reunian, bahkan sekedar kunjung-kunjungan hari raya jadi ajang perjodohan. Ya, menjodohkanku dengan anak-anak mereka.
#
Tidak ada yang spesial dariku. Aku hanya lelaki pekerja kantor yang pergi pagi pulang malam. Pagi-pagi memilih sarapan bubur ayam di dekat kantor karena jarak tempuh lumayan dekat. Siang-siang memilih makan sari roti dan susu cimory dingin dari indomaret sebelah, sore nyari nasi goreng atau batagor di pinggir jalan. Dan malam tinggal tidur. Hariku berputar dengan rutinitas yang bisa ditebak. Lelah? Iya, pasti. Bukan hanya lelah, tapi bosan. Merasa loneliness, emptiness, dan homeless. Meski aku sudah punya rumah kecil untuk ditinggali, tapi hidup sendiri adalah siksaan. Pulang, tidak seperti pulang. Tidak ada yang dituju.
Rumahku tidak seperti rumah pada umumnya. Aku membelinya dengan harga yang cukup mahal untuk ukuran rumah sempit dengan dua lantai. Bahkan saat ibu dan bapak berkunjung, beliau tidak percaya ada rumah sekecil itu. Tapi itu adalah hal biasa di perkotaan. Rumahku sangat kosong. Hampir tidak ada apapun kecuali bangunan itu sendiri. Aku terbiasa tidur dengan kasur tipis yang bisa dilipat saat selesai digunakan. Aku juga tidak memiliki baju banyak karena lebih suka menumpuknya di tukang laundry. Begitu pun memasak. Sama sekali tidak pernah memasak dan memang tidak bisa. Aku takut gas LPG meledak dan meruntuhkan rumahku.