Mohon tunggu...
Rosyida Putri Amila
Rosyida Putri Amila Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Seorang Lethologica

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Mbah, Aku Pulang

4 Mei 2022   19:16 Diperbarui: 4 Mei 2022   19:18 523
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini kuputuskan datang ke rumahnya, setelah sekian lama tidak pernah mengunjungi. Belum sampai aku menginjak rumput depan rumah, perlahan, terlihat ia dengan kursi rodanya merambat menuju ke arahku, dan menyambutku seperti biasa. Ya, seperti tahun-tahun sebelumnya, Ia akan memanggil-manggilku girang dan segera menyuruhku masuk ke rumah.

Rumah yang penuh dengan kenangan. Gorden bermotif burung belibis warna merah bata, kursi anyaman bambu yang keras dan bau debu serta lembab khas rumah joglo tua. Suasananya persis seperti aku pertama kali datang.

Ia memutar besi di kursi rodanya dan menuju dalam rumah. Tak kubiarkan ia menjalankan kursi itu sendirian, dengan perasaan iba, aku membantunya masuk rumah. Ia menawariku teh dan menyuruhku menyeduhnya sendiri.

Aneh, dia tidak pernah berubah. Mungkin Tuhan menjadikannya abadi dengan tampilan seperti itu. Senyum lemah yang masih sama, suara yang khas, dan sedikit batuk ringan. Aku menangkap cahaya Bahagia yang mulai redup dari wajahnya. Dia tidak sakit, hanya saja kaki yang terlalu lemah, sering membuat ia kesusahan berpindah tanpa bantuan kursi roda.

Bercerita ngalor-ngidul adalah kebiasaan buruknya, tapi aku suka. Meskipun kadang aku tidak paham karena ceritanya loncat-loncat, dia tiba-tiba menangis dan kadang tiba-tiba di tengah cerita aku mendengar dengkurannya karena tidur. 

Aneh memang, tapi aku tetap menyayanginya. Aku dengan senang hati membawakan kripik kentang kesukaannya supaya dia tahan bercerita panjang lebar, meskipun aku tidak yakin apakah cerita itu benar-benar nyata ataukah hanya imaginasi belaka.

Ada satu cerita yang selalu aku kenang darinya, itu tentang suaminya. Ya, suaminya seorang pejuang kemerdekaan dan meninggal ketika jepang menyuruh seluruh laki-laki dewasa pergi ke pantai selatan, entah apa yang mereka perbuat pada suaminya. Hingga pulang-pulang saat terkena sakit paru-paru kronis dan meninggal beberapa waktu kemudian. Ia tidak pernah mengeluh, mengurus lima anak dengan segala kasih sayang.

Yang aku tatap saat ini bukanlah dia yang dulu kuat menggendongku kesana-kemari ketika aku tiba-tiba menangis. Bukan pula yang selalu mendongengkanku cerita rakyat agar aku tidur. Kini Kulitnya semakin keriput, ketika ia menahan lenganku, kurasakan genggamannya melemah. 

Air mukanya tidak lagi seceria dulu, sekarang lebih sering terlihat diam dan kosong. Beberapa kali kupeluk tubuh ringkihnya, ia tidak memberikan respon selain menaruh kepalanya di pundakku. 

Sesekali aku menggodanya, dengan bertanya, "Aku siapa?" ingatannya sering hilang timbul. Ia bahkan kadang tidak ingat nama lengkapnya sendiri. Ia menjadi anak kecil di usianya yang renta. Aku suka itu. Aku seperti memiliki bayi yang selalu kurindukan ketika pulang ke rumah. Rumah tua penuh hal mistis dan keheningan yang luar biasa.

Ramadhan ini berbeda begitupun dengan hari raya yang akan datang beberapa hari lagi. Tidak akan ada panggilan berulang-ulang yang memaksaku datang kepadanya. Tidak ada suapan-suapan pagi yang kulakukan untuk menghibur perutnya yang keroncongan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun