Berbagai gejala yang mengindikasikan intoleransi dan radikalisme masih saja terjadi di tengah kehidupan masyarakat kita. Sikap intoleran terhadap antar agama, bahkan kelompok-kelompok yang notabennya se-agama, jihad yang mengatasnamakan islam radikal, terorisme, penyerangan dan pengusiran terhadap kelompok minoritas, pelarangan kegiatan keagamaan, dan pembakaran buku adalah sebagian bentuk intoleransi dan radikalisme itu. Indonesia masih menyimpan potensi intoleransi dan radikalisme, sebagian dari itu sudah terjadi meski hanya di beberapa daerah, sebagian besarnya bukan tak mungkin akan muncul ke permukaan secara masif di waktu yang akan datang, jika tidak ditangani secara sungguh-sungguh.
Terungkap pula bahwa, ada indikasi penyebaran paham-paham intoleran di kalangan siswa sekolah menengah umum dan perguruan tinggi negeri, yang menyamarkan gerakan mereka sebagai kelompok studi yang mendorong pemurnian-agama.
Perlakuan diskriminatif dan intoleran terhadap kelompok minoritas, seperti penyerangan dan pengusiran terhadap jemaat Ahmadiyah dan Syiah, berlangsung di beberapa daerah.Â
Kejadian seperti itu bukan tidak mungkin akan terjadi lagi, mengingat penyebab perlakuan itu belum hilang. Penolakan terhadap kelompok minoritas itu masih kuat dan secara eksplisit dikemukakan. Satu kelompok menganggap kelompok merekalah yang paling benar dan kuat, dan kelompok lain salah, kafir dan wajib dibunuh. Berhentinya gejala penyerangan dan pengusiran bisa jadi hanya bersifat sementara, selama keinginan kelompok mayoritas dituruti dan kelompok minoritas menerima opresi yang ditujukan kepada mereka. Potensi terjadi perilaku diskriminatif dan intoleran masih besar terdapat di beberapa wilayah Indonesia.
Tasawuf yang dianggap sebagai cara berislam alternatif di era kontemporer dan kosmopolitan. Karena itu Habib Luthfi bin Yahya pernah menyatakan bahwa dengan munculnya pertikaian di berbagai belahan dunia seperti terorisme, radikalisme, perang dan saling hujat, maka satu-satunya jalan yang bisa membersihkan hati, meluruskan niat, memperbaiki pola pikir di setiap negara adalah tasawuf. Karena tasawuf mengandung nilai-nilai universal yang berhasil dipadukan dengan komitmen pada norma-norma partikular.
Habib sangat konsern terhadap dunia tasawuf, nasionalisme, dan perdamaian, karena menurutnya, tasawuf mengajarkan pembersihan hati (tazkiyatul qulub). Jika hati manusia bersih, maka hal-hal yang selalu menghalangi hubungan manusia kepada Allah itu akan sirna dengan sendirinya. Sehingga manusia akan senantiasa mengingat Allah dan bertajalli dengan sifat kasih sayangNya kepada seluruh alam semesta.
Habib Luthfi dengan kesan nasionalis dan moderat sangat kuat sehingga beliau juga sangat menghormati kepelbagaian agama. Dalam menyatukan umat beragama, Habib Luthfi memiliki pandangan bahwa yang perlu dilakukan pertama adalah tidak berbicara tentang agama atau teologi, karena agama adalah sebuah keyakinan individu yang tidak bisa diganggu-gugat atau diperdebatkan. Menghargai keyakinan individu sebagai landasan untuk melakukan dialog.Â
Menurut Habib Luthfi, jika memperdebatkan keyakinan akan menghabiskan waktu, sedangkan banyak hal yang bisa dilakukan bersama. Sebagai juru damai bisa dilakukan tidak melalui agama, walau manusia merupakan amaliah (buah dari ajaran agama). Habib Luthfi melihat bahwa tiap agama pasti mengajarkan tentang perdamaian, dan kalau manusia bisa mengamalkan ajarannya maka dunia aman.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H