Oleh: Rosyidah Purwo*)
Di suatu sore dengan hujan rintik-rintik. Adik perempuan saya baru saja pulang dari menjenguk saudara yang konon ceritanya menderita sakit usus buntu. Karena harus dioperasi, maka saudara saya ini harus menginap di rumah sakit selama kurang lebih satu minggu lamanya.
Di sore hari dengan hujan rintik-rintik itu, saya dan suami sedang asyik menikmati teh manis hangat dan mendoan (makanan khas Banyumas) buatan saya. Memang, sore hari dengan hujan rintik-rintik lebih cocok jika dibuat untuk ngemil, apalagi di daerah pegunungan yang cukup dingin seperti tempat saya tinggal sekarang, teh hangat dan mendoan sepertinya adalah menu yang pas buat menemani duduk santai.
Dalam acara santai dan menyenangkan itu adik saya yang sedang asyik melakukan kegiatan rutinnya, menyetrika baju, tiba-tiba terkikik sendirian. Saya dan suami yang tengah asyik menikmati cemilan dan nonton TV kaget. Lalu saya bertanya, “ada apa, Dik?” tanya saya sedikit heran dan penasaran.
“Itu, Teh (sapaan Adik saya kepada saya), saya dapat cerita lucu banget” katanya sambil setengah tertawa, sambil mata dan tangannya sibuk menata baju-baju, “tadi siang saya menjenguk Wa (sapaan kepada Bu Dhe dan Pak Dhe di daerah Banyumas), “terus di sebelah kamar Wa, ada pasien nenek-nenek yang sudah agak tua”. Begitu ceritanya sambil terus asyik menyetrika dan menata baju-baju.
Menurut cerita adik saya, nenek-nenek ini sudah kurang pendengarannya. Pada saat jam diperiksa dokter, nenek ini diminta memasukan satu tablet kapsul ke dalam dubur. Karena entah sakit apa sehingga ia diminta untuk memasukkan obat melalui dubur. Bukan melalui mulut.
Seperti diketahui oleh kebanyakan orang, semua obat berbentuk tablet, pasti dimasukan melalui mulut. Namun karena sakit yang diderita oleh si nenek tua ini agak berbeda dari sakit-sakit yang biasa diderita oleh orang-orang yang memasukan obat tabletnya melalui mulut, maka nenek ini diminta memasukannya melalui dubur.
“Bu, nanti obat ini dimasukkan ke dubur ya...” kata dokter memberi saran pada pasien nenek tersebut, “setengah jam lagi saya kesini lagi” kata dokter. Setelah memberikan obat itu, dokter pergi meninggalkannya dan berpindah pada pasien lain.
30 menit berlalu. Dalam kurun waktu tersebut nenek-nenek ini dilanda bingung yang luar biasa. “Eh, kae mau doktere ngomong dubur maksude apa ya? (tadi pak Dokter ngomong dubur maksudnya apa? Tanya nenek tua pada teman di sebelahnya. Kebetulan teman yang ditanya juga sama-sama seorang nenek tua yang sepertinya kurang berpengalaman. Terbukti dengan jawabanya yang luar biasa polos dan lugu. “Oh, kae mau maksude bubur. Obate kon de maem nganggo bubur” (maksudnya bubur. Obatnya diminum pakai bubur).
Si nenek yang menerima obat tablet kapsul makin bingung karena di bangsalnya tidak ada bubur dan menu makan siangnya juga bukan bubur melainkan nasi lembek dengan sayur bening dan tahu yang dikukus serta telur rebus. “La, deneng aku ora dewei bubur? (mengapa saya tidak dikasih bubur?), imbuhnya bingung.
“Ya aja dinum disit mbok salah. Apa mengko bar dzuhur ndean? (jangan diminum dulu, barangkali salah. Mungkin diminta diminum setelah dzuhur). Timpal pasien lain yang tak lain juga seorang nenek-nenek. Setelah itu tiga nenek-nenek itu sepakat membiarkan obat tergeletak dipiring obat milik nenek tua.
30 menit berlalu. Dokter memeriksa pasien nenek-nenek tersebut. Betapa kaget dan gemasnya si dokter melihat obat masih tergeletak utuh di meja. “Mengapa obatnya masih utuh?” tanya dokter sedikit gemas. “Ngapunten pak Dokter, wau niku maksude napa? Dubur niku napa?” (maaf, pak Dokter, dubur itu artinya apa?) tanya pasien polos.
Tentu saja dokter itu menjadi tertawa melihat kepolosan si pasien. Sambil menghela nafas dalam, dokter menjawab, “dubur niku silit. Obate lebokna silit, Bu...” (dubur itu silit. Obatnya dimasukan ke silit, Bu). Silit adalah bahasa ngoko daerah Banyumas untuk mengistilahkan dubur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H