Kajian tentang kejiwaan sebenarnya telah ada di dunia Islam, misalnya Ilmul Nafs dan Tibbul Nafs. Model diri dan penerapannya pada penyakit mental sudah dikembangkan di dunia Islam pada ke-11 oleh Al-Kindi.
 Ilmul Nafs (psikologi) diajarkan di Universitas Nishapur pada abad ke-14 dan Tibbul Nafs (psikologi klinis dan psikiatri) pada abad ke-15.Â
Psikologi Islam pada dasarnya bersifat holistik yang memandang diri manusia sebagai kesatuan komponen dan fungsi yang terdiri dari batiniah (qalb atau batin), akal (aql) dan nafsu bawah (nafs amara), serta badan.Â
Semua komponen tersebut dipandang berfungsi dengan baik dalam hubungan dinamis hierarkis. Psikologi Islam memiliki persepsi yang sama dengan Jung mengenai ketidaksadaran (unconcsious) yang ada dalam diri manusia. Hal ini mengarah kepada tujuan dasar terapi yaitu membuka akses ke bagian diri yang ketika itu tertutup atau terlepas dari kesadaran.Â
Kondisi tubuh dianggap memiliki hubungan yang kuat dengan dorongan yang ada dalam diri. Diagnosis diarahkan untuk menunjukkan dengan tepat tingkat dalam diri yang menjadi munculnya penyakit.
Secara umum, penyakit mental yang muncul disebabkan oleh dinamika diri yang mengalir ke arah yang salah, atau melalui disosiasi dalam diri, terutama dari pusat batin. Untuk menyembuhkan penyakit mental maka perlu memeriksa diri baik dari segi biologis maupun dari pusat batin. Berbeda dengan paradigma Barat, dalam tradisi Islam tidak ada pemisahan antara tubuh dan pikiran, pikiran dan jiwa (Skinner, An Islamic approach to psychology and mental health, 2010).
Jika dipandang dari sisi biologis, penyakit mental dilihat sebagai akibat dari ketidakseimbangan dalam tubuh, pengobatannya baik fisik maupun psikologis ditujukan untuk memperbaiki ketidakseimbangan ini dan memulihkan stabilitas homeostatis. Penekanannya adalah pada mengenali dan mengoreksi penyebab sekunder (penyebab langsung dari suatu peyakit).Â
Sedangkan jika dipandang dari sisi jiwa atau pusat batin, ketika jiwa berada di akhir spiritual, maka akan semakin banyak perubahan dan ketidakstabilan dari diri yang akhirnya menjadi masalah.Â
Yang sangat penting dalam dinamika psikologis yang mendasari Islam adalah perubahan dari diri yang dikendalikan oleh nafs amara ke rasa penyesalan (nafs lawwama) yang dilihat sebagai bagian dari perjalanan kembali dimana batin menjadi tempat untuk kesadaran.Â
Sebagai contoh, seperti yang disampaikan oleh Al-Ghazali, ketika seseorang menutup diri dari hal-hal duniawi dan tampak depresi, dokter mungkin akan mendiagnosa bahwa itu merupakan sebuah kasus yang harus diberikan resep obat.Â
Namun, dari sudut pandang Islam sebagaimana yang diungkapkan Al-Ghazali, hal tersebut merupakan kondisi yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa agar ia tidak terlena dengan hal duniawi semata dan kembali mengingat Penciptanya (Skinner, An Islamic approach to psychology and mental health, 2010).