Esensi Hermeneutika Al-Qur’an
Esensi hermeneutika al-Qur’an adalah bagaimana sebuah teks di masa lalu dipahami oleh orang-orang sekarang supaya al-Qur’an mempunyai relevansi/ salihun li kulli zaman/kompatibel/sesuai dengan perkembangan zaman, jadi kerja hermenetik yang paling esensial adalah bagaimana makna-makna al-Qur’an atau penjelasan-penjelasan al-Qur’an supaya memiliki kontekstualitas di era kekinian, sehingga ada trilogi istilah yaitu teks, konteks, dan kontekstualisasi. Contoh: ayat tentang perbudakan apabila dimaknai secara harfiah serta tidak mencoba menghubungkan konteks turunnya ayat dan tidak memahami maqasid ayat tersebut, maka akan ada satu kesimpulan yang melegitimasi praktik perbudakan. Pada surat al-Nisa/4: 4
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ……….الخ
Kalau ayat ini dipahami tanpa kesadaran hermeneutik, keseimpulannya al-Qur’an memperbolehkan perbudakan. Disisi lainkita tidak mengatakan bahwa al-Qur’an tidak mengikuti perkembangan zaman, maka harus ada consiunes (adanya kesadaran baru ketika al-Qur’an turun itu juga merespon zamannya). Pada saat al-Qur’an turun perbudakan masih demikian masif, kemudian al-Qur’an merespom pada saat itu perbudakan sebagai patner seksual tanpa harus menikahi. Tetapi tidak kemudian, semangat yang diusung oleh al-Qur’an tidak berhenti sampai disini, para ulama “tidak mungkin sistem perbudakan dihapus.” Karena manhaj atau metode yang ditempuh al-Qur’an di dalam menata masyarakat menggunakan manhaj tathowwur atau step by stem atau graduasi. Sehingga kalau kita menangkap seluruh pesan al-Qur’an, ide yang diinginkan al-Qur’an adalah dehumanisasi atau menghapus perbudakan. Dalam ayat عتق رقبة مؤمنة (memerdekakan budak mukmin), pada saat itu belum dapat dieksekusi secara langsung. Sama halnya dengan proses pengharaman khamr.
Bisa dilihat ketika al-Qur’an berbicara mengenai hukuman atau kafarat-kafarat pasti ada redaksi عتق رقبة مؤمنة (memerdekakan budak). Banyak kesadaran diantara umat islam yang mendorong untuk membebaskan perbudakan. Maka dari sini bisa kita ambil ada teks dan konteks yang ditangkap semangatnya bukan makna harfiyahnya.
Analogi sederhana: ketika ada seorang santri yang tidak ikut mengaji dalam kondisi emergency atau hujan deras, pada bulan lalu pak Kyai mengatakan “tidak apa-apa”. Kata “tidak apa-apa” lantas jangan dimaknai bahwa tidak mengaji tidak apa-apa, harus ada konteksnya, maka maqasid yang harus ditangkap adalag tetap mengaji, tapi emergency ada kebolehan tidak mengaji karena ada halangan.
Sama halnya dengan sistem perbudakan yang secara tasyri’ tidak secara tiba-tiba, adanya proses sosialisasi selama 23 tahun, ending yang dituju adalah عتق رقبة / فَكُّ رَقَبَةٍ, maka akhir surat dari al-Qur’an adalah surat an-Nas ketika al-Qur’an diturunkan untuk membela nilai-nilai kemanusiaan, sehingga ketika ada ayat-ayat yang partikular atau katualistik yang tidak tampak pada nilai-nilai kemanusiaan, maka harus dibawa pada semangat kemanusiaan (dehumanisasi).
Contoh lain: وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ bila dimaknai secara harfiyah maka makna yang dapat adalah kebolehan memukul istri, padahal diayat yang lain esensi وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ terlupakan.
Didalam tradisi ulumul qur’an, ada elemen-elemen hermenetik sudah ada di dalamnya, seperti teori sababun nuzul (termasuk kesadaran konteks) bahwa ayat-ayat yang turun tidak dalam vacuum cultural, teori makki-madani (adanya keasadaran geografis di negara tersebut), begitu juga di dalam hadist kita mengenal istilah asbabul wurud, sehingga istilah hermenetik tidak harus alergi karena sebagian elemen-elemennya sudah dikenalkan oleh ulama terdahulu.
Jangan sampai anda menolak bedak tapi memakai pupur
Jadi, esensi hermenetik itu sebenarnya yang dikritik adalah penafsirannya, sedangkan ayat al-Qur’annya harus didudukkan sebagai kalam yang otentik.