Mohon tunggu...
rosida suhaimi
rosida suhaimi Mohon Tunggu... -

امرأة صالحة إن شاء الله...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kanker Juga Makhluk Allah

17 Januari 2012   16:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:45 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Judul : Kanker juga Makhluk Allah
Gemerisik daun sayup tidak terhiraukan, sembari bersama canda tawa. Masing-masing kami saling memendam duka. pun semua itu, tak juga mampu mengusik kerinduanku kepada orang tua. Suasana yang begitu mencekam di dalam ruangan rumah sakit bersama mereka yang berjuang dalam penyakit yang merenggut separuh masa depan mereka.
Ada kalanya di antara pasien-pasien itu berteriak-teriak, mengaduh-ngaduh, menyumpah-nyumpah, dan terasa dekatnya ajal menjemput mereka. Ada juga yang berusaha memuaskan batuknya, membiarkan dadanya terguncang, seluruh tubuhnya terhempas, nyaris terbayang jantungnya copot akibat batuknya yang mengguncangkan tubuhnya. Dan pasien-pasien lain ada yang perutnya buncit, leher bengkak, kaki buruk, segala macam penyakit mengerikan terkumpul di ruangan zaal ini.Dan pamanku sendiri salah satu pasien dengan sosok tengkorak akibat beberapa kali kemoterapi kanker nashoparing yang dideritanya. hasil dari kemo itu paman terlihat lebih parah.
Seorang laki-laki dengan umur sudah mencapai 40 tahun lebih, laki-laki itu belum juga berkeluarga. Perjuangan hidupnya dari masa muda mengejar materi kehidupan tak kunjung juga selesai. Masa mudanya dia habiskan untuk mengejar dan mengejar. Namun ketika masa muda pergi menghilang bersama mimpi-mimpinya dan meninggalkan penderitaan-penderitaan baru, laki-laki itu pun menjadi pecundang, penyakitlah yang setia padanya ketika semua meninggalkannya. Itulah gambaran untuk pamanku yang sekarang terbaring, penyakit itu membuatnya seakan tertarik. Mata,hidung dan mulutnya terlihat lebih menonjol karena daging yang berada di bawah kulitnya telah terisap kurus badannya. Hanya tengkorak yang terbungkus kulit tipis.
Paman laki-laki yang terjebak dalam tubuh yang berpenyakit, tubuhnya begitu kecil dan seluruh tulangnya kini dari segi manapun selalu terlihat menonjol. Namun dia tidak pernah mengeluh atas penyakitnya tersebut, dialah yang memperingatkan kami keluarganya bahwa penyakit yang dideritanya itu ujian baginya dan bagi keluarga yang merawatnya. Kulihat beberapa kali mata paman berlinang dan terlihat dia pun meratapi malang nasibnya. Aku menduga bukan hanya penyakit itu yang membuatnya murung tapi murungnya itu lebih kepada malangnya nasibnya hingga berakhir dalam balutan menyakit yang mencekik umurnya. Kami semua sadar bahwa penyakit paman ini sangat parah dan kemungkinan sisa umur paman semakin jelas akan berakhir. Namun jiwa pamanku sekuat baja dan seteguh karang, dial ah yang menyemangati kami atas penyakitnya itu walaupun semakin hari penyakit itu semakin mengganas.
Pamanku yang malang, namun jiwanya tak rapuh saat penyakit semakin mengikis sisa kekuatannya. Sebenarnya ada hal yang kurasa tidak sesuai, entahlah apa karena aku yang berfikir dangkal atau ini salah satu rahasia tuhan untuk sebuah ujian yang hampir mematikan kesadaran kami?
Paman menjadi lebih sering kejang, terkadang sangat panas, terkadang sangat dingin sampai dia memintaku menindihinya, Pamanku bersidekap dalam selimut tebal alas tidur kami. Aku kalang kabut dan memanggil-manggil suster yang ada di ruangan. Dokter segera datang. Paman diberi sinar lampu untuk menstabilkan temperatur tubuhnya. Aku masih ingat bagaimana tubuhnya gemetaran menggigil dan gemeletuk giginya tak dapat ditahannya. Akhirnya pamanku tetap bertahan. Aku bertanya-tanya kepada dokter kenapa kejadian seperti itu sering terjadi, aku menduga-duga ini efek obat yang diberikan kepadanya yang berdosis tinggi. Dokter yang cantik itu hanya menatapku yang begitu lugu. Dia mengajakku untuk bicara di ruangannya.
Sesampai di ruangan yang begitu berantakan dengan catatan-catatan seluruh pasiennya, dokter itu menyuruhku duduk dan menatapku manis. Seakan mengerti dan tahu lugunya gadis kecil di depannya ini. Tapi dia menyebutku mbak, aku sedikit sungkan juga.
“mbak Rini, kami sangat minta maaf , mungkin mbak sangat tidak puas dengan pelayanan kami di rumah sakit ini”
Aku diam dan menatapnya santun, padahal hatiku begitu malu dengan keadaanku yang mengharukan. Nanti akan kuceritakan bagaimana memalukannya diriku saat itu.
“Mbak Rini, faham ga seberapa ganasnya kanker paman mbak itu?”
“kemarin perawat sedikit bercerita kanker beliau itu sudah mengakar sampai ke organ tubuh beliau yang lain, setahu saya itu dok”
Aku berbicara dengan sangat berhati-hati karena di samping dokter sudah tau statusku sebagai mahasiswa, juga karena pengaruh dari sebutannya terhadapku yaitu seorang gadis berumur 20 tahun yang terjebak dalam tubuh yang begitu mungil “mbak”.
“Gini mbak Rini, penyakit paman mbak itu udah sangat parah, kami ga bisa memberikan pertolongan lebih karena usaha kami hanya sebatas memberikan obat-obat untuk keluhan-keluhan beliau. Untuk kanker itu sendiri kami hanya bisa membiarkannya dan memberikan vaksinasi untuk memperlambat perkembangannya. Sekali lagi kami mohon pengertian dari mbak.”
Aku memberanikan diri menatap mata dokter ini,
“sebenarnya saya paham aja dok, saya tau kesempatan paman bertahan sangat sedikit, saya tau juga usaha rumah sakit hanya sekedar merawat dan ga bisa berbuat lebih lagi, sebenarnya kemo itu pun sangat berakhir fatal bagi paman saya, bagi ketahanan tubuh beliau, tapi satu yang kami harapkan dari dokter dan pihak rumah sakit yang lain dok.”
Aku lebih memfokuskan arah tatapanku ke matanya, artinya aku bersungguh-sungguh wahai dokter. Dokter pun lebih tajam lagi menatapku yang artinya, silahkan ungkapkan saja..
“Tolong jangan perparah keadaan kami dengan kesembuhan semu…”
Aku sendiri terkejut dengan perkataanku barusan. Terkesan ga nyambung.
“Maksud mbak?”
“paman saya sendiri lebih tahu dok seberapa ganas penyakit beliau, beliau lebih tahu dan lebih tahu seberapa banyak kesempatan yang beliau punya. Beliau bisa mengukurnya sendiri, Yang bisa kita sama-sama lakukan adalah berusaha sekuat dan semaksimal mungkin dengan tidak mematahkan semangat beliau untuk sembuh, lihat positifnya dok, beliau tetap berjuang, walau fisik beliau saja sudah menyerah, tapi jiwa beliau tak ubahnya seteguh karang. Semua orang ingin bertahan hidup dok.”
Entahlah, aku mengujari dokter yang bertampang India ini dengan kata-kata yang aneh dan angkuh dengan keyakinannya.
“kami tak bilang kami putus asa, kami hanya ingin mbak tahu, seginilah usaha kami, jangan berharap lebih, karena kami lihat mbak antusias dan sering mengomentari pelayanan di sini, jadi kami tak ingin mbak kecewa dengan berharap lebih, ingat lo mbak, pelayanan ini pun sudah gratis.”
“Maaf dok kalo kesan sikap saya seperti itu, saya sangat paham.. maafkan saya…”
Setelah obrolan itu, aku pamit kembali ke ruangan paman dengan hati yang sedikit mengutuki diri, merasa sangat malu dan memalukan. Dokter itu mungkin berpikir berani-beraninya aku mengomentari pelayanan di sini, sebenarnya bukan itu, ada hal yang tak mampu ku sampaikan di depan dokter tadi, Kesembuhan semu, aku memutar otakku untuk dua kata itu, ah, bingung… tak mampu kujelaskan dengan kata saat itu, sungguh aku sendiri berat memahaminya.
Setiap kulihat lagi keadaan paman, pamanku yang malang… kanker itu menimbulkan benjolan sebesar telur puyuh di samping kanan leher beliau, kanker itu sangat dekat dengan urat nadi penyambung nyawa beliau. Aku pernah menghayal kanker itu bersandiwara dengan si nyawa, semacam menipu daya… pernah juga aku berdialog dengan kanker tersebut, ah kanker, aku mengusap benjolan kanker itu,, sambil ku berbisik…
“Kau juga makhluk tuhan kanker, sekarang kau berada di tempat yang menyakitkan hamba Allah yang lain…hadirmu sangat dibenci, wahai makhluk yang ganas,,, luluhlah… luluhlah, bukankah kau juga makhluk Allah yang tidak ingin menyakiti makhluk Allah yang lain… sungguh demi Allah Tuhan Semesta Alam yang menciptakan aku, dirimu, pamanku dan seluruh makhluk yang lain…. Luluhlah,, hilanglah,,, pergilah,,, enyahlah,,, lenyaplah dan biarkan hamba tuhanmu ini mempertahankan hidupnya..”
Aku berbisik kepada kanker itu, tapi hatiku lebih didominasi keraguan, ketakutan… aku berhalusinasi kanker itu berubah menjadi monster yang ingin memangsaku… aku ragu saat itu… dan takut. Makhluk itu kecil namun sungguh ganas… na’udzubillah min dzalik..
Sebenarnya aku juga sering berdoa “Allah begitu mudahnya bagimu untuk melumpuhkan kanker paman itu ya Allah. Sekejap tak perlu banyak alat seperti mereka maka ya Allah dengan kuasamu.. enyahkanlah makhlukmu yang bernama kanker itu dari tubuh paman..” kira-kira seperti itulah doaku kesekian kalinya, aku ingin membuktikan kepada seluruh dokter, perawat, diriku sendiri dan semua orang, begitu gampangnya melumpuhkan kanker itu, mengapa orang-orang berfikir kanker adalah pembunuh yang ganas. Toh kanker juga makhluk Tuhan. Mudah takluk, mungkin jika kubisikkan kepada kanker itu dengan takzim dan keyakinan.. “luluhlah kau kanker karena Allah…!” naluriah kanker tunduk dan patuh karena Allah dan dia akan menghilang. Tapi aku belum bisa menghilangkan keraguanku sebagaimana para dokter itu, kesembuhan paman sangat tipis. Keraguan itu yang membuatku pasrah dan tidak maksimal berdoa.
Pamanku sudah kehilangan total suaranya, yang terdengar setiap dia berbicara hanya suara angin dan desis..namun paman tak pernah berputus asa, semangat dan keyakinannya yang membuat kami masih bertahan. Sulitnya untuk merenungi sebuah nasib, itulah yang melanda hari-hari pasien di rumah sakit ini, termasuk keluarga penunggu. Kenapa ku bilang sulit,,, keadaan kami sangat memilukan, ada kata yang tepat menurutku saat itu,, sial… astagfirullah.. tapi itulah yang kurasakan saat itu ketika ku merasa begitu sesak dengan perasaan sedih dan tak kuasa,,, kenapa, mereka tetap tidak bisa sadar, di antara mereka ada yang menyumpah serapah, mengaduh-ngaduh dan kesakitan… masa lalu lah yang mengungkapkannya… mereka memang suka melaknat,,, Allah,, tolonglah mereka,, haruskah mereka menanggung dua derita… derita badan dan derita iman??? Allah penyakit ini bisa menjadikan dosa kami terhapus oleh-Mu seandainya kami mnyadarinya dan bersabar,,, namun bisa juga menjadi bala, bencana bagi kami jika kami tak sabar… Allah, jangan bebankan sesuatu yang kami tak mampu menanggungnya… ya Allah, kepadamulah kami berlindung dan kembali….
Setelah kemo terakhir itu paman bertambah lemah, biasanya perlu kira-kira satu bulan dulu untuk memulihkan kekuatan tubuhnya setelah berkemo. Karena kemo di samping merontokan sel-sel kanker yang siap beranak piak, tapi juga menyerang ketahanan tubuh yang lain, kemo juga ikut membakar sel-sel yang baik. Akhirnya walau benjolan itu mengempes, tapi paman semakin kurus dan tak berdaya. Akhir kemo yang sangat melelahkan, kemo itulah yang berlahan menghilangkan kekuatannya. Paman sama sekali tidak ingin makan, satu lagi efek pengaruh kemo, tak sebiji nasi yang diberikan perawat itu yang mau ditelannya. Paman sering meludah dan sangat lemah. Paman menjadi hilang keseimbangan untuk bangun, terkadang dia tejatuh sendiri di kasurnya dari duduknya. Kakinya tidak mampu lagi untuk menahan beban tubuhnya, lemah tak berdaya.
Pernah suatu ketika, paman tiba-tiba seperti kehilangan nafas, bola matanya terbalik ke atas. mulutnya meringis sambil meringsut seakan itulah detik sang izroil menarik nyawanya… Aku bingung tak kepalang, aku memanggil dan menepuk-nepuk punggungnya agar dia sadar.. Aku kalut, inilah akhir detik-detik paman yang sebenarnya akhir penantian kami.. Aku tak mampu menangis, aku berusaha bersikap bijak. Orang-orang mendekati ranjang paman. Paman tetap tak sadar dan tetap berusaha membantu Izroil menarik nyawanya. Hal yang ku lakukan,,, aku berbisik di telinganya mengucap dan menuntutnya mengucapkan kalimat tahlil, laa ilaaha illa Allah… sesering yang bisa kulakukan.. Mata paman seketika juga kembali normal menatapku , dan ringisan sakitnya menjadi ringisan tangis… paman menangis namun dia tetap kesulitan untuk mengembalikan ketenangannya. Paman menangis dan menatapku, pamanku yang malang tetap bertahan… aku kikuk saat itu, aku senang tapi malu, Dokter datang, paman berlahan menjadi stabil kembali. Ada perasaan baru di hatiku, mungkin malu dan merasa bersalah saat aku mengira dia sudah mengalami sakratul maut dan saat aku membacakan tahlil di telinganya.
Saat-saat terakhir itu semakin jelas, namun seperti dokter dan perawat-perawat itu, aku pun semakin memaklumi dan membiarkan segalanya berjalan hingga tiba sendiri keputusan akhir tentang diri paman. Ah, dokter-dokter itu kusebut mereka pahlawan berseragam malaikat. Mereka begitu bersih, rapi, harum dan bercahaya. Sungguh begitu berkelas. Oleh karena itulah aku sungguh malu dengan penampilanku yang serba sederhana. Salahku sendiri, hanya beberapa lembar pakaian yang kubawa, akhirnya terkadang 3 hari hanya satu pakaian yang kupakai. Sedangkan para dokter dan perawat itu begitu putih dan mereka semua terlihat jelita dan gagah. Makanya saat dokter cantik menyapaku dan memanggiku “mbak” ah betapa malunya. Mungkin penampilanku selain terlalu sederhana dan berantakan tapi terkesan keibuan. Aku setiap hari di sana memakai rok, baju panjang dan memakai jilbab panjang. Tapi lebih untung lagi aku tidak dipanggil ustadjah.
Ketika perawat datang untuk menyuntik paman atau mengganti botol infusnya, aku terdiam dan memerhatikan mereka dengan memendam rasa iri, terkadang aku merasa menyesal kenapa aku tidak mengambil perkuliahan jurusan perawat, begitu mahal, itulah jawaban yang kurasa tepat, dan aku sunnguh egois, betapa aku tidak berpikir beruntung karena selama ini aku kuliah di tempat yang tidak memungut biaya bahkan memberikan beasiswa. Tapi aku merasa iri dengan mereka. Mereka berjiwa pahlawan dan lembut bervisi mulia menyelamatkan nyawa-nyawa manusia. Sedangkan selama ini ilmuku belum mampu juga kumanfaatkan. Mereka memang pahlawan berseragam malaikat.
Tapi, ada satu hal yang aku tidak mengerti dari tindakan pahlawan berseragam malaikat itu. Mereka memang tulus dan berusaha untuk kesembuhan pasien, tapi pasien-pasien itu kebanyakan dari mereka satu persatu berakhir oleh kematian. Apakah mungkin di ruangan ini memang terkumpul penyakit-penyakit ganas. Sebagian memang ada yang bisa bertahan tapi mereka tidak mengalami kesembuhan total. Kasihan, tapi realitanya seperti yang dialami paman. Penyakit kankernya memang sangat ganas, sehingga dokter mem beri keputusan kanker itu dikemoterapi, salah satu alternatife mematikan sel-sel kanker itu, tapi akibatnya lebih fatal. Daya tahan tubuh paman nyaris hilang, lemah, mual, tak nafsu makan, gemetar dan lain-lain. segitu kerasnya obat yang diberikan dokter itu sampai-sampai seluruh rambutnya rontok. Paman sangat memprihatinkan walau benjolan kanker sudah mengempes dan merata dengan kulit lain.
Ada satu hal juga yang tak kutemukan dalam pengobatan ini, pengobatan pengembalian naluriah penyakit menjadi netral sebagai sesama makhluk lain yang juga bertugas sebagai hamba Allah yang selalu bertasbih memuji-Nya, pemahamanku ini teramat sederhana dari firman yang teramat istemewa.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.”(al-Isra :44)
Banyak lagi ayat-ayat serupa seperti itu yang intinya aku memahami kanker juga makhluk Allah, sebagaimana aku yang bodoh ini juga manusia. Kanker berkembang biak sebagaimana manusia juga beranak pinak. Permasalahannya mungkin pemahamanku ini tepat, tapi dapatkah dimasukkan ke daftar menu pengobatan ala modern yang serba canggih dengan beribu alat tapi kenyataannya memang lumpuh hanya untuk memahami kanker juga makhluk Tuhan walaupun ganas. “kesembuhan semu” setiap aku melihat alat-alat yang tak kuhapal namanya dan tak kupaham fungsinya itu aku yang terlalu kerdil ini hanya berfikir “aha, doalah jawabannya” Doa adalah obat bagiku karena yang kubisa hanya berdoa. Oh, pahlawan berseragam malaikat…
Kutuliskan sebuah puisi untukmu wahai para dokter, perawat dan kalian yang berjiwa mulia pahlawan berseragam malaikat… teruntuk kalian dari si kerdil gadis yang berusaha memutar otaknya untuk memahami arti dari kesembuhan semu…
Si putih yang jelita
Si putih yang rupawan
Begitu suci, harum, semampai dan eksklusif
Rambut mereka bak sutra tipis
Merangkai bentuk penutup semacam kerudung
Berayun-ayun diikuti gerak ayu dengan symbol eskotis
Jejaran gigi yang berkilau sempurna
Gerak yang teratur dengan catatan-catatan penting
Erat di genggaman jemari yang lentik berujung kuku nan bening
Langkah yang pasti
Tawa mereka pun terdengar berkelas
Senyum dari seseorang yang berkarisma
Penuh keyakinan dan kelembutan
Mereka berseragam malaikat
Dengan visi dan misi yang suci
Menolong raga yang sakit
Tempat mengadu keluhan setelah Tuhan
Mereka berseragam malaikat
Orang-orang pilihan dan hidup memang pilihan
Merekalah dengan formalitas bernama dokter dan perawat
Sepenuhnya untuk raga yang sakit, jiwakah juga?
Wahai pahlawan berseragam malaikat
Kami rasa raga ini hanya cidera
Derita yang dalam ada pada jiwa ini
Kanker jiwa yang semakin memakan usia bathin ini
Pedulikah wahai pahlawan berseragam malaikat….
Sentuhlah raga ini
Kemana akal kalian mengembara
Penyakit ini tak mungkin hilang
Bersembunyi di celah jiwa kami
Dan perkataan kalian tentang kesembuhan ini
Apakah sebuah kesembuhan semu…
Seakan jiwa telah lumpuh tuk menyadari
Betapa mulia hadir kalian
Namun jiwa kami tak butuh kesembuhan dari raga yang hanya cidera ini
Pertanyaan dari kami yang bodoh
kepada kalian yang cerdas dan mampu membayar mahal pendidikan kalian yang berkelas
kamikah yang bodoh…?
Atau kaliankah yang tertipu dengan sebenarnya penyakit yang mungkin sama-sama kita punya
walau, siapapun mengakui
Beribu manusia datang kepada kalian
Mengeluh bersedu sedan
Memohon kehidupan
Namun satu permohonan kami
Untuk sebuah harapan yang menuli butakan semua orang
Janganlah tambah kebodohan kami
Akan kesembuhan raga yang semu ini…
Kutulis puisi itu di kertas dengan tulisan ceker ayam ala cacing berjoget,,, sebelum paman keluar dari rumah sakit, kuletakkan puisi itu di atas meja pasien… Kuharap para dokter itu mengerti, walau aku sendiri masih belum puas dengan pemahamanku, selamat tinggal pahlawan berseragam malaikat.
Segala hal bisa berakhir penuh hikmah tergantung seberapa besar pemahaman mengenai hakikat segala hal tersebut. Sejuta misteri masih belum terpecahkan oleh tiap-tiap kejadian dalam hidupku, begitu juga peristiwa ini, selang dua hari setelah paman keluar dari rumah sakit paman meninggal dunia akibat kekurangan HB darahnya. Paman yang malang namun paman telah menjadi sosok yang begitu suci melebihi pahlawan berseragam malaikat. Karena paman telah mebuktikan arti dari kesembuhan semu, raga yang pasti mati ini tak perlulah sangat dikhawatirkan… karena tanpa penyakit pun raga bisa mati,,, sedangkan jiwa sekecil apapun penyakit yang ada padanya jika tidak segera ditangani dan disembuhkan, akan berubah menjadi kanker jiwa yang ganas membunuh karakter dan melumpuhkan keimanan. Akhirnya dia mati walau baru dimakamkan setelah raganya mati.
TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun