Manusia merupakan makhluq Allah swt., yang telah diberi dua unsure pokok yang lengkap sebagai abdi-Nya dan pemimpin di muka bumi ini. Manusia sebagai makhluq Allah swt., yang telah diberi anugerah berupa akal pikiran dan hati yang terletak pada dua unsure pokok penyusun raga manusia, yaitu psikis dan fisik. Akal pikiran manusia terdapat pada unsure psikis manusia yang berfungsi sebagai alat pelaksana sistem kerja berpikir. Hati secara konteksnya merupakan sistem perasaan manusia yang terdapat pada unsure psikis sebagai alat refleksi agar dapat menjadi pengontrol atau pengendali segala tindakan manusia yang ditimbulkan dari akal pikirannya. Unsur fisik manusia berupa seluruh organ tubuhnya yang terbagi pada lima panca indera sebagai alat mengkongkritkan hasil kerja sistem berpikir manusia yang masih abstrak.
Keberadaan unsure psikis dan fisik pada diri manusia mengakibatkan dirinya mengalami suatu proses yang berkesinambungan melalui tahapan-tahapan yang signifikan. Proses tersebut merupakan wujud adanya eksistensi manusia secara fitrahnya serta tugasnya sebagai abdi Allah swt., dan khalifah fiil ardh’. Adanya proses ini mendorong manusia untuk meningkatkan kemampuan sistem kerja alat berpikir, perasaan, dan segala prilakunya. Proses berupa pertumbuhan dan perkembangan dalam kehidupannya.
Manusia mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan secara bertahap guna menigkatkan daya kemampuan psikis dan fisiknya sebagai wujud siklus eksistensi dirinya di kehidupan dunia. Proses tersebut berjalan secara alami yang berdasarkan pada fitrah manusia. Namun, proses pertumbuhan dan perkembangan raga manusia memerlukan suatu stimulus atau komponen lain guna memperlancar dan mempermudah jalannya siklus pertumbuhan dan perkembangan yang baik dan benar, sehingga dapat mengantarkan manusia me4njadi makhluq yang dapat melaksanakandua tugasnya yang luhur tersebut. Oleh karena itu, manusia membutuhkan asupan gizi yang berkualitas untuk memperlancar proses berlangsungnya pertumbuhan fisiknya. Selain itu, manusia juga membutuhkan suatu lingkungan yang dapat mengembangkan eksistensi psikis atau potensinya danpa adanya tekanan dari manapun. Lingkungan tersebut ialah dunia pendidikan.
Dunia pendidikan merupakan suatu dunia yang bebas, demokratis, terbuka, bersahabat, social, suci, bersih dan luhur. Pada dasarnya dunia pendidikan adalah dunia yang dapat memanusiakan manusia. Artinya, dunia pendidikan merupakan dunia yang dapat memperlakukan manusia berdasarkan fitrah yang dimilikinya dan menganggap bahwa manusia adalah makhluq yang aktif dan bebas bukan makhluq mesin atau pasif.
Dunia pendidikan adalah dunia yang memiliki cita-cita luhur untuk membantu manusia dalam mengembangkan segala potensinya secara bebas tanpa adanya paksaan dari elemen manapun. Dunia pendidikan adalah dunia yang telah memberikan kebebasan dan kesempatan bagi manusia untuk mengekspresikan potensi-potensi alamiahnya secara kreatif dan inovatif yang berkesinambungan.
Dunia pendidikan merupakan duniah produktif dan ilmiah , tetapi tidak memaksakan kehendak pasar masyarakat maupun pasar indrustrialis. Dunia pendidikan bukanlah dunia transaksi sistem kapitalis radikal dan juga bukan dunia penjualan pil-pil politik pragmatis kapitalis yang terpaksa ditelan oleh para pelaksana pendidikan.
Sejatinya, dunia pendidikan adalah dunia yang dapat menghasilkan manusia yang berkualitas dari segi keintelektualan, spiritual, emosional, dan akhlagnya. Dunia pendidikan diharapkan dapat melahirkn para generasi muda bangsa yang berilmu dan beretika, serta dapat membawa suatu perubahan yang signifikan bagi bangsa Indonesia. Generasi muda yang dapat mengaplikasikan ilmunya secara komprehensif berdasarkan pada UU no. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS.
Namun, dalam realita kehidupan tentang dunia pendidikan tidaklah demikian terjadi. Dunia pendidikan secara tekstual telah kehilangan filosofinya atau kehilangan arah dari tujuan murni suatu pendidikan itu sendiri. Dunia pendidikan yang terjadi saat ini mengandung kondsi yang tidak sesuai dengan fitrahnya. Dalam dunia pendidikan banyak terjadi kerusakan-kerusakan yang sangat tidak mencerminkan nilai-nilai luhur pendidikan.
Dunia pendidikan yang terjadi di Indonesia seperti dunia rumah tahanan yang selalu terbelenggu pada jeruji besi kapitalis, industrialis, ketidakjujuran, liberal pragmatis, politik kapitalis, manusia robot, dan diskriminasi. Kondisi yang demikian tidak ada ruang gerak yang bebas untuk manusia, khususnya peserta didik dalam mngembangkan segala potensinya. Mereka selalu dihantui oleh rasa ketakutan atas kebijakan-kebijakan yang memaksa.
Banyak sekali problematika dalam dunia pendidikan ynag telah memenjarakan para pelaku pendidikan seperti tertera di bawah ini :
1.Peserta didik
Peserta didik sebagai obyek aktif dari sebuah pendidikan yang seharusnya memiliki suatu kebebasan dalam rangka mengembangkan potensi-potensinya secara kreatif dan menyenangkan. Akan tetapi, mereka terbelenggu dengan aturan-aturan yang menekan dan menakut-nakuti sistem kerja emosional mereka secara tidak stabil, sehingga yang tercipta hanyalah kecemasan dan kekhawatiran dalam diri mereka. Contohnya tentang masalah UNAS yang menjadi indicator bangsa dalam mengetahui tingkat kualitas SDM generasi muda bangsa.
Sebenarnya eksistensi dari UNAS secara luhurnyaadalah mempersatukan persepsi bangsa dan sebagai penilaian nasional. Akan tetapi, sistem pelaksanaanya tidak sesuai dengan esensi dari UNASnya sendiri, sehingga UNAS dijadikan hal yang menakutkan dan musuh bagi peserta didik dalam menggapai cita-citanya. Selain itu, peserta didik dipaksakan untuk menguasai segala materi pelajaran yang di-UNAS-kan secara tekstual tanpa memperhatikan atau mengaitkan dengan konteks kehidupan. Jadinya dalam pelaksanaan UNAS selalu diiringi dengan hal-hal yang sangat bertentangan dengan esensi pendidikan, yakni pembodohan karakter bangsa, seperti : kecurangan, ketidakjujuran, ketergntungn pada orang lain, tidak percaya akan kemapuannya sendiri, ketakutan, dan lain-lain.
Tidak hanya itu saja, tetapi dalam proses pembelajaran berlangsung peserta didik dipaksakan untuk mencapai ketuntasan belajar tanpa memperhatikan potensi-potensi yang seharusnya dikembangkan di dunia pendidikan karena setiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda. Dalam proses tersebut, peserta didik tidak pernah ditanamkan tentang nilai-nilai kehidupan serta korelasinya dengan mata pelajaran yang dipelajarinya, sehingga mereka terbelenggu pada teks materi pelajaran saja dan kehendak guru yang terlihat memaksa.
2.Orang tua
Anak bagi orangtua adalah suatu anugerah yang sangat berharga bagi kehidupannya. Anak merupakan tumpuan masa depan orang tua yang nantinya diharapkan dapat meningkatkan derajat orang tuanya. Namun, terkadang orang tua terlalu memaksakan kehendaknya secara berlebih-lebihan, sehingga membuat peserta didik menjadi tidak dapat memilih kehidupannya sendiri secara bebas berdasarkan apa yang menjadi cita-citanya. Dengan demikian, ia mengalami gejolak psikis yang sangat krusial karena paksaan orangtuanya yang membuat dirinya tidak bisa mengekspresikan potensi yang dimiliki dan disenanginya.
Orang tua yang demikian menjadi terjebak dan terpenjara pada tekstual industrialisasi kapitalis atau pragmatism kehidupan. Orang tua selau mengedepankan egosentrisnya guna tercapainya apa yang diinginkannya bukan berorientasi pada apa yang diinginkan oleh anaknya. Orang tua terlalu melihat eksistensi kehidupan dunia serba matrialistik tidak secara esensi, sehingga anaklah yang menjadi korban dan mematikan fitrah anak itu sendiri.
3.Pendidik
Akhir-akhir ini guru terlalu disibukkan untuk mendapatkan penghidupan yang layak melaui sertifikasi guru agar kesejahteraan guru di Indonesia tetap terjaga. Hal seperti itu memang sewajarnya harus di dapat oleh guru sebagai ujung tonggak dalam mencerdaskan generasi bangsa. Adanya serifikasi maupun tunjangan profesi guru diharapkan dijadikan sebagai stimulus oleh guru untuk meningkatkan kualitas pedagogik, professional, kepribadian, dan sosialnya. Akan tetapi, realita di lapangan tidak mendukung hal tersebut karena sebagian besar guru yang bersertifikasi tidak mengalami peningkatan dalam hal kompetensi dasarnya sebagai pendidik , melainkan mengakibatkan suatu penurunan etos kerja mereka di dunia pendidikan.
Bahkan, seorang guru berani melakukan usaha yang tidak halal agar lolos sertifikasi atau menjadi PNS, seperti melakukan plagiat karya tulis seseorang, money politik atau penyuapan terhadap orang dalam, pemalsuan ijazah, dan lain-lain. Hal tersebut menjadi bukti bahwa guru-guru di Indonesia telah terpenjara pada pragmatism kehidupan dan tertutup pada kontekstual esensi pendidikan itu sendiri. Mereka telah terbuai dengan jabatn dan title yang melekat pada dirinya tanpa harus memperhatikan cita-cita luhur dari profesionalisme pekerjaannya, sehingga apa yang dikerjakannya tidak berlandaskan pada hati nurani yang ikhlas atau tulus mengabdikan jiwa dan raganya untuk pendidikan anak-anak bangsa, melainkan hanya berlandaskan pada kepuasan materi saja.
4.Institusi sekolah
Zaman yang serba modern ini menuntut para pelaku pendidikan, khususnya institusi pendidikan tertentu agar dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba canggih. Tiap-tiap institusi saling berkompetisi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas secara kelembagaannya masing-masing. Tujuannya agar mampu bersaing di tengah pasar industriliasi. Segala macam usaha mereka lakukan meskipun label nasional diubah menjadi label internasional.
Adanya label sekolah bertaraf internasional inilah yang telah menjebak atau membelenggu suatu institusi pendidikan tertentu, sehingga landasan kebangsaannya terkikis seketika itu juga. Tidak ada yang salah sebenarnya suatu lembaga sekolah menggunakan label internasional karena hal tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan manajemen kelembagaannya masing-masing. Akantatapi, Hal tersebut memunculkan suatu ketidakpercayaan terhadap lmanajemen kebangsaannya sendiri yang mengakibatkan lunturnya rasa nasionalisme dalam diri lembanga tersebut. Selain itu, mereka telahsengaja menghilangkan tujuan luhur pendidikan nasional yanglebih berorientasi pada penanaman pendidikan karakter bangsa.
Penanaman pendidikan yang berkarakter inilah yang menjadi substansi dari adanya lembaga pendidikan di Indonesia dan tidak harus berlabel internasional. Substansi itulah yang harus dikembangkan dan diprioritaskan demi m,enjaga ideology dan landasan falsafah bangsa Indonesia, bukan memperhitungkan label internasional atau tidaknya.
Selain problematika di atas, masalah akreditasi juga demikian. Lagi-lagi mereka terfokus pada label yang terakreditasi bagus, sehingga berbagai macam carapun dilakukan untuk mendapatkan akreditasi, meskipun cara yang tidak sehatpun dilakukannya. Dengan demikian, tanpa disadari atau tidak, para pelaku yang ada di institusi sekolah terkungkung pada suatu predikat atau label belaka saja. Padahal yang paling penting dalam suatu pendidikan bukanlah label tersebut melainkan cara-cara untuk mewujudkan tujuan luhur pendidikan nasional itu sendiri.
5.Pemerintah
Pemerintah Indonesia telah diperbudak oleh penguasaan dunia kapitalis pragmatis yang mengakibatkan mereka menjadi cacat psikisnya dan kecerobohan dalam menentukan suatu kebijaakan dan pelaksanaan kebijakan yang kurang stabil.
Banyak yang terjadi dilapangan tentang ketidakmeratanya bantuan operasional dan sarana prasarana pendidikan di lembaga sekolah tertentu, serta banyaknya pemerintah yang korupsi akan hak-hak rakyat. Hal itulah yang menyebabkan adanya ketidak adilan pemerintah dalam memperlakukan lembaga –lembaga sekolah.
6.Masyarakat
Sebenarnya sekolah-sekolah negeri maupun swasta secara hakikatnya sama saja, meskipun dipandang dari segi fungsioanl pun sama. Akan tetapi yang terjadi di tengah masyarakat tidak demikian. Lagi-lagi masyarakat terjebak pada nama label swasta atau negeri, internasional atau tidak, dan ijazah.
Masyarakat selalu memandang dengan mata sebelah tanpa berpikir yang global. Mereka memandang bahwa lulusan dari sekolah negeri memiliki martabat yang baik dan tidak dipandang sebelah mata dan akan mudah diterima jika melamar suatu pekerjaan di perusahaan tertentu, sedangkan lulusan swasta sangat sulit mencari pekerjaan. Hal yang demikian tersebut telah merusak esensi dari pendidikan itu sendiri karena pandangan masyarakat sangatlah jauh dari falsafah pendidikan . Dengan demikian, masyarakat telah terikat dengan pemuasan materi kehidupan bukan pada nilai-nilai kehidupan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H