Benda bulat yang dilapis bumi itu kata Mama adalah globe. Aku suka menatapinya. Di bawahnya ada kotak kaca. Dalam kotak kaca ada kertas-kertas dan buku-buku. Aku membaca kalimat di dekat kaca: Arsip-arsip dan Buku-buku Langka Kota N. Aku bingung apa itu arsip-arsip. Aku berhambur pada Mama. Tapi, Mama sedang sibuk. Aku disuruh main-main lagi di sekitar sini. Tak mungkin aku bertanya pada Papa. Papa tak ada di sini. Papa juga tak senang apabila ditanya. Soalnya Papa jahat. Aku benci Papa.Â
Lagi-lagi sepulang sekolah aku tak pulang ke rumah. Aku mesti ikut Mama ke sini. Aku pernah bertanya waktu pertama kali ke sini.Â
"Ma, kita mau ke mana?"Â
"Ke tempat kerja Mama, Sayang." Jawab Mama.Â
"Kenapa nggak pulang ke rumah?"Â
"Jangan, Sayang. Nanti kamu dipukuli lagi sama Papa kayak kemarin."
Ya, aku tak mau dipukul Papa. Dipukul Papa sakit. Maka, aku mengekor saja di belakang Mama waktu itu. Sebelum pertama kali masuk ke sini, aku membaca tulisan besar di atas pintu masuk. Perpustakaan Umum Kota N. Aku sudah lancar membaca: P-E=PE tambah R=PER, P-U=PU tambah S=PUS, T-A=TA, K-A=KA, A-N=AN; jadi bacaanya PERPUSTAKAAN; lalu U-M=UM, U-M=UM; jadi bacaannya UMUM....Â
Aku juga sudah pandai menulis huruf-huruf latin atau abata. Aku juga bisa berhitung: 1+1= 2, 2+1=3, 3+1=4.... Yang mengajariku di sekolah Pak Efendi. Pak Efendi laki-laki, tapi dia tak seperti Papa. Kata Mama, Mama perempuan sama sepertiku dan Pak Efendi laki-laki sama seperti Papa. Tapi, aku tak setujuh. Pak Efendi baik sementara Papa jahat.Â
"Ma, siapa yang jahat?"Â
"Pejabat."
"Ma, siapa itu Pejabat?"Â
"Kamu mash kecil, Sayang. Nanti kalau sudah besar, kamu akan tahu."
Mama menyebalkan! Aku tak diberi tahu apa itu Pejabat. Berarti Papa seperti Pejabat: sama-sama jahat.Â
Aku pernah bertanya pada Mama: "Ma, siapa yang seram?" jawab Mama, "Setan." Papa jahat dan seram. Berarti Papa bukan hanya seperti Pejabat, tapi juga seperti Setan. Karenanya, aku tak sepakat Papa laki-laki seperti Pak Efendi.Â
Mama sibuk. Tante Lia juga. Om Hendri juga. Kata mereka, sedang mengurus pengunjung meminjam buku dan mencari buku. Maka, aku berlalu menuju Om Dirga dan Tante Tantri di dekat pintu masuk. Aku ingin bertanya soal arsip-arsip saja pada keduanya. Om Dirga dan Tante Tantri kerjanya hanya mengabsen pengunjung lalu mengambil tasnya---kalau si pengunjung membawa tas atau barang lain---lalu tas itu dimasukkan ke dalam lemari besi. Kata Tante Tantri, itu namanya loker. Aku juga pernah bertanya pada Om Dirga, soal lemari yang ada buku-buku itu. Katanya, itu namanya rak buku.Â
Aku pernah memukul loker dan rak buku. Dua lemari itu menimbulkan suara yang berbeda. Tapi, tetap saja, suara yang keluar tak sebising seperti saat Papa menggebrak meja makan atau memukul lemari pakaian.Â
Papa sering begitu. Papa juga sering teriak-teriak. Aku takut ketika Papa bersikap begitu. Mama langsung menyuruhku masuk kamar. Saat itu, aku mendengar suara teriak-teriak Mama-Papa lalu suara benda-benda berjatuhan di lantai. Aku tak berani melihat. Bisa-bisa Papa memukulku. Aku takut Papa tiba-tiba masuk. Maka, aku mengunci pintu kamar. Lalu, aku menangis. Aku menangis demikian nyaring.
Om Dirga sedang mencatat. Tante Tantri sedang mengumpulkan tas pengunjung lalu memasukkannya dalam loker. Aku tak jadi bertanya pada keduanya. Aku lihat keduanya juga sibuk.Â
Sebetulnya, aku ingin pulang ketika Mama menjemputku pulang sekolah dengan berkendara motor. Tapi, Mama bilang:Â
"Kia, kamu lebih aman di sini, ikut dengan Mama kerja. Mama sudah izin Bos Besar."
"Siapa Bos Besar, Ma?"
"Dia orang baik."Â
Maka, aku menurut saja daripada di rumah bersama Papa. Aku jera. Waktu itu, aku menangis karena lapar, aku membangunkan Papa yang tidur---karena Papa sepanjang malam tak ada di rumah, mangkanya Papa tidur dari pagi sampai sore. Ketika Papa bangun, Papa memarahiku lalu memukulku dengan remot televisi. Aku menangis semakin kencang, lalu Papa marah-marah.Â
"Diam anak anjing! Mamamu sedang kerja. Kalau dia tak kerja, kita nggak bisa makan! Kalau kau masih menangis aku pukul lebih keras lagi!"
Keesokan harinya, hari Senin, Mama mengantarku ke sekolah, lalu sepulang sekolah aku diajak Mama ke sini. Perpustakaan Umum Kota N. Aku di sini sampai Mama pulang bekerja di malam hari.
Meski siangnya aku tak bisa tidur di kasur kamar, tapi di sini aku bisa tidur di atas sofa. Ketika mataku terbuka, biasanya ada om-om atau tante-tante sedang membaca buku---kata Mama, merekalah pengunjung. Lalu, biasanya mereka mencubit pipiku. Menyebalkan sekali! Aku kesal. Tapi, mereka baik. Buktinya, mereka sering memberiku permen, es krim, atau biskuit. Berbeda dengan Papa yang tak pernah memberikanku apapun.Â
Kalau mandi sepulang sekolah, Mama memandikanku di kamar mandi Perpustakaan Umum Kota N. Kamar mandi itu lebih besar dan bersih daripada di rumah. Dan, di dalam sana juga aku dipakaikan baju oleh Mama. Kalau di rumah, Mama akan menggandengku melewati dapur lalu ke kamarku lalu memakaikanku baju di dalam kamar, tapi di sini tak bisa begitu, kata Mama. Biasanya Mama membawa baju ganti seragam sekolahku dari rumah di tasnya. Ketika sore, aku juga dimandikan Mama di sana.Â
Mama hanya libur satu hari seminggu, yaitu hari Selasa. Kata Mama: Mama, Om Hendri, Tante Lia, Om Dirga, dan Tante Tantri adalah Pustakawan. Maksudnya orang yang bekerja di perpustakaan. Mereka punya libur satu hari, secara bergantian.Â
"Kenapa begitu, Ma?" kataku pada Mama.Â
"Di sini berbeda dengan sekolah, Kia. Yang libur hari Minggu. Di sini buka setiap hari termasuk hari Minggu." Jawab Mama. Â
Aku masih tak begitu paham. Yang jelas, Om Dirga libur hari Rabu, maka ketika hari Rabu aku tak memandang Om Dirga di sekitar sini. Om Hendri Kamis. Tante Lia Sabtu. Tante Tantri Senin. Mama Selasa. Hari Minggu, mereka semua masuk kerja.Â
Dari sejak pertama ke sini, aku sangat menyukai tempat ini. Banyak buku-buku bergambar yang bisa aku baca dalam ruangan Ruang Buku Anak, begitulah yang aku baca di pintu ruangan itu. Aku senang membalik-balik halaman buku. Banyak gambar lucu-lucu. Lebih baik menatap itu daripada melihat foto Papa yang dipajang di dinding rumah. Melihat fotonya saja aku sudah takut, apalagi melihat Papa langsung.Â
Sekarang, ketika aku hendak bertanya arti arsip-arsip pada om-om atau tante-tante pengunjung, tiba-tiba aku menatap Papa masuk. Papa berjalan seperti Zombi yang pernah aku tonton bersama Mama di televisi. Aku terkejut. Aku berlari menuju Mama.
"Mama!" aku memeluk Mama, "Papa datang, Ma."Â
"Silvi! Silvi! Di mana kau! Aku butuh uang." Itu suara Papa memanggil Mama. Bising sekali.Â
Mama langsung bergegas ke arah Papa. Aku mengekor saja, "bajingan! Mas ke sini dalam keadaan mabuk! Buat malu saja!"Â
"Aku minta uang, Silvi! Aku mau berjudi nanti malam!"Â
Aku menatap Papa-Mama teriak-teriak. Biasanya kalau begitu, aku pasti disuruh masuk kamar. Tapi, ini bukan di rumah, ini di Perpustakaan Umum Kota N. Aku tak tahu apa itu mabuk dan berjudi. Kata Mama, Papa suka mabuk dan berjudi ketika keluar di malam hari. Aku tak mengerti apa itu mabuk dan berjudi.Â
Saat tadi Papa datang seperti Zombi, begitulah keadaan mabuk. Sesuai yang Mama bilang tadi---dengan berteriak. Aku tahu kalau Papa suka mabuk dan berjudi karena aku sering mendengar itu di balik pintu kamar ketika Papa-Mama teriak-teriak. Kata Mama, mabuk dan berjudi itu perbuatan jahat. Papa jahat!Â
"Berjudi terus kau, Mas! Menghabiskan uang saja!"Â
Aku sedikit tahu berjudi. Mama bekerja untuk dapat uang. Dan Papa menghabiskannya dengan berjudi. Berarti berjudi itu menghabiskan uang. Kasian sekali Mama. Om-om dan tante-tante pustakawan serta pengunjung mengerumuni kami.Â
Papa sangat menyeramkan. Seperti Pejabat Setan Zombi Menghabiskan Uang Mama. Entah makhluk seperti apa yang mirip Papa itu: Pejabat Setan Zombi Menghabiskan Uang Mama. Barangkali Papa lebih mengerikan dari makhluk itu.Â
Untung saja ada Om Dirga dan Om Hendri menangkap tangan Papa. Lalu, dua Pak Satpam datang. Dua Pak Satpam itu berganti menangkap tangan Papa lalu keduanya menyeret Papa keluar. Aku menatap Mama menangis. Entah kenapa, aku malah ikut menangis. Aku tak tahu kenapa Mama menangis. Sementara aku menangis karena Papa begitu mengerikan sekali barusan dan aku belum tahu sejauh ini apa arti arsip-arsip. Â Â
Surabaya, 23 September 2024Â Â Â
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H