Danarto dan Cerpennya dalam Hidup Saya
Danarto (1940-2018) dan karya cerpennya bagi saya merupakan teka-teki yang sulit dipecahkan. Beliau konsisten dengan gaya penceritaan yang surealis dan realisme magis yang penuh simbolis.
Di antara syarat cerpen dianggap baik adalah potensi multitafsir di setiap kepala pembaca. Pemaknaan saya belum tentu serupa dengan kalian ketika membaca cerpen beliau.
Gaya kepenulisan beliau yang mendobrak tak ayal memberikan napas baru (suatu pembaharuan) dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Banyak karya cerpen beliau yang di dalamnya terdapat unsur puisi, musik, dan seni lukis sehingga ada efek puitis, musikal, dan artistik dekoratif.
Bahkan ketika Danarto menulis di koran, yang notabennya penulis sastra koran kebanyakan bergaya cerpen realisme, beliau tetap konsisten dengan surealis dan realisme magisnya. Seperti Kabut Neraka (Jawa Pos, 08/07/2010), Macan Lapar (Kompas, 05/09/2010), ApoCalypse (Kompas, 15/05/2016), Jejak Tanah (Menjadi cerpen pilihan Kompas tahun 2002).
Â
Saya telah membaca beberapa cerpen Danarto baik yang di koran dan buku karya Danarto (kumcer Godlob, Berhala, Adam Ma'rifat) juga karya beliau yang diaudiokan di kanal Youtube yaitu Ikan-ikan di Laut Merah, Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat, dan Lailatul Qadar.
Â
Cerpen-cerpen Danarto dalam hidup saya telah memberikan beragam wawasan, mempersembahkan banyak makna, dan pencerahan kebatinan tentang dunia sufi. Cerpen beliau hidup di dalam pikiran saya sebagai suatu gagasan yang luar biasa.
Mudik dalam Cerpen "Lailatul Qadar"
Mudik sudah melekat dalam tradisi perantau masyarakat Indonesia. Saya dan keluarga saya pun dahulu mudik---dari Bekasi ke Madura.
Sepanjang perjalanan ialah harapan dan doa agar selamat sampai tujuan, kampung halaman. Ketika sudah sampai, maka rasa senang melonjak. Bersua dengan keluarga di kampung dan berlebaran bersama.