Biasanya, orang Madura yang kaya raya adalah mereka yang meninggalkan tanahnya sendiri. Terus-menerus mengadu nasib di kampung tidak akan mengubah hidup. Tentu tidak akan kaya-kaya.
Di daerah Kabupaten Bangkalan saja (di sana tempat saya bermukim) tercatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa 43.259 jiwa hidup dalam kemiskinan ekstrem dari 958.237 jiwa.
Seperti yang saya sampaikan, orang Madura menjadi kaya saat dia bekerja di luar pulau. Karena di sana sangat besar peluang usaha agar menghasilkan uang apalagi di kota-kota besar. Saudara-saudara saya banyak yang merantau. Ada yang berdomisili dan bekerja di Surabaya, Jakarta, Bekasi, bahkan di luar negeri yaitu di Arab Saudi, Korea, Jepang, Malaysia.
Penghasilan yang mereka dapatkan dikirim ke keluarga di kampung halaman. Bahkan, lazimnya, penduduk yang rumahnya besar di Madura, karena ada di antara keluarganya yang bekerja di kota besar, luar negeri, pelayaran.
Orang Madura di Tanah Rantau
Saya sepakat dengan komentar banyak orang yang menyebut masyarakat Madura itu pekerja keras. Pantang menyerah. Mereka giat bekerja. Sehingga tak ayal kalau banyak orang Madura yang sukses di perantauan.
Saya tak perlu jauh-jauh mencontohkan. Ayah dan ibu dahulu pergi merantau (2000 M) ke Kota Bekasi Timur. Dengan membawa modal sekitar 2 jutaan. Ayah memulai bisnis besi tua sedangkan ibu berdagang.
Pada tahun 2002 saya lahir di tanah rantau itu. Kerja keras ayah dan ibu membuahkan banyak hasil. Setiap hari, ibu dibantu ayah selalu sibuk di dapur untuk mempersiapkan dagangan yang dijual di warung makan kami. Karena kawasan kami strategis untuk usaha tersebut sekaligus menjadi satu-satunya warung makan di kawasan itu. Maka dagangan ibu dan ayah senantiasa laris manis.
Warung makan kami punya banyak pelanggan tetap. Para tetangga, pedagang keliling, buruh pabrik, warga sekitar. Nasib kami sangat baik. Alhamdulillah, rezeki kami lebih berlimpah daripada tetangga yang merantau dari Medan, Sunda, Ambon, Jawa. Bahkan kami sampai punya beberapa kamar kontrakan dan uang simpanan yang ditaruh di bawah kasur mencapai sekitar 100 juta.
Warung makan kami tidak besar, biasa-biasa saja, tetapi pelanggannya selalu ramai. Ibu sendirilah yang melayani mereka, sementara tugas ayah membantu memasak. Mereka tidak mengangkat pembantu. Meski nampak kerepotan, mereka terus bekerja. Kemudian lambat-laun kami mempunyai motor, mobil, rumah yang lebar, beberapa kontrakan, bisa mudik setiap tahun, membagi-bagikan uang di kampung.
Keluarga kami di antara manifestasi bagaimana tekunnya orang Madura kalau bekerja di perantauan sehingga tak ayal harta bergelimangan mampu didapat. Meski sebenarnya tidak semua. Banyak pula orang Madura yang hidup di rantau pas-pasan bahkan kekurangan sebab biaya hidup di tanah rantau tidak sedikit.