"Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi. Karena ujung-ujungnya kerja mereka hanya di dapur, di kasur, dan di sumur."Â Falsafah Jawa yang sebenarnya mempunyai arti penting itu selalu mempunyai kesan pemaknaan yang negatif. Bahkan lekat dengan budaya patriarki.
Padahal ---setelah saya menengok tulisan Mas Cahyadi Takariawan di Kompasiana.com "Benarkah "Dapur, Sumur, Kasur" Tidak Relevan Lagi?"--- mempunyai makna sangat positif. Yaitu ajaran kepada istri agar memberikan khidmah (pelayanan) kepada suami sebagai bentuk bakti, penghormatan dan cinta kasih kepada suami.
Tulisan Mas Cahyadi Takariawan menyorot perempuan agar tidak meninggalkan falsafah tradisional dan jangan terpancing slogan modernitas untuk meninggalkan tiga kewajiban tersebut.
Namun dalam tulisan ini saya ingin mengulas "Dapur, Sumur, dan Kasur" dengan pemaknaan baru versi Ning Khilma Anis yang lebih longgar sehingga tidak mengekang perempuan juga tidak semena-mena meninggalkan makna zahir tiga falsafah itu.
1. Makna Dapur
Dapur. Ya, seorang perempuan adalah "dapur" yaitu menjadi ruh dari rumah. Ning Khilma Anis memaknai demikian, setelah saya pikir-pikir, karena dapur menjadi bagian sentral dari rumah. Â
Setiap rumah pasti memiliki dapur. Penghuni rumah menghidupi dirinya dengan dapur. Rumah boleh tidak mempunyai kamar tamu atau kamar tidur, tetapi rumah harus memiliki dapur.
Sehingga perempuan bukan hanya khidmah dan bermanfaat kepada suami karena disebut "dapur" tetapi juga kepada keluarga, segenap penghuni rumah. Perempuan adalah kunci utama rumah untuk membuka gerbang kebahagiaan. Menjadi istri untuk membahagiakan suaminya, menjadi ibu untuk membahagiakan anak-anaknya, menjadi nenek untuk membahagiakan cucu-cucunya.
2. Makna Kasur
Perempuan sebagai "penenang" demikianlah makna "kasur" yang disampaikan Ning Khilma Anis. Saya tafsiri, perempuan sebagai sandaran bagi suaminya pula anak-anaknya.